JAYAPURA – Komisi Nasional (Komnas) Hak Azasi Manusia (HAM) perwakilan Papua mengkalim versi polisi terkait kasus di Enarotali Kabupaten Paniai sangat berbeda dengan apa yang disampaikan masyarakat.
“Ada dua pengadu yang diterima Komnas Papua pasca peristiwa Enarotali, diantaranya Kepala Distrik Yuliana Youw dan Tokoh Masyarakat dan Pendeta setempat Apa yang mereka sampaikan ke Komnas berdasarkan laporan dari masyarakat setempat. Namun kronologis kejadian sangat berbeda apa yang telah disampaikan Polda Papua kepada Media,” katanya
Menurutnya, versi yang diterima Komnas HAM dari Kepala Distrik dan pendeta setempat, awalnya pukul 20.00 WIT malam warga Gunung Merah setempat memutar lagu Natal di pondok Natal.
“Tak lama kemudian datang mobil berpenumpang 4 orang lalu warga setempat menegur karena lampu mati. Mereka turun lalu melakukan pemukulan,” katanya kepada wartawan di Tugu Theys Entrop, distrik Jayapura Selatan-Kota Jayapura.
Menurutnya, peristiwa itu langsung memberitahukan kepada warga Gunung Merah. Keesokan harinya, berkisar 400-600 orang datang ke Markas Koramil dengan membawa kayu dan batu. “Tujuan hanya meminta penjelasan peristiwa malam itu. Sebab, mereka mengetahui salah satu dari dalam mobil merupakan anggota Koramil,” jelas Frits.
Namun permintaan warga setempat tidak mendapatkan jawaban dari salah satu pimpinan maupun anggota Koramil setempat hingga akhirnya eskalasi meningkat hingga terjadi pelemparan batu lalu terjadi penembakan. Akibatnya 4 warga meninggal dunia. Entah arah tembakan dari mana, jelas ada korban tembakan.
Bahkan lanjutnya, dari informasi terakhir yang diterima, salah satu anak SD meninggal Dunia pada siang hari sesaat kejadian di Markas Koramil. “Anak tersebut meninggal karena mengalami luka kritis,” katanya.
Sementara Lanjutnya, dari keterangan Polda Papua, penembakan itu muncul ketika terjadi pemalangan namun sempat dibuka setelah dilakukan negosiasi. Tak lama kemudian, tiba-tiba terjadi pembakaran Kantor Kantor KPU lalu terjadi penembakan.
“Disini terjadi perbedaan versi karena dari pengaduan ke Komnas HAM bahwa penembakan itu terjadi sebelumnya sudah dilakukan penembakan ketika mereka ada di pos untuk menuntut kejadian malam itu dan disitulah terjadi penembakan. Sementara menurut polisi ada penembakan dari gunung dan itu yang memicu 400-600 menuju pos koramil,” .
“Perbedaan ini harus jelas, apakah peristiwa ini ada sebuah peristiwa keributan diantara warga atau k warga dengan warga atau kemudian warga dengan aparat. Kemudian kenapa kantor KPU dibakar, pemalangan. Ini harus dipastikan,” kata Frits meminta.
Untuk itu, dirinya meminta agar pemerintah daerah setempat melakukan tindakan pertama. “Di sini pemda harus berperan untuk negosiasi, memberikan jaminan kepada para pihak baik kepada korban, masyarakat setempat maupun aparat keamanan agar masing-masing pihak menahan diri,” katanya.
Disisi lain, kemarin Komnas HAM telah meminta agar 5 jenazah termasuk siswa SD yang ada dapat dilakukan tindakan medis. Tindakan medis harus dilakukan dan kalau tindak medis tidak dilakukan maka sulit untuk memastikan penyebab kematiannya seperti apa.
Sambung Frits, tindakan medis sebenarnya merupakan tindakan atas nama HAM untuk bisa memastikan agar jenazah ini harus ada tindakan medis misalnya otopsi.
“Dengan otopsi atau visum maka akan dipastikan dan diketahui penyebab kematiannya. Kalau penyebab kematiannya akibat peluru bisa ditelusuri dan kalau tidak dilakukan maka polisi dan pihak lain akan mengalami kesulitan untuk mengungkap itu,” tukasnya.
Lebih lanjut disampaikan Frits, Tim-tim yang diturunkan, seperti tim mabes, polda, DPRP, Komnas HAM perwakilan Papua. “Tim-tim yang datang ini diminta untuk tidak saling memaksa tapi lebih koperatif untuk mengungkap ini secara pelan-pelan dan terukur,” ungkapnya. (loy/don)
Kamis, 11 Desember 2014 12:01, BP