THEYS Hiyo Eluay ternyata tidak hanya dekat dengan Abdurrahman Wahid, tapi juga dengan beberapa artis cantik. Ini terungkap dalam acara wawancara dengan artis di Televisi Pendidikan Indonesia, Jumat pagi lalu. Dalam kesempatan itu, Ayu Azhari mengucapkan belasungkawa atas tewasnya Theys Hiyo Eluay, yang bukan artis dan bukan pejabat tinggi Indonesia. Yang lebih mengejutkan, Ayu juga mengaku sangat dekat dengan Theys. “Kami sahabat,” ujar sang pemain sinetron yang memenangi penghargaan sebagai aktris terbaik dalam Festival Film Asia Pasifik belum lama ini. Ayu bahkan memanggilnya “Om Theys”, “Sementara anak-anak saya memanggilnya Opa Theys,” katanya.
Itu bukan pengakuan sepihak. Pertengahan bulan lalu, kepada TEMPO, Theys dengan bangganya memamerkan fotonya bersama Ayu Azhari. Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) ini juga menceritakan bagaimana awal pertemuannya dengan si artis cantik. Dia juga, katanya, akan mengundang Ayu ke sebuah acara di Papua.
Tidak hanya itu. Beberapa hari sebelumnya, Theys juga bela-belain menemui artis pujaannya yang lain, Dewi Yull. “Karena saya dan istri saya sangat kagum dengan Dokter Sartika yang dia perankan,” ujarnya sambil tersenyum. Lelaki berambut dan berjanggut putih ini juga cukup dekat dengan Titiek Puspa. “Karena ulang tahun kami berdekatan,” ujar Theys, lalu terbahak.
Tokoh perjuangan kemerdekaan tanah Papua itu memang penuh kontroversi. Selain lama berkecimpung di dunia politik dan dekat dengan penguasa politik, kehidupannya pun penuh kontroversi. Ia seperti mengikuti arah angin bertiup. Dia mengaku membenci Sukarno yang “mencaplok” Papua. Namun, Theys tetap mengagumi sang Proklamator—bahkan salah satu anaknya diberi nama Soekarno. Dia juga membenci TNI—tapi seorang anaknya dinamai Acub Zaenal. Ia juga “meminjam” nama Sartika dari Dewi Yull untuk nama anak perempuannya.
Dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua, jalan yang ditempuh Theys pun cukup berliku. Dia sangat terlibat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua pada 1969—meski sekarang dia menolak bentuk referendum yang bagaimanapun. Di zaman Orde Baru, dia anggota DPRD dari Fraksi Karya Pembangunan dalam tiga periode. Namun, setelah tidak dicalonkan lagi pada Pemilu 1992, dia kembali bersuara keras tentang kemerdekaan Papua.
Puncaknya terjadi ketika Theys bersama rakyat Papua menyatakan dekrit dan mengibarkan Bintang Kejora (bendera Papua) pada 1 Desember 1999 dan 1 Mei 2000. Dia juga menandatangani komunike politik pada Musyawarah Besar Dewan Papua di Jayapura, 23-24 Februari 2000. Dan pada 29 Mei-4 Juni 2000, dia menggelar Kongres Nasional II Papua Barat, atau yang dikenal sebagai Kongres Rakyat Papua, di Jayapura. Kongres itu kemudian menjadi heboh karena mendapat bantuan Rp 1 miliar dari Presiden (waktu itu) Abdurrahman Wahid.
Theys memang cukup dekat dengan Abdurrahman. Bahkan, selagi Abdurrahman digoyang, ia sempat mengancamkan pemisahan diri Papua dari RI kalau Abdurrahman digulingkan. Balasannya, saat Theys di Jakarta pertengahan Oktober lalu, Abdurrahman Wahid menyatakan kesediaannya menjadi saksi (yang meringankan?) dalam proses hukum yang sedang dia jalani dengan tuduhan melakukan tindakan makar terhadap RI. (Tapi akhirnya tidak jadi.)
Theys memang pemimpin, politisi—dan juga manusia biasa. Sebanyak yang kagum, sebanyak itu pula yang membencinya. Banyak yang dia perjuangkan. Setidaknya itulah yang dia katakan ketika ditemui TEMPO di Jakarta saat para anggota DPRD Papua, DPR, dan pemerintah membicarakan Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Papua. Berikut ini petikan wawancara Purwani Diyah Prabandari dari TEMPO dengan Theys di Hotel Arcadia, Jalan Wahid Hasyim, pertengahan Oktober lalu—sebulan sebelum dia ditemukan tewas di Koya Tengah, sekitar 40 kilometer dari Jayapura.
Apa pendapat Anda dengan akan segera disetujuinya Undang-Undang Otonomi Khusus untuk Papua?
Itu bukan urusan saya. Saya tak mau menerima ide otonomi. Saya hanya berpikir soal Papua merdeka.
Jadi, kesepakatan tidak mempengaruhi Anda?
Tidak.
Meski sebelum menyetujui nama Provinsi Papua, perdebatannya alot?
Itu bukanlah kemenangan. Papua bukanlah Provinsi Papua, tapi bangsa Papua. Jadi, Papua (akan) menjadi negara sendiri.
Bagaimana dengan sistem pembagian kekayaan alam dalam UU Otonomi Khusus?
Kami yang punya kekayaan. Pemerintah (yang harus) meminta kepada kami agar menyerahkan kekayaan. Kemudian mereka membaginya, 80 persen untuk kami dan 20 persen untuk pemerintah pusat. Kami yang mestinya membagi. Kami punya perasaan. Indonesia sudah membantu kami selama ini. Dan kami akan tetap berjuang dengan damai dan cinta kasih. Memang kami masih diperlakukan dengan kekerasan. Juga banyak terjadi pem-bunuhan. Tapi kami tidak membalas.
Terus, apa yang akan dilakukan oleh PDP dan Anda sendiri?
PDP tetap akan melakukan upaya lobi sampai tercapai dialog, baik nasional maupun internasional. Ini kami lakukan agar Indonesia secepatnya mengembalikan hak bangsa Papua seperti sebelum 1 Desember 1961, yaitu hak untuk merdeka, yang dicopot oleh Sukarno dengan Operasi Trikora. Waktu itu, Bung Karno menyatakan operasi tersebut untuk membubarkan negara boneka Papua. Padahal yang sebenarnya ada adalah Negara Papua, bukan negara boneka Papua. Orang Papua sudah berdiri sendiri. Papua sudah merdeka.
Tapi bukankah masuknya Papua ke wilayah Indonesia dengan Penetapan Pendapat Rakyat dan sudah diterima masyarakat internasional (PBB)?
Tapi itu cerita Bung Karno saja.
Lalu apa yang akan dilakukan PDP?
Pemerintah pura-pura tidak mengerti bangsa Papua. Bangsa Papua tidak suka kekerasan. Karena itu, PDP dalam perjuangannya selalu mengutamakan perdamaian dan cinta kasih. Makanya perlu diadakan dialog-dialog nasional dan internasional.
Upaya PDP di tingkat internasional?
Tahun lalu, ada perwakilan PDP ke PBB. Dan kami berbicara di Sidang Umum PBB. Hanya, kita belum diterima penuh.
Tapi Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan menyatakan mendukung integritas wilayah Indonesia, yang berarti Papua termasuk di dalamnya?
Orang Papua sendiri yang tahu keinginannya, bukan Kofi Annan, bukan AS. Ini soal harga diri. Bangsa Indonesia yang harus menentukan. Demikian pula bangsa Papua. PBB hanya sebagai tempat melapor. PBB bukan segala-galanya.
Tapi, sewaktu ada Kongres Papua, Presiden Abdurrahman Wahid mendukung, bahkan membantu Rp 1 miliar. Tidakkah itu bisa mengubah keinginan PDP?
Kami memang menemui beliau dan minta beliau datang ke Kongres Rakyat Papua. Beliau merestuinya, bahkan membantu dana Rp 1 miliar. Beliau selalu mendengarkan hati nurani. Bahkan beliau bersedia membuka kongres. Tapi ada tekanan dari kiri-kanan, dari orang-orang yang suka membunuhi rakyat. Mereka tidak menginginkan Gus Dur membuka kongres.
Banyak yang khawatir, kalau kongres dilangsungkan, itu akan memicu aksi kekerasan.
Kongres Rakyat Papua bukanlah macam penyerang gedung World Trade Center di AS. Kita berbicara baik-baik. Rakyat mau berbicara dengan bebas, tidak ingin ada kekerasan. Jadi, kita rakyat Papua hanya ingin dialog terus-menerus. Ini dalam rangka pelurusan sejarah, yaitu kembali kepada apa yang terjadi pada 1 Desember 1961. Dan beliau menyambut baik.
Apakah dia menyampaikan pesan tertentu bagi masyarakat Papua saat memberikan Rp 1 miliar itu?
Tidak ada pesan dari beliau. Beliau mengatakan begini, “Pak Theys, pasti saya akan beri rakyat Papua Rp 1 miliar,” (tapi) beliau tidak mengatakan kami tidak boleh begini atau begitu. Dan beliau mengatakan bahwa uang tersebut bukan uang KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Ini bantuan murni.
Bagaimana dengan pemerintah sekarang?
Sampai saat ini, pemerintah belum mem-buka diri untuk dialog lewat PDP. Ada baiknya pemerintah mau berdialog, sehingga ada hasil yang disepakati.
Mungkinkah melakukan kompromi dengan menerima otonomi khusus dulu sebelum referendum?
Rakyat, dalam kongres, tidak memberikan mandat untuk menerima otonomi ataupun referendum. Jadi, PDP melakukan dialog-dialog di AS atau PBB agar hak kami dikembalikan. PDP tidak melobi untuk otonomi khusus. Rakyat memberi mandat untuk merdeka, sehingga PDP tidak melibatkan diri dalam upaya pembicaraan masalah otonomi khusus. Sebab, rakyat tidak menghendaki otonomi khusus. Karena itu, PDP juga dengan penuh ketekunan dan keikhlasan menjalankan amanat rakyat dalam Kongres Rakyat Papua. Rakyat merasa kemerdekaan harus dicapai. Maka kami minta hak itu dikembalikan.
Apa keberatannya PDP belum juga berinisiatif untuk berdialog dengan pemerintah sekarang?
Di Kongres Rakyat Papua, mereka (rakyat) tidak memberi mandat otonomi khusus. Jadi, yang harus kami lakukan mengupayakan agar kemerdekaan dikembalikan.
Bagaimana dengan PBB?
Kemerdekaan kami direbut (oleh RI) dengan kekerasan, intimidasi, dan rekayasa. Sebenarnya, pada 1962, sudah ada pembicaraan di PBB antara Indonesia dan Belanda. Kita telah merdeka pada 1961. Kami juga mengirim delegasi, tapi tidak dimasukkan dalam dialog. PBB cacat hukum. Mereka tidak bisa berbicara atas nama rakyat Papua. Ini tanah Papua, bukan tanah PBB atau tanah Indonesia atau tanah Belanda. Tidak pernah sampai hari ini AS berbicara tentang perjanjian tahun 1969. Kita adalah negara merdeka. Kita sudah punya bendera dan lagu kebangsaan. Itu gila.
Bagaimana sebenarnya hubungan OPM dengan PDP karena terdengar sering terjadi konflik di antara keduanya?
Sebenarnya kami satu. OPM ataupun PDP menginginkan Papua merdeka. Pada 1998, kami minta mereka melebur dalam perjuangan. Bukan OPM lagi, tapi perjuangan semesta bangsa Papua. Dengan demikian, mereka merupakan bagian dari rakyat Papua. Jadi kita terima. Dulu Pak Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan itu gerakan separatisme. Tapi saya bantah. Tidak ada separatisme di Papua. Yang ada adalah perjuangan demi harga diri. Jadi bukan OPM. Tapi Organisasi Papua Merdeka bukan separatisme. Kami tidak menerima kata itu.
Dengan bergantinya presiden dari Abdurrahman ke Megawati?
Meski Indonesia berganti presiden, perjuangan bangsa Papua tetap jalan. Kita berhenti berjuang hanya apabila Yesus “diganti”. Dalam doa kepada Tuhan, kita berbicara kebenaran. Indonesia merdeka pada “18 Agustus” 1945, itu benar. Dan kemudian Indonesia memiliki UUD 1945, yang dalam pembukaannya disebutkan dengan jelas bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Karena itu, bangsa Papua juga punya hak untuk merdeka.
Tapi apa PDP benar-benar merepresentasikan seluruh rakyat Papua? Sebab, masih ada orang yang mau berintegrasi dengan Indonesia, bahkan menerima otonomi khusus.
Seluruh rakyat Papua, kecil-besar, tua-muda, lelaki-perempuan, yang tinggal di dalam atau di luar negeri, yang hidup ataupun yang mati, semua menghendaki kemerdekaan Papua. Hanya segelintir yang tidak demikian, orang-orang semacam Freddie Numberi yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Mereka menipu diri sendiri, bangsa Papua, dan juga menipu Tuhan.
Bagaimana dengan kemungkinan referendum seperti Timor Timur?
No way. Papua adalah segala-galanya. Dan Papua tidak bisa dibandingkan dengan Tim-Tim. Tim-Tim belum pernah merdeka. Tapi Papua sudah merdeka. Kami sudah mendeklarasikannya. Kami punya lagu kebangsaan dan bendera negara, berbeda dengan Tim-Tim.
Tapi Anda pernah menjadi anggota DPRD selama tiga periode.
Anda tahu kondisi saat itu. Kita tidak boleh bicara beda. Berpikir beda pun sudah dibunuh.
(Di akhir pertemuan sambil makan siang, TEMPO berniat membayar. Tapi Theys langsung menolaknya. “Tidak. Saya ini bapak bangsa Papua. Dan kamu adalah anakku. Jadi, bapak punya kewajiban membayari anaknya,” ujar Theys sambil terbahak-bahak.)
TEMPO, No. 38/XXX/19 – 25 November 2001. http://dir.groups.yahoo.com/group/PPDi/message/1891