TEMPO Interaktif, Jakarta -Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Papua menilai telah terjadi penurunan drastis terhadap situasi HAM di Papua pada 2009. Negara masih mengabaikan perlindungan kesetaraan warga, penghormatan martabat manusia, serta supremasi hukum di Papua. Akibatnya kesejahteraan dan keadilan makin jauh dirasakan orang Papua.
Sepanjang 2009, kriminalisasi terhadap warga sipil Papua meningkat. Aparat keamanan dengan mudah mendiskreditkan orang-orang yang dituduh sebagai separatis. “Kriminalisasi atas warga yang mengibarkan bendera, pembubaran demonstrasi damai hingga penembakan terhadap Kelly Kwalik adalah cermin absennya kemauan untuk dialog di masyarakat,” kata Matius Murib dari Komnas Daerah Papua didampingi Haris Azhar dan Syamsul Alam dari Kontras dalam refleksi 2009 dan proyeksi HAM Papua 2010 hari ini.
Para aktivis juga masih diawasi dan terkadang diintimidasi saat menginvestigasi kasus-kasus pelanggaran HAM, mengadakan pertemuan dengan diplomat, dan perwakilan organisasi internasional atau sekadar mengadakan pertemuan. Dalam kasus penembakan tokoh pembebasan Papua, Kelly Kwalik terlihat negara gagal menyelesaikan konflik di Papua dalam tatanan demokrasi. Hal ini mengulangi penembakan Abdullah Syafei di Aceh.
Di sisi lain negara juga tidak merespon seruan gerakan properdamaian yang skalanya jauh lebih besar. Pendekatan keamanan selalu dan terus dikedepankan di tanah Papua. Akibatnya hak-hak sipil masyarakat Papua terus dilanggar.
Identitas Papua tidak lagi mendapat penghormatan penuh karena ekspresi damai bendera kian dilihat sebagai tindakan melawan hukum. Padahal itu bagian dari penghormatan kebudayaan serta manifestasi hak sipil politik setiap orang. Sebaimana yang dijamin dalam Kovenan hak sipil dan Politik serta Kovenan hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada 2006.
Data yang dihimpun oleh Fransiskan International menunjukkan, pada tahun 2004 sebanyak 80 persen penduduk pribumi Papua hidup dalam kemiskinan. Selain itu, sebanyak 36,1 persen warga di daerah tersebut tidak memiliki akses fasilitas kesehatan. Kondisi ini kian diperparah dengan meningkatnya eksploitasi sumberdaya alam di sana yang tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.
Menyoroti kehidupan kultural Papua, papar Matius, masyarakat adat di sana masih belum bisa merasakan praktik penghormatan terhadap ekspresi budaya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Jamaknya setiap perbedaan tentu bisa dirayakan dalam semangat kebersamaan, namun di sana ekspresi dari perbedaan itu dijawab dengan penolakan dan dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang harus dijawab dengan kekuatan eksesif. Hal yang tak kalah penting lainnya adalah praktik penegakan hak asasi manusia.
Masyarakat Papua juga belum bisa merasakan secara langsung eksistensi negara dalam wujud pelayanan publik yang optimal. Hal ini dikarenakan ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menata kebijakan yang seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat Papua secara luas.
Inkonsistensi sikap dan tindakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua dalam menerapkan Undang-undang Otonomi Khusus telah berakibat pada ketidakpercayaan rakyat Papua. Secara ekonomi-sosial, target pembangunan dalam Otonomi Khusus juga tak dirasakan oleh orang Papua. Kebijakan tersebut justru melahirkan kesenjangan sosial kian tinggi dan menyuburkan korupsi tanpa koreksi yang signifikan.
Persoalan marjinalisasi dan diskriminasi terhadap warga asli Papua sebagai akibat dari politik pembangunan ekonomi, konflik politik dan migrasi massal yang dipraktikkan sejak tahun 1970 masih menjadi corak khas yang memenuhi daftar persoalan Papua hingga kini. Oleh karenanya Pemerintah perlu memperhatikan kajian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam buku Papua Road Map (2009), yang menyimpulkan bahwa kegagalan pembangunan tidak saja bertumpu pada satu dimensi permasalahan semata, melainkan menjalar pada sektor-sektor publik seperti pendidikan, kesehatan dan perekenomian masyarakat.
Sudah sepatutnya pemerintah pusat konsisten dalam menjalankan kehidupan berdemokrasi tanpa diskriminasi. Upaya mengedepankan dialog adalah komitmen yang harus diwujudkan bersama. Mewujudkan perdamaian di tanah Papua bukan tidak bisa diraih. Jika Presiden Susilo teguh pada retorika demokrasinya, maka orang Papua tidak menjadi sasaran operasi keamanan bertubi-tubi.
Tidak ada prioritas yang jelas terhadap pelaksanaan pemajuan, perlindungan dan penegakkan HAM di Papua. Hingga kini, belum ada Peraturan Daerah Khusus tentang Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua sebagai kerangka hukum implementasi dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
“Kami meminta Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan prioritas perhatian untuk rakyat Papua,” ujar Matius Murib. Janji kesejahteraan, demokrasi dan keadilan yang menjadi tiga pilar program pemerintahan Susilo-Boediono harus bisa dirasakan langsung oleh rakyat Papua.
MARIA HASUGIAN