Ketika awal Juli lalu sekelompok orang Papua berdemonstrasi di beberapa kota dengan tujuan mengembalikan UU Otonomi Khusus Papua ke pemerintah pusat di Jakarta, orang segera teringat kejadian serupa lima tahun silam.
Tahun 2005 memang sudah pernah berlangsung demonstrasi serupa dengan peserta lebih banyak lagi, sekitar 10 ribu orang. Tapi tidak juga berlangsung dialog antara Jakarta dengan Papua. Lalu bagaimana menangani masalah Papua? Bagaimana kalau menerapkan resep Aceh untuk Papua?
Dengarkan/unduh saja laporan ini dengan mengklik ujung tanda panah berikut:
Pada protes awal Juli lalu, selain mengembalikan otonomi khusus Papua, sekelompok orang Papua ini turun ke jalan juga menuntut supaya dilakukan referendum bagi masa depan Papua. Apakah masih ikut NKRI seperti Aceh, atau cabut saja seperti Timor Leste. Benarkah itu yang diinginkan Papua? Menurut Muridan Widjojo, pakar Papua pada LIPI, orang Papua tahu bahwa Jakarta tidak akan memberi izin referendum.
Kekecewaan dan frustrasi
"Tahun 2010 ini yang menolak tidak hanya unsur masyarakat sipil non pemerintah, tapi juga lembaga negara seperti Majelis Rakyat Papua," demikian Muridan. MRP akhirnya memang menyalurkan suara masyarakat yang menolak otsus. Bahkan lembaga ini semakin terbuka menuntut referendum. Sebetulnya ini ekspresi kekecewaan, frustrasi yang semakin besar, lanjut Muridan. Sehingga referendum itu sebagai suatu aspirasi, sebetulnya merupakan tuntutan tertinggi yang bisa mereka lakukan. Meskipun mereka tahu Jakarta tidak akan memberi referendum. Minimal kalau diminta referendum, mereka akan menerima yang lebih rendah sedikit dari referendum, dengan harapan ada dialog antara Jakarta dengan Papua.
Rakyat Papua kecewa dengan Otonomi Khusus karena hal yang paling prinsip dan menjadi spirit UU ini tidak dihargai. Pertama, demikian Muridan Widjojo menjelaskan, pemekaran Irjabar tahun 2003 telah melangkahi MRP pasal 76. Kemudian pembentukan Majelis Rakyat Papua juga dicurigai, sampai baru terbentuk tahun 2005. Itu juga membuat pelaksanaan otonomi khusus terganggu sekali.
Ketiga, yang menjadi spirit otsus sendiri adalah simbol-simbol kepapuaan itu harus diharga dan dihormati, ternyata malah dilarang oleh PP 77/2007. Dan seluruh kebijakan Jakarta itu justru cenderung menghalangi implementasi otsus secara konsisten, sehingga mereka tidak melihat hal-hal yang menjadi isyu mendasar konflik Jakarta Papua itu ditangani di bawah UU Otsus. Jadi pada dasarnya UU Otsus hanya berikisar padsa soal anggaran trilyunan dan kemudian pemekaran. Sehingga orang tidak melihat sesuatu yang signifikan secara politik. Oleh karena itu orang melihat otsus gagal.
Curiga otsus
Kalau bagi Papua otonomi khusus itu sudah gagal, Jakarta sendiri sebenarnya juga tidak terlalu getol dengan UU ini. Operator politik Jakarta, kebanyakan di Kementerian Polhukam dan Kementerian Dalam Negeri, sejak awal sudah curiga terhadap UU ini. Mereka khawatir otonomi khusus akan memberi peluang kepada Organisasi Papua Merdeka, OPM. Di sini Muridan melihat bahwa aparat pemerintah pusat tidak ingin membuat UU Otsus Papua betul-betul jalan. Kalau Papua tidak suka otonomi khusus, dan Jakarta pun juga demikian, maka mengapa tidak dilangsungkan dialog antara keduanya?
Muridan Widjojo meringkas, ada kalangan Papua yang minta referendum, dan ada juga yang minta revisi otsus. "Ini kelompok moderat yang bilang ya sudah kalau begitu Otsus perlu direvisi kembali," jelas Muridan. Pertanyaannya adalah, siapa yang berhak merevisinya? Ini harus melalui dialog antara Jakarta dan Papua. Jadi akar masalah dibicarakan. Harus ada kesepakatan antara pemimpin Papua yang pro-kemerdekaan dan juga wakil dari Jakarta untuk duduk, kemudian menetapkan sebetulnya akar masalahnya apa, dan bagaimana menyelesaikannya. Sehingga diakui masalahnya.
Sekarang menurut Jakarta masalah Papua adalah kesejahteraan. Sedangkan orang Papua menyangkalnya. Bagi mereka masalahnya adalah sejarah kekerasan negara dan marginalisasi. Jadi, sebetulnya dialog itu baru bisa dilaksanakan kalau presiden menunjuk seseorang yang dipercaya untuk kemudian memulai proses-proses pembicaraan dengan pemimpin Papua. Kalau diharapkan proses normal yang seperti sekarang, pasti tidak akan terjadi apa-apa. Jakarta tidak punya rancangan apapun untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh. Mereka hanya mencoba mempertahankan status quo yang ada saja, dan bagi mereka otsus juga sudah final.
Lain Papua lain Aceh
Sebenarnya sudah ada pola yang bisa dipakai Jakarta untuk juga memberesi masalah Papua, itulah model Aceh. Apa halangan penerapan pola Aceh di Papua? Muridan Widjojo menyangkal pola penyelesaian Aceh bisa diterapkan di Papua. Di Aceh Jakarta bisa langsung bicara dengan Hasan di Tiro. Tapi Papua tidak punya seorang Hasan di Tiro. Dengan begitu cara kerja di Papua lain dengan di Aceh. Untuk Papua dibutuhkan konsultasi publik, para pemimpin setempat juga didekati. Faksi-faksi harus dipersatukan dan didahului dengan dialog internal di kalangan faksi-faksi Papua. Dari situ diharapkan bisa dihasilkan satu rujukan yang berarti pijakan sama tentang agenda politik, tentang apa yang harus dibicarakan.
Inipun harus dibuat secara tertutup, demikian tegas Muridan. Dengan begitu ketika presiden menunjuk seseorang dan siap untuk bicara dengan rakyat pimpinan rakyat Papua, maka orang Papua tahu betul siapa yang akan mewakili dan agenda apa yang akan dibawa. Itulah yang harus dipersiapkan terlebih dahulu, dan itu tidak ada di Papua. Aceh lebih siap, kepemimpinannya sudah siap. Aceh punya struktur kepemimpinan. Pimpinan bilang A, semua yang di bawah juga bilang A.
Terus berlanjut
Kalau Papua tidak bisa, demikian Muridan Widjojo. Di atas A, maka harus diskusi dulu apakah di bawah juga bisa A. Harus ada negosiasi dan diskusi yang menurut pakar Papua LIPI ini adalah proses-proses khusus yang membuat proses politik di Papua lebih lamban dan lebih lama. Walau begitu Muridan melihat tetap mungkin resep Aceh diterapkan di Papua. Semangatnya yang harus diambil, demikian Muridan. Tetapi dengan metoda pendekatan dan persiapan-persiapan yang relatif berbeda dan agak rumit.
Sementara itu, masalah Papua diperumit dengan terus berlanjutnya pelanggaran hak-hak asasi manusia. Selama ini terus terjadi dan selama dialog dengan pusat tidak ada, sulit untuk menemukan titk cerah bagi Papua.