Kamis, 22 September 2016, Jesus Anam dan Ted Sprague
Aksi Papua 19 Sept 2016Tidak mudah untuk memberikan penilaian teoritik terhadap perjuangan pembebasan nasional Papua dengan situasi obyektifnya yang sangat spesifik dan kompleks. Tapi sudah menjadi tugas kaum revolusioner untuk memberikan penilaian teoritik yang tepat terhadap bentuk-bentuk baru perjuangan yang lahir dari kehidupan, sebagai panduan untuk aksi revolusioner.
Perjuangan pembebasan nasional Papua memiliki kondisi obyektif yang cukup rumit. Karakter sosial masyarakatnya terpecah-pecah dengan perbedaan-perbedaan yang cukup tajam. Masyarakat tani gunung masih kental dengan karakter primordialisme kesukuannya. Hierarkinya masih kuat. Dan beberapa kelompok variannya masih melangsungkan corak produksi yang tradisional-tribal. Masyarakat pantai, karena sering bersinggungan dengan orang-orang dari luar Papua, memiliki karakter yang lebih maju dan cair, akan tetapi rantai kesukuannya masih tetap mengikatnya kuat-kuat. Masyarakat pendatang sebenarnya jauh lebih kosmopolit, tapi hampir seluruhnya tidak (atau belum) terlibat di dalam perjuangan ini, meskipun organisasi kepemimpinan perjuangan sudah membangun perspektif politik yang lintas ras dan agama. Namun kami tidak menempatkan kerumitan-kerumitan itu sebagai problem politik primer. Kami tidak menganalisanya dengan pendekatan sosiologis. Analisis kami bertumpu pada materialisme historis-dialektis. Di atas semua itu, hal yang cukup menyulitkan untuk membuat penilaian yang tepat, adalah belum adanya kelas pekerja dengan kuantitas dan kualitas yang memadai, sebuah elemen yang, dalam teori Marxis, paling menentukan di dalam perjuangan kelas revolusioner.
Basis kekuatan yang paling progresif untuk merebut kekuasaan, entah itu dalam rangka perjuangan untuk menggulingkan rezim kapitalis di suatu negeri ataupun perjuangan suatu bangsa untuk merdeka dari penjajahnya, adalah kelas buruh. Untuk konteks Papua, elemen progresif ini kuantitasnya masih kecil, bahkan belum bisa diidentifikasi secara jelas. Tetapi kesulitan ini tetap dapat diatasi bila kita melihat masalah kebangsaan Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan revolusioner kelas buruh di seluruh Indonesia – dan bahkan dunia – dalam menumbangkan kapitalisme. Dengan mendasarkan pada pemikiran Marx, Engels, Lenin dan Trotsky persoalan ini akan segera mendapatkan titik terangnya.
Perspektif mengenai masalah kebangsaan telah didiskusikan secara serius oleh Marx dan Engels dalam tulisan-tulisannya, kemudian dibawa dengan penuh semangat di Internasional Kedua—sebelum Perang Dunia Pertama. Selanjutnya menemukan formulasinya yang lebih jelas pada Lenin dan Trotsky dalam tulisan-tulisannya mengenai hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Untuk penjabaran yang lebih penuh pembaca bisa mengakses tulisan dari Alan Woods yang berjudul “Marxisme dan Masalah Kebangsaan” di situs Militan Indonesia.
Ada beberapa poin utama yang bisa ditarik dari perspektif Marxis mengenai masalah kebangsaan dan perjuangan pembebasan nasional. Pertama, kapitalisme yang telah memasuki krisis dan masa uzurnya niscaya mendorong pecahnya konflik-konflik nasional, tidak hanya antar negeri tetapi tetapi juga dalam negeri dengan munculnya gerakan-gerakan separatis. Pada akhirnya yang menjadi korban dari konflik-konflik nasional ini adalah rakyat pekerja.
Kedua, negara bangsa adalah salah satu hambatan terbesar bagi kemajuan umat manusia, yang di satu sisi memecah belah manusia lewat nasionalisme sempit dan berbagai variannya, dan di sisi lain menjadi rem bagi penggunaan penuh seluruh potensi ekonomi dunia. Globalisasi adalah pengakuan dari kaum kapitalis akan limit negara bangsa, tetapi di bawah sistem kapitalisme globalisasi menjadi sarana untuk semakin menindas rakyat pekerja. Oleh karenanya perjuangan kelas buruh – di dalamnya sebagai bagian tak terpisahkan, perjuangan pembebasan nasional – harus bersifat internasionalis, dengan program pembentukan Federasi Sosialis Dunia yang mengikat semua umat manusia dalam ikatan persaudaraan yang sejati.
Ketiga, perjuangan untuk hak menentukan nasib sendiri adalah perjuangan demokratik, dan seperti semua perjuangan demokratik lainnya ia subordinat pada kepentingan kelas buruh dan perjuangan sosialis secara keseluruhan. Dalam kata lain, hak penentuan nasib sendiri bukanlah hak yang absolut, dimana kaum buruh harus mendukungnya setiap saat dan dimanapun. Semua harus dikaji dengan pertanyaan: apakah ini akan mendekatkan buruh ke pencapaian sosialisme? Mengapa demikian? Karena dalam banyak kesempatan kita telah melihat dalam sejarah bagaimana kaum kapitalis menggunakan hak penentuan nasib sendiri untuk tujuan reaksioner. Contoh paling jelas adalah bagaimana Perang Dunia I dan II – yang pada dasarnya adalah perang imperialis untuk kepentingan modal – dibenarkan dengan dalih hak penentuan nasib sendiri, dengan dalih membela tanah air, menjaga kedaulatan, dan sebagainya. Maka dari itu, kaum Marxis bukanlah dogmatis, tetapi mempertimbangkan semua pertanyaan dari sudut kepentingan kelas.
Lemahnya kelas revolusioner secara kuantitas dan kualitas, yakni proletariat, di Papua membawa kami pada penilaian teoritis yang spesifik, dengan tetap mengkoneksikannya dengan internasionalisme proletariat, sehingga ini tidak menjadi hambatan absolut untuk perjuangan pembebasan nasional Papua. Jika hanya bertumpu pada basis kekuatan yang ada, maka akan sangat sulit untuk sampai pada tujuan itu. Mengkoneksikan perjuangan pembebasan nasional Papua dengan internasionalisme proletariat – dan khususnya perjuangan kelas buruh Indonesia – menjadi sebuah kata kunci.
Perlu ditambahkan perjuangan ini bukan perjuangan oleh “rakyat” Papua untuk “rakyat” Papua. Kata “rakyat” mengandung makna yang abstrak. Kata “rakyat” belum menunjuk pada suatu kelas, tetapi bisa mencakup semua kelas. Oleh karenanya perjuangan Papua Merdeka harus menarik garis kelas yang jelas, yakni bertumpu pada kelas proletar yang merangkul rakyat pekerja tertindas lainnya. Kelas borjuasi Papua tidak bisa diandalkan sama sekali sebagai pemimpin atau bahkan sekutu dalam perjuangan pembebasan nasional Papua. Kepentingan kelas mereka mengikat mereka pada imperialisme Indonesia.
Masalah Organisasional
Setelah berbicara mengenai perspektif politik, kita disajikan dengan pertanyaan organisasional yang sama pentingnya: Apa yang harus dilakukan, dan dari mana memulai? Persoalan mendasar yang terjadi di dalam perjuangan Papua Merdeka adalah belum terbangunnya pemahaman yang jelas mengenai proses dan arah perjuangan. Padatnya aksi-aksi telah melalaikan teori. Aksi-aksi, mulai dari demonstrasi, pemogokan hingga pemberontakan massa, adalah faktor yang menentukan untuk meraih kemenangan. Namun jika aksi-aksi itu tanpa teori, yang terumus dalam program dan metode, maka segala bentuk aksi tersebut akan menguap sia-sia. Seperti uap dalam kotak piston yang bolong-bolong. Uap itu akan berhamburan sia-sia, tidak menggerakkan apa-apa. Tanpa teori revolusioner tak mungkin ada gerakan revolusioner.
Pendidikan politik yang reguler dan disiplin adalah langkah paling pertama untuk membangun organisasi revolusioner yang mampu memimpin perjuangan pembebasan nasional di Papua. Pendidikan ini bukan sembarang pendidikan. Pendidikan ini adalah pendidikan Marxis, yang akan memberikan petunjuk lengkap mengenai perjuangan kelas. Kerja ini dimulai dari lingkaran kader, dalam bentuk sel-sel, yang selanjutnya diluaskan ke massa.
Tahapan kedua, mengkonsolidasikan keuangan revolusioner. Masalah keuangan adalah masalah politik dalam gerakan revolusioner, bukan masalah pembukuan semata. Perspektif politik memandu program organisasi, dan program organisasi akan memandu seberapa besar keuangan yang dibutuhkan. Mencetak Koran (termasuk membayar website), menerbitkan buku, menggaji full-timer, menyewa sekretariat, membeli mesin cetak dan segala kebutuhan organisasi merupakan kebutuhan riil yang tak terelakkan. Ini akan menjadi ukuran seberapa jauh organisasi telah melangkah dan meluaskan pengaruh gagasannya ke massa.
Dari mana keuangan revolusioner didapat? Jangan membayangkan keuangan revolusioner didapat dari para pendana asing, atau para pendana di luar keanggotaan organisasi, sebagaimana yang selama ini banyak dilakukan oleh kaum Kiri. Kemandirian finans akan memberikan kemandirian politik. Keuangan revolusioner didapat dari iuran anggota, dan bukan dari NGO, LSM atau lembaga-lembaga pendana.
Langkah penting yang ketiga adalah memproduksi koran revolusioner. Koran revolusioner, tulis Lenin, tidak hanya sekadar sebagai alat agitasi dan propaganda, tetapi sebagai organisator kolektif, sebagai perancah bangunan dalam proses konstruksi, yang memudahkan komunikasi di antara para konstruktor. Lebih jauh, koran revolusioner bukanlah lembaran-lembaran yang sesak dengan berita-berita tidak penting. Koran revolusioner adalah lembaran-lembaran kertas yang bertuliskan panduan untuk perjuangan.
Keberadaan koran sangatlah penting bagi kaum revolusioner yang ingin mewujudkan revolusi. Ketika kita berbicara tentang kaum revolusioner besar dalam sejarah, mereka tak pernah jauh dari lembaran-lembaran ini: Marx dengan Neue Rheinische Zeitung, Lenin dengan Iskra dan Pravda, Gramsci dengan Ordine Nuovo, James Connolly dengan The Workers Republic, Trotsky dengan Nasha Slovo, dan Rosa Luxemburg dengan Rote Fahne. Karena pentingnya peran koran dalam mewujudkan suatu tujuan, kaum borjuis pun melakukan hal yang sama—misalnya Surya Paloh dengan Media Indonesia, kelompok gereja dengan Kompas, kaum liberal dengan Koran Tempo, Hary Tanoesoedibjo dengan Koran Sindo, dll. Bahkan dalam cerita Revolusi Besar di Perancis, Jean-Paul Marat bukanlah siapa-siapa tanpa koran L’Ami du Peuple. Ini bukan suatu kebetulan. Koran merupakan pusat terdokumentasikannya gagasan-gagasan yang akan dialirkan ke massa agar mereka mendukung tujuan-tujuan tersebut.
Kenapa koran, dalam perspektif ini, ditempatkan di urutan ketiga? Koran tidak akan terbentuk sebelum ada pemahaman yang jelas, sebelum ada pendidikan yang reguler dan disiplin. Koran juga tidak akan terproduksi sebelum ada keuangan revolusioner di dalam organisasi perjuangan kelas. Tapi ketiga langkah penting ini posisinya dialektis. Ketiganya saling mendukung.
Penutup
Sebagai penutup, ada hal yang perlu ditekankan, untuk menghindari kesalahpahaman dan harapan yang berlebihan. Meskipun tak henti-hentinya kita melakukan kerja-kerja sistematis dan terencana, namun bukan berarti pembebasan nasional secara otomatis segera dicapai. Pandangan demikian adalah pandangan yang doktriner. Pembebasan nasional bisa saja terjadi jauh dari hari ini, atau, bisa juga, tanpa menutup kemungkinan, terjadi lebih cepat dari yang diharapkan, terjadi karena adanya ledakan-ledakan perlawanan spontan atau komplikasi-komplikasi politik yang tak terduga sebelumnya. Tugas dari gerakan revolusioner berbasis perjuangan kelas adalah merumuskan secara sistematis dan ilmiah panduan untuk perjuangannya sendiri. Tidak menaruh spekulasi-spekulasi dan berharap pada hal yang tak terduga. Perjuangan kelas bukan seperti permainan judi. Perjuangan kelas harus berpijak pada keyakinan, kerja keras, dan kemampuannya sendiri.
Demikian usaha awal kami, Militan Indonesia, untuk menganalisa problem teoritik dan organisasional dari perjuangan pembebasan nasional Papua, yang kami harap akan terus kami kembangkan sebagai panduan untuk aksi revolusioner. Sering kali kami menutup artikel yang kami tulis dengan seruan “Buruh Sedunia Bersatulah”, dan kali ini dalam menyikapi masalah kebangsaan Papua slogan ini mengambil makna tersendiri yang unik dan penting. “Buruh Sedunia Bersatulah” tidak bisa lagi hanya menjadi slogan di bibir tetapi harus menjadi panduan awal bagi semua kaum revolusioner di Papua khususnya dan di Indonesia umumnya bila kita serius ingin mencapai kemerdekaan 100% bagi rakyat pekerja.