CANBERRA, SATUHARAPAN.COM – Semakin jelas pemicu TNI menghentikan kerjasama militer dengan Australia, setelah sebelumnya banyak diungkapkan bahwa alasan utama adalah karena adanya penghinaan terhadap Indonesia.
Kantor berita Fairfax Media, sebagaimana dikutip oleh berbagai media Australia, mengutip sebuah sumber yang membeberkan materi pelatihan dan diskusi dalam kerjasama pelatihan militer TNI dan Australia yang menjadi pemicu penghentian kerjasama. Ia mengatakan, kemungkinan memang ada bahan ajar yang menyinggung dan menghina. Namun bahan lain, adalah penilaian ilmiah kritis terhadap perilaku masa lalu militer Indonesia pada tahun 1965 atau invasi Indonesia Timor Timur (Timor Leste). Juga sindiran-sindiran politis tentang Papua.
Kantor berita itu mengutip keterangan Mufti Makarim, direktur eksekutif Institute for Defence, Security and Peace Study in Indonesia, yang mengatakan bahwa personel TNI yang menjadi pelatih dari Indonesia dalam kerjasama militer tersebut melaporkan bahan ofensif itu kepada atasannya ketika ia kembali ke Indonesia. Lalu TNI meminta hal itu diselidiki.
Kompas melaporkan bahwa berdasarkan perintah pada tanggal 29 Desember, Panglima TNI, Gatot Nurmantyo menginstruksikan semua kerjasama militer, termasuk pelatihan dengan Angkatan Pertahanan Australia, ditangguhkan.
Mufti mengatakan bahwa menurut pemberitahuan melalui Whatsapp yang belum dikonfirmasi, yang diyakini diedarkan oleh militer Indonesia, atasan para pelatih dari Indonesia meminta penyelidikan pada 9 Desember. Dia meminta agar pelatihan bersama ditunda sampai penyelidikan selesai.
Menurut pesan Whatsapp yang beredar, pelatih bahasa Indonesia Kopassus mendengar materi ofensif di kelas, termasuk bahwa almarhum pemimpin TNI, Sarwo Edhie Wibowo, adalah seorang pembunuh massal. Juga dikatakan bahwa seorang perwira TNI dibunuh temannya sambil mabuk.
Dia juga, menurut info lewat pesan WhatsApp, mengatakan melihat selembar kertas yang dilaminasi yang menghina Pancasila.
“Setelah ia kembali ke Indonesia, ia segera membuat laporan,” kata Mufti.
“Ini adalah permintaan yang adil oleh militer Indonesia bahwa sebuah penyelidikan akan diadakan,” kata Mufti kepada Fairfax Media.
“Saya percaya, saya berharap, bahwa ini tidak mencerminkan sikap Australia terhadap militer Indonesia dan ini hanya menunjukkan kurangnya pengawasan dari bahan ajar,” kata dia.
Sementara itu kepada themercury.com.au, Mufti juga mengatakan bahwa dalam sesi belajar pada pelatihan itu ada diskusi yang lebih bernuansa politik yang seharusnya tidak diangkat dalam forum itu.
“Sebagai contoh, selama sesi belajar, pelatih memberi sindiran tentang hal-hal yang menurut saya lebih tentang politik. Misalnya tentang Papua, Timor Leste dan tentang perilaku individu TNI di masa lalu. Kami tidak mengatakan TNI tidak memiliki masalah. Tetapi tidak berarti topik tentang itu bisa diajukan di forum itu,” kata Makarim.
Ia mengatakan forum seperti itu bukan tempat untuk tema sensitif dibahas.
Makarim mengatakan bahwa saling percaya antara kedua negara sekarang perlu dibangun kembali untuk memastikan TNI dapat mempercayai Australia lagi.
Media Australia juga mengutip laporan Tribunnews 29 Desember ketika Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, berbicara di kantor PP Muhammadiyah. Saat itu Panglima mengatakan sempat ada kerjasama agar Indonesia mengirimkan guru bahasa Indonesia, yang berakhir pada permohonan maaf dari pihak Australia.
Ia menyebut sempat guru bahasa Indonesia tersebut diminta untuk memberikan pekerjaan rumah kepada murid-muridnya, yang isinya antara lain propaganda Papua Merdeka.
“Papua adalah Melanesia, bahwa dia seharusnya menjadi negara sendiri. Maka saya tarik,” ujar Gatot Nurmantyo, menceritakan materi propaganda, yang disambut tepuk tangan dari warga Muhammadiyah yang mendengarkan pemaparannya.
Panglima TNI kemudian melayangkan protes, yang berbuntut permintaan maaf dari Panglima militer Australia.
Gatot Nurmantyo juga mengaku sempat menginstruksikan agar digelar investigasi atas insiden tersebut, sebelum akhirnya guru bahasa Indonesia itu ditarik.
Dalam pemaparannya itu ia tidak menyebutkan kapan insiden tersebut berlangsung, dan bagaimana detail dari insiden tersebut.
Ahli Indonesia di Australian National University (ANU) Dr Greg Fealy, mengatakan jika semua hubungan militer Indonesia-Australia diputus semata-mata atas dasar apa yang diduga ditemukan di Perth, itu merupakan reaksi yang berlebihan dari Jakarta.