Jayapura, Jubi – Pemerintah Indonesia diberi waktu hingga 14 November 2016 untuk menjawab surat pernyataan Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD) PBB terkait represi, penggunaan kekuatan aparat berlebihan, pembunuhan, penangkapan massal dan sewenang-wenang, impunitas, migrasi massal dan rendahnya standar pendidikan terhadap orang-orang asli Papua.
Pernyataan yang ditandatangani oleh Professor Anastasia Crickley, Ketua CERD, tertanggal 3 Oktober 2016 itu ditujukan kepada Wakil Permanen Pemerintah Indonesia di PBB, Triyono Wibowo, sebagai pernyataan protes menyusul Sesi ke-90 komite tersebut pada Agustus 2016 dalam lalu.
Di dalam suratnya, Crickley meminta pemerintah Indonesia ‘menyerahkan informasi terkait seluruh isu dan persoalan yang disebutkan di atas termasuk langkah pemerintah mengatasinya, selambat-lambatnya 14 November 2016’.
“Kami mendapat laporan antara April 2013 dan Desember 2014, pasukan keamanan sudah menewaskan 22 orang selama demonstrasi dan sejumlah orang dibunuh atau dilukai sejak Januari 2016. Diduga, pada Mei 2014, lebih dari 470 orang Papua ditahan di berbagai kota di Papua saat melakukan demonstrasi,” demikian menurut Crickley di dalam pernyataan tersebut.
Dia menambahkan penangkapan di Papua juga meningkat sejak awal 2016, berkisar hingga 4000 orang dari bulan April hingga Juni 2016, termasuk aktivis HAM dan jurnalis. “Semua itu, dikatakan dalam laporan yang kami terima, tidak pernah diinvestigasi dan pihak-pihak yang bertanggung jawab tidak pernah dihukum,” lanjut Crickley.
Laporan 18 halaman kepada CERD terkait kekerasan dan diskriminasi berbasis ras terhadap Orang Asli Papua tersebut diajukan oleh Geneva for Human Rights (GHR) yang berbasis di Swiss.
Di dalam pernyataan yang diterima redaksi Jubi tertanggal 13 Oktober 2016, GHR meminta agar seluruh fungsi-fungsi PBB memberi perhatian pada masalah mendesak di West Papua.
“GHR mengajak seluruh ahli dalam sistem PBB, baik pemegang mandat prosedur Khusus maupun badan-badan keanggotaan traktat, organisasi-organisasi HAM, dan pemerintah untuk secara aktif terlibat dalam Dewan HAM PBB serta Universal Periodic Review (UPR) untuk memberi perhatian lebih pada situasi dramatis yang dihadapi orang Papua, serta menyerukan agar Indonesia menghormati kewajiban HAM internasionalnya,” demikian ujar GHR dalam pernyataannya.
CERD terdiri dari 18 ahli independen yang dipilih oleh negara-negara untuk memonitor implementasi Konvensi Internasional Penghapusan Diskriminasi berbasis Ras di negara-negara anggota. Indonesia adalah negara yang meratifikasi konvensi tersebut.
Respon PIANGO
Asosiasi Organisasi Masyarakat Sipil Kepulauan Pasifik (PIANGO) menyambut baik permintaan CERD kepada pemerintah Indonesia. “Ini adalah pertanda sikap PBB terhadap kasus West Papua mulai berubah,” ujar Direktur Eksekutif PIANGO, Emele Duituturaga kepada Jubi, Senin (17/10/2016).
Menurut Duituturaga permintaan komite tersebut terhadap informasi yang spesifik dari Indonesia menunjukkan bahwa mereka serius menanggapi dugaan pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua yang diajukan oleh masyarakat sipil kepada PBB.
“CERD memberi batas waktu hingga 14 November kepada Indonesia untuk menyerahkan laporan terkait dugaan pelanggaran HAM tersebut, status penerapan otonomi khusus, langkah-langkah yang diambil dalam melindungi masyarakat asli Papua dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, termasuk perampasan hak hidupnya,” ujar Duituturaga mengutip permintaan CERD kepada pemerintah Indonesia.
Oleh CERD, Indonesia juga diminta untuk melaporkan langkah-langkah yang diambil dalam melindungi masyarakat asli West Papua untuk hak kebebasan berkumpul dan berorganisasi termasuk orang-orang yang memiliki pendapat berbeda; langkah yang diambil dalam menginvestigasi dugaan penggunaan kekuatan aparat yang berlebihan, termasuk pembunuhan; serta langkah yang diambil untuk memperbaiki akses terhadap pendidikan anak-anak Papua, khususnya yang hidup di pedalaman.
“Indonesia bukan saja negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, ia juga negeri dengan ekonomi besar berkembang , tetapi ketidakmampuannya menerapkan prinsip-prinsip demokratis di West Papua mengancam kredibilitasnya dihadapan komunitas internasional,” tegas Duituturaga.
“Sekarang bola ada di pengadilan mereka. Masyarakat sipil Pasifik, bersama-sama CERD, sangat menantikan tanggal 14 November itu,” lanjutnya lagi.
Di dalam suratnya, Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB juga mendesak pemerintah Indonesia untuk memberikan keseluruhan laporan periodiknya yang, ternyata, belum diserahkan sejak 25 Juli 2010. (*)