Beberapa tahun lalu KontraS mendapatkan data penting bahwa pembunuhan Theys Eluay adalah pembunuhan yang telah direncanakan oleh negara. Theys dan dua orang tokoh lainnya dianggap memiliki pengaruh untuk membakar semangat perlawanan dan persatuan rakyat Papua.
Theys sampai saat ini masih disebut sebagai sosok yang kontroversi karena keterlibatannya dalam Pepera 1969. Dalam sebuah kesempatan, ia diwawancarai dan ia menjelaskan bahwa dirinya dipaksa, dibawah didalam mobil tanpa istri dan tanpa anak, diancam untuk harus memberikan suara.
Benar saja, insiden Trikora dan kejahatan militer diawal tahun 60an telah membuat banyak anak-anak asli dari Sentani yang terlibat dalam perjuangan politik rakyat Papua melarikan diri bahkan ada juga yang ditawan dan disiksa, dipaksa menelan sendal.
Cerita mengerikn itu segera menyebar ke seluruh Danau Sentani. Ketakutan akan kejahatan Indonesia memaksa orangtua-orangtua untuk menahan anak-anak mudanya untuk tidak terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat.
Sebelum masa gelap 1969 itu tiba, rumah di Kampung dipenuhi buku, ada yang berjudulkan Papua dan ada juga buku dengan kumpulan teori. Tumpukan buku itu ada, tetapi pemilik buku itu telah melarikan diri ke PNG. Dari kampung-kampung ia dicari. Ia adalah kakek C.F, Kakak dari Alm Kakek yang melarikan diri ke timur PNG. Ketakutan mulai membayangi orangtuanya. Malam hari dengan cahaya bulan yang memberikan harapan, Yobe (panggilan untuk orangtua kakek/nenek) , membawah buku² itu menggunakan perahu, mendayungnya perlahan sampai ke pertengahan danau antara Kampung Yobe dan Kampung Yahim dan membuang buku-buku itu. Buku-buku itu segera tenggelam dan hilang bersama sedikit kepanikan Yobe yang sudah berhasil membuang buku-buku itu.
Seperti halnya buku yang tenggelam karena ketakutan, semangat perlawanan juga tenggelam di Danau Sentani sejak penggunaan kekerasan itu ditunjukan. Banyak orangtua menginginkan kemerdekaan dan hanya berani menyebutnya dalam doa. Banyak juga yang beranjak pergi dari semangatnya yang telah tenggelam, mengganti mimpinya dengan mimpi yang lain, memilih berteman dengan Indonesia dari pada harus dibunuh oleh Indonesia. Ini perna ditulis oleh salah satu anak Sentani lewat Bukunya, ia menuliskan tentang Perubahan Sikap Politik Masyarakat Sentani.
Dalam kegelapan ketakutan di Sentani. Theys Eluay hadir mendobrak ketakutan itu. Tidak ada orang Sentani yang akan membayangkan bahwa ada Ondofolo tanpa kekuataan magis, akhirnya memilih berdiri bukan hanya menjadi pemimpin di Kampungnya, tetapi membawah diri sebagai Pemimpin Bagi Rakyat Papua. Pilihannya hari itu berbanding terbalik dengan pilihan tokoh Sentani lainnya, yang sedang aktif-aktifnya dalam mendapatkan kekuasaan karena angin reformasi dan wangi desetralisasi kekuasaan telah sampai di Papua. Membuat mereka menjadi tak acuh terhadap kejahatan Indonesia atas Papua. Theys saat itu menjahit ketakutan ketakutan menjadi keberaniaan, Bintang Kejora pun berkibar.
Saat itu, dalam kepulangannya menghadiri undangan yang diberikan oleh Kopassus, ia diiringi oleh ucapan selamat tinggal yang disampaikan padanya “Selamat Jalan Pejuang Rakyat Papua”. Ucapan yang menjadi kode bahwa Theys akan segera dieksekusi.
Theys telah mati. Sebelum jazadnya dikubur ditahun 2001, ada pesan bertuliskan “Mati Satu Tumbuh Seribu” , tapi dengan hati yang terluka ditahun 2021 ini saya juga ingin menulis “Seribu Yang Datang Tidak Sama Seperti Satu Yang Pergi”
Semoga ini hanya menjadi luka sementara, luka karena belum ada figur dari Sentani yang bisa seperti dia.