Dengan Diadilinya Lima Tokoh PDP
Jayapura, PAPUA POST.-
Tindakan yang telah dilakukan dalam rangka mewakili aspirasi rakyat Papua akhirnya membawa Theys Cs disidangkan. Terhadap tindakan yang telah dilakukan itu, Theys Cs dituding telah melakukan tindakan makar. Menurut pengamatan Budi Setyanto, Mantan Direktur LBH Papua bahwa apa yang dilakukan rakyat Papua melalui elit Papua ini dinilainya masih dalam konteks wacana. Artinya masih dalam konteks discourse (dalam ruang diskusi). Persoalanya adalah tentang ada bendera, Mubes, Kongres dan lain sebagainya. Namun, jika itu yang menjadi persoalan disisi lain hal itu ternyata telah mendapat restu dari Presiden Gus Dur.
”Dan hal-hal tersebut merupakan media untuk membicarakan dan membuka wacana tersebut,” kata Budi saat ditemui di Kantor Foker LSM, kemarin.
Lebih lanjut dikatakannya, jika hal tersebut kemudian dianggap makar berarti cap yang sama juga ada pada pemerintah. Karena, pemerintah sendiri telah memberikan ruangan itu yang pada akhirnya tercipta unsure makar itu. Lanjut Budi, unsur dari makar bukan soal pelaksananya saja. Tetapi soal unsur keikutsertaaanya juga. ”Jadi tidak hanya pelaksananya atau yang berbuat, tetapi yang merestui Mubes dan Kongres termasuk pengibaran bendera,” katanya.
Lebih jauh dikatakannya, untuk membahas masalah ini harus dibahas dalam wacana politik. Untuk itu perspektif politiknya harus dibahas dulu, karena ini merupakan koreksi dari masyarakat Papua terhadap pemerintah maka sudah barang tentu media yang sudah pas adalah politik. Pengibaran bendera, hal-hal yang terkait didalamnya yang disebut side effec (efek samping) dari sebuah refleksi ekspresi yang kemudian tidak ditangkap cepat oleh pemerintah. Jika medianya dilakukan dialog politik, akan jauh lebih efektif. Di dalam hukum otonomatis perspektif hukum, lanjut Budi, seperti yang terjadi saat ini, artinya ada proses hukum yang dilakukan JPU dan polisi, yang berlandaskan pada KUHP dengan makar. Tetapi untuk melihat semua, makar mestinya dilihat secara utuh, back groundnya juga perlu dilihat.
”Yakni dari proses reformasi dan kemudian tuntutan dari masyarakat, dan koreksi sampai pada Pepera dan New York Agrement yang kemudian responi dengan baik. Jika demikian maka efek samping tidak seperti ini dan proses makar,” katanya.
Menurut Budi Seytanto,SH sejak reformasi berjalan di Republik ini, ada kebebasan yang diberikan oleh pemerintah untuk mengekspresikan pikiran dan keinginan dari rakyat Papua. Termasuk misalnya melakukan koreksi terhadap proses integrasi dengan Indonesia. Apapun dengan Indonesia, yang katanya proses hukum dari New York Agrement yang selanjutnya dengan Pepera tidak dilaksanakan sesuai aturan hukum yang berlaku. Koreksi yang dilakukan rakyat Papua itu yang menyatakan asusmsinya New York Agrement, katakanlah tidak diterima masyarakat. Karena dan diingat betul oleh masyarakat bahwa pelaksanaan dari New York Agrement adalah Pepera.
Hal ini tidak diterima oleh masyarakat Papua, dinilai tidak fair karena tidak dilakukan melalui one man one vote. Menurutnya, apa yang disampaikan oleh rakyat Papua waktu itu dan saat ini sebatas koreksi yang kemudian dipersepsikan oleh rakyat Papua adalah pelurusan sejarah. Tentang kemudian ada persoalan yang menginginkan untuk merdeka dan memisahkan diri dari Indonesia, disampaikan secara formal ke pusat dalam hal ini ke Presiden Habibie dan Gus Dur.
Sementara itu, Abdul Rahman Upara yang juga mantan Direktur LBH Papua berpendapat, bicara soal hukum internasional, akan melibatkan masyarakat internasional sebagai warga nehara yang lain. Menurut Upara, disini ada pertentangan dari beberapa masyarakat internasional seperti Belanda, Amerika termasuk Indonesia. Yang sebenarnya Papua waktu itu masih ada cacatnya. Dimana orang Papua tidak dilibatkan secara penuh tetapi hanya beberapa orang saja. Padahal dalam traktat-traktat atau perjanjian-perjanjian yang disepakati disebutkan orang Papua diberikan pilihan. ‘Mau ikut yang mana’ Belanda atau Indonesia atau dimana. Yang terjadi, dan itu yang tidak bisa dilakukan sehingga jalur yang harus ditempuh untuk menggugat itu. Hanya saja, jalur-jalurnya masih harus melewati proses yang rumit.
Disinggung adanya pelanggaran HAM yang dijadikan alasan pembenaran rakyat Papua menuntut status politik Papua termasuk hukumnya, Upara mengatakan, secara hukum Indonesia hal itu dianggap selesai. Tetapi oleh rakyat Papua belum selesai, karena beberapa traktat-traktat yang dipakai ada cacat hukumnya. Ada tanggungjawab PBB soal itu, sehingga harus ada Resolusi PBB yang dikeluarkan tentang Papua. Hal ini harus dilihat secara obyektif, sebab persoalan ini belum tuntas kenapa Papua dicap masuk kedalam wilayah Indonesia. Jika misalnya dari perspektif hukum internasional kemudian pengadilan memutuskan sudah clear, berarti tidak masalah. Tapi, jika misalnya hal itu dijadikan sebagai alat untuk menggugatnya sebagai masyarakat internasional maka itu sudah selesai. Disinggung soal keberadaan Mahkamah Internasional sehubungan dengan kasus Theys Cs ini, Abdul Rahman mengatakan, ada mekanisme menuju kesana. Namun, soal persyaratan menuju kesana pihaknya belum memahaminya secara baik. (bis)