Berdasarkan Kategori Resolusi Majelis Umum PBB, sebuah Resolusi Majelis umum PBB bisa dicabut, selain itu hasil referendum bisa dibatalkan, dan Majelis Umum PBB dapat membuat sebuah keputusan darurat terhadap suatu masalah yang dipandang dapat mengancam perdamaian dan keamanan regional maupun internasional.
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations General Assembly resolution adalah sebuah keputusan resmi dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diadopsi ke dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Walaupun semua badan PBB dapat mengeluarkan resolusi, namun dalam praktiknya resolusi yang paling sering dikeluarkan adalah resolusi Dewan Keamanan PBB dan resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Mengadopsi sebuah Resolusi Majelis Umum PBB biasanya memerlukan suara mayoritas, sederhananya 50% dari semua suara ditambah satu untuk lolos. Namun, jika Majelis Umum menentukan bahwa masalahnya adalah sebuah “pertanyaan penting” dengan suara mayoritas sederhana, maka dua pertiga mayoritas diperlukan; “pertanyaan penting” adalah mereka yang menangani secara signifikan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pengakuan atas anggota baru untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, penangguhan hak-hak dan hak keanggotaan, pengusiran anggota, pengoperasian sistem perwalian, atau pertanyaan anggaran .
Meskipun Resolusi Majelis Umum PBB umumnya tidak mengikat terhadap negara-negara anggota, namun resolusi internal dapat mengikat pengoperasian itu sendiri, misalnya terhadap masalah-masalah anggaran dan prosedur, serta masalah teknis (piagam dasar dan kovenan HAM)
KASUS RESOLUSI YANG DICABUT:
RESOLUSI 3379 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Resolusi 3379 dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1975. Resolusi ini menyatakan bahwa Zionisme adalah sebuah bentuk rasisme. Resolusi ini lolos dengan 72 suara yang mendukung, 35 menolak dan 32 abstain. Jumlah 72 suara yang mendukung ini termasuk 20 negara Arab, 12 negara lainnya dengan mayoritas Muslim, termasuk Turki yang mengakui Israel kala itu, 12 negara komunis, 14 negara Afrika non-Muslim dan 14 negara lainnya termasuk Brasil, India, Meksiko, dan Portugal.
PENCABUTAN
Pada tahun 1991, situasi dunia internasional menjadi berbeda setelah runtuhnya Uni Soviet, kemenangan pasukan sekutu di Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan hegemoni negara adidaya ini di dunia internasional. Maka pada tanggal 16 Desember 1991, Dewan Umum mengeluarkan Resolusi 46/86, yang menarik Resolusi 3379 dengan 111 suara setuju dan 25 suara menolak. Sementara itu ada 13 yang abstain dan 17 delegasi tidak hadir. Sementara itu 13 dari 19 negara Arab, termasuk yang berunding dengan Israel, menolak resolusi ini. Enam lainnya tidak hadir. Tidak ada Negara Arab yang setuju. PLO mengecam keras resolusi ini. Hanya tiga Negara non-Muslim yang menolak resolusi ini: Kuba, Korea Utara dan Vietnam. Hanya satu negara dengan mayoritas penduduk Muslim mendukung resolusi ini, yaitu Albania, lainnya abstain atau tidak hadir. (https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_3379_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR22VBjLqKSVNmNrckxOYa5reZIRULqzUb7f7G28AG6r2E1YnLWSsAmfBCA)
KASUS PEMBATALAN HASIL REFERENDUM:
RESOLUSI 68/262 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Resolusi majelis umum perserikatan bangsa-bangsa 68/262 adalah resolusi yang ditetapkan pada tanggal 27 maret 2014 oleh sesi ke-68 majelis umum perserikatan bangsa-bangsa sebagai tanggapan terhadap krisis krimea 2014. Resolusi yang berjudul “integritas teritori ukraina” ini didukung oleh 100 negara anggota perserikatan bangsa-bangsa (pbb). Resolusi ini menegaskan komitmen terhadap kedaulatan, kemerdekaan politik, kesatuan, dan integritas teritori ukraina, serta menggarisbawahi ketidakabsahan referendum krimea 2014. Armenia, belarus, bolivia, kuba, korea utara, nikaragua, rusia, sudan, suriah, venezuela, dan zimbabwe menentang resolusi ini. Terdapat 58 negara yang abstain, dan 24 negara lainnya tidak hadir dalam pemungutan suara.
Resolusi ini diajukan oleh kanada, kosta rika, jerman, lituania, polandia, dan ukraina. Penetapan resolusi ini didahului oleh upaya di dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa yang gagal karena diveto rusia.(https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_68/262_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR0hLNug4iCJerW7HFtUn0oW57HqB2zfSKwcY0iklSpxKW_Cro19HuI7o10)
KEPUTUSAN DARURAT:
RESOLUSI ES-10/L.22 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Resolusi ES 10/L.22 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah resolusi rapat darurat yang menyatakan status Yerusalem sebagai ibu kota Israel “tidak berlaku”.[1] Resolusi ini diadopsi dalam rapat pleno ke-37 sidang istimewa darurat ke-10 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa[2] pada sidang ke-72 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 21 Desember 2017. Draf resolusi ini diajukan oleh Yaman dan Turki.[3] Meski ditolak keras oleh Amerika Serikat, resolusi ini disahkan dengan 128 suara mendukung, 9 menentang, 35 abstain, dan 21 tidak hadir.
Pada tanggal 6 Desember 2017, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa ia akan mengakui status Yerusalem sebagai ibu kota berdaulat Israel.[1] Ini bertentangan dengan resolusi-resolusi MU PBB sebelumnya serta norma-norma internasional yang berlaku bahwa tidak satupun negara yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negara atau membangun kedutaan besar di sana. Tindakan ini diprotes oleh negara-negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia.
Usai gagalnya resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembatalan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota negara oleh negara manapun tiga hari sebelumnya karena diveto A.S., Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour mengatakan bahwa Majelis Umum akan mengadakan pemungutan suara untuk draf resolusi penarikan deklarasi Amerika Serikat. Ia menggunakan Resolusi 377 (disebut juga resolusi “Bersatu untuk Perdamaian”) untuk membatalkan veto. Resolusi ini menyatakan bahwa Majelis Umum dapat menyelenggarakan Sidang Istimewa Darurat untuk membahas suatu persoalan “dengan tujuan memberi saran bersama yang layak kepada negara-negara anggota” apabila Dewan Keamanan tidak mampu bertindak. (https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_ES-10/L.22_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR1kIUqDc9kS2HpGJwUBTDi7HzG_hr8SJlOh1dh4u4CKNciDx6L2nE_dWo0)
Resolusi Majelis Umum PBB sifatnya mengikat semua negara anggota PBB secara kelembagaan (internal), namun tidak mengikat semua negara anggota PBB dalam bentuk kedaulatan negara (eksternal), sehingga sebuah resolusi ekternal yang menjadi keputusan majelis umum PBB terhadap suatu kasus internasional yang dianggap kontroversial atau bertentangan dengan prinsip moral dan keadilan, yang atas usulan, atau advokasi negara-negara anggota PBB, hal itu dapat ditinjau berdasarkan prosedur kelembagaan.
Dari tiga konteks Resolusi diatas menjelaskan tiga bentuk kategori resolusi Majelis Umum PBB yang sifatnya sbb:
“Bahwa sebuah resolusi majelis umum PBB dapat dicabut, demikian juga sebuah keputusan dari hasil referendum dapat dibatalkan, berprinsip pada norma dan keadilan, serta dalam keadaan darurat suatu resolusi dapat dibuat”.
Kekuatan hukum internasional yang tertinggi berada pada keputusan Dewan Keamanan PBB, sehingga sebuah resolusi yang diadopsi (dibuat) oleh Dewan Keamanan PBB, mempunyai kekuatan hukum internasional yang kuat, mengikat serta memaksa para pihak yang menjadi bagian dari subjek hukum internasional dalam suatu sengketa internasional guna kepatuhan penyelesaian melalui jalan damai. Resolusi Dewan Keamanan PBB dibuat atas pertimbangan perdamaian dan keamanan internasional berdasarkan piagam dasar PBB serta Kejahatan Kemanusiaan (pelanggaran HAM Berat dan kejahatan Genosida).
Kita sering mendengar pernyataan dari berbagai kalangan di Indonesia yang pada umumnya menyatakan, masalah West Papua sudah final, tidak bisa dialakukan referendum ulang, dan resolusi MU-PBB 2504 menjadi dasar legitimasi West Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari berbagai pernyataan itu penulis mau katakan demikian, bahwa West Papua hingga saat ini bermasalah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, indikatornya jelas telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk dalam kategori genosida terhadap Pribumi Papua, seiring dengan itu Suara Pribumi Papua semakin nyaring dan jelas kedengarannya, menyuarakan tuntutan “Papua Merdeka”.
Kejahatan Kemanusiaan dan Tuntutan Kemerdekaan West Papua ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan dan betolak belakang, sehingga akan menjadi alat tawar (bargaining) dalam politik internasional tentang hak penentuan nasib sendiri bangsa West Papua, karena konflik wilayah West Papua telah menjadi bagian dari subjek hukum internasional. Oleh karena itu kenyaringan suara kemerdekaan West Papua yang diikuti kasus kajahatan kemanusiaan di West Papua, akan mempengaruhi legalitas Wilayah Geogafis West Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga akan memunculkan pertanyaan yang mendasar tentang “Kepatuhan Pemerintah Republik Indonesia terhadap Norma dan Keadilan” dalam Pelaksanaan PEPERA tahun 1969, wasalam.(Kgr)
Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah West Papua.
Ket. Gambar: Ilustrasi Majelis Umum PBB