Begitu mendengar Jokowi setuju Dialog Sektoral yang diusulkan 14 orang Papua di Istana Presiden, Jakarta, KNPB mengambil sikap menolak. Alasannya, bukan karena alergi dan takut pada dialog. Juga bukan karena kedengkian terhadap setiap orang yang berupaya mencari solusi damai. Penolakan KNPB jelas, yakni adanya perspektif, metode dan tujuan yang salah dalam dialog.
Ketika membaca isi dari dialog sektoral, tidak ada korelasi penyelesaian konflik Papua-Jakarta. Ini justru menjadi kesalahan perspektif para penggagas dan Jakarta. Menghubungkan dialog sektoral sebagai penyelesaian konflik adalah suatu penyesatan. Karena, hanya manusia tersesat yang akan menempuh jalur buntuh.
Urusan penyelenggaraan pemerintahan di berbagai sektor adalah tanggung jawab negara yang harus diselesaikan melalui peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Menjawab ketimpangan di sektor-sektor tersebut, sejak aneksasi Papua, Indonesia sudah banyak bikin program dan banyak gagal. Artinya, sebagus apapun hasil dialog sektoral tidak akan mewujudkan tujuan damai yang diimpikan.
Lantas, apakah metode dialog itu salah? Karena perspektif penyelesaian terhadap apa yang disebut “konflik” itu tidak jelas, maka cara penyelesaian pun tidak tepat. Karena metode yang tepat dalam menyelesaikan konflik sektoral sudah sedang terjadi melalui “blusukan” Jokowi 3 kali setahun ke Papua.
Selain itu, Jokowi pun aktif membangun komunikasi (berdialog) dengan kedua Gubernur di Papua Bupati-Bupati, dan berbagai lapisan masyarakat. Lalu, negara ini punya perangkat hukum dan penegak hukumnya bila ada malpraktek penyelenggaraan pembangunan di berbagai sektor kepemerintahan Indonesia di Papua. Tidak perlu repot-repot gagas dialog Jakarta-Papua.
Karena Perspektif dan metodenya salah, maka sudah tentu tujuan dari dialog sektoral tidak dapat tercapai, dan hanya menjadi bahan politik pencitraan Jakarta. Bukan saja sebagai bahan kampanye Jokowi menuju Pilpres 2019, tetapi sebagai bahan kounter opini publik Internasional yang sedang mendorong penyelesaian internasional.
Oleh karena itu, sikap yang diambil KNPB jelas tidak berurusan dengan “dialog sektoral” yang membahas urusan-urusan internal dari kekuasaan pemerintahan kolonial Indonesia di tanah Papua. Mau dialog sampai 1001 kali pun silahkan. KNPB hanya berurusan dengan penyelesaian konflik dua entitas, antara pihak penjajah dan terjajah. Antara orang Papua di teritori West Papua, dan penguasa Indonesia yang merampas dan menduduki wilayah ini. Antara pemilik sah dan pencaplok illegal.
Itulah yang disebut konflik. Dan konflik seperti ini tidak pantas diselesaikan melalui dialog. Tidak logis, perampok berdialog dengan pemilik rumah mencari win-win solution tentang status kepemilikan. Rakyat Papua yang mengalami kepincangan (penindasan) di segala sektor kehidupannya adalah hasil dari praktek kolonialisme Indonesia. Semua pihak mesti berhenti bersandiwara menyempitkan persoalan pokok menjadi persoalan sektoral?
Klaim kedaulatan Indonesia atas West Papua tidak dibenarkan oleh hukum internasional. Sementara, rakyat West Papua di teritori West Papua secara sah belum menentukkan nasib politiknya di bawah hukum internasional. Karena itu, metode penyelesaian harus dikembalikan melalui jalur legal, sesuai hukum internasional yang berlaku. West Papua bukan bagian dari rumah tangga Indonesia yang penyelesaiannya melalui cara-cara internal. West Papua ada urusan internasional yang harus dikembalikan ke PBB.
West Papua adalah urusan PBB yang belum selesai. Karena belum selesai, PBB mesti mendorong mekanisme referendum sebagai satu-satunya solusi dalam menentukan nasib rakyat West Papua diatas tanah Papua. Solusi damai hanya bisa terwujud bila rakyat West Papua diberi hak untuk menentukan pilihan politik untuk berintegrasi dengan Indonesia atau merdeka sebagai sebuah negara-bangsa melalui Referendum.
KNPB mendorong referendum sebagai media penyelesaian yang damai, demokratis dan final. Dalam referendum tidak ada win-win solution, karena yang ada hanya solusi tunggal dan final. Dalam referendum, tidak ada istilah perwakilan. Tidak ada rekayasa. Yang ada hanya satu orang satu suara. Memilih untuk menentukan nasib masa depannya.
Disinilah dialog-dialog tentang penentuan syarat-syarat referendum dibahas bersama-sama dengan penguasa Indonesia. Disinilah saat-saat dimana Indonesia dapat menguji seberapa besar orang Papua yang cinta dan ingin Indonesia tetap menduduki West Papua. Sebaliknya, rakyat West Papua dengan jujur memilih berdiri sendiri, mendirikan sebuah negara yang merdeka. Solusi damai ini sudah terjadi di berbagai konflik yang mengambil penyelesaian lewat referendum.
Victor Yeimo
Ketua umum KNPB