Jayapura 08/01 (Jubi) – Aksi penembakan terhadap warga sipil maupun penyerangan
Pos Sub Sektorat Kulirik, Polres Puncak Jaya hingga mengakibatkan seorang warga sipil meninggal dunia dan 8 pucuk senjata milik Polri hilang, ditanggapi Wakil Bupati Puncak Jaya, Yustus Wonda.
Dirinya menuturkan bahwa aksi penembakan di Mulia, Kabupaten Puncak Jaya diduga sering dilakukan para remaja yang masih duduk dibangku sekolah.
“Anak-anak dari kelompok mereka selalu datang bergabung dengan masyarakat setempat dan meminta bantuan kepada pemerintah. Dalam kegiatan dan aktifitas masyarakat maupun kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah mereka selalu ada. Mereka itu kan masyarakat biasa, kecuali mereka datang dengan menggunakan seragam,”
kata Wakil Bupati saat ditemuai sejumlah wartawan di Jayapura, Rabu (08/01).
Bahkan, apabila mereka berhasil merampas senjata milik TNI maupun Polri, lanjut Wakil Bupati, itu dapat meningkatkan status para pelaku di kelompoknya. Disisi lain, garis pimpinan kelompok tersebut juga tidak jelas.
“Kalau orang sudah tau pelakunya dan kembali ke kelompok itu, maka statusnya diangkat walaupun umur kecil. Namun kalau sudah pernah merampas senjata posisinya naik, sehingga kecil besar selalu hormat dia. Termasuk anak-anak kecil yang kerap menembak-nembak. Apabila berhasil merampas senjata dapat bergabung di kelompok mana saja, mendapat jabatan,” ujarnya.
Hingga saat ini terdapat 3 kelompok bersenjata yang ada di Kabupaten Puncak Jaya, dimana dari tiga kelompok yang melakukan penembakan berasal dari daerah Yambi campuran. Bahkan, para pelaku yang masih dibawah umur, kerap berkeliaran di Kota Mulia, tanpa dicurigai. “Mereka itu termasuk murid-murid SD, SMP keatas, sehingga inilah kita sangat susah untuk mengetahui mereka,” katanya.
Lebih lanjut Wabub Puncak Jaya ini juga mengungkapkan bahwa pergerakan anak-anak kecil yang kerap menembak tidak sulit dibaca, bahkan pemerintahpun menganggap mereka merupakan masyarakat.
”Kami tidak ketahui apakah anak-anak kecil ini OPM atau tidak, karena tidak menggenakan seragam. Kalau pimpinan OPM seperti, Goliat Tabuni, kami pasti mengetahui dan kami komunikasi dengan pemerintah selalu ada, akan tetapi anak-anak kecil yang ada di Kota Jantung Puncak Jaya inilah sangat susah diketahui,”
lanjutnya.
Sejumlah langkah yang diambil oleh Pemerintah setempat pun telah dilakukan untuk merangkul saudara-saudara yang berseberangan, namun masih belum membuahkan hasil.
”Sekarang kembali kepada masyarakat, apa mereka teroganisir dan tau keberadaan mereka, maka itu sudah jelas dilakukan represif. Tapi ini kan mereka menyebar dan jangankan di atas, didalam Kota Mulia saja mereka ada,” paparnya lagi.
Pemerintah juga mengakui kesulitan mencari informasi dari masyarakat terkait keberadaan para pelaku.
”Kalau kita tanya keberadaan anak-anak kecil ini pasti tidak tahu. Namun yang jelas, kita dari pemerintah tidak pernah putus untuk melakukan komunikasi, tapi kami tetap semangat untuk membangun program kerja dari pemerintah. Pendekatan kita tetap lakukan dan apabila mereka sadar dengan apa yang mereka lakukan maka mereka bisa kembali dengan sendirinya,”
ujarnya.
Sementara itu, Ketua Sinode GKI Papua, Pdt. Alberth Yoku mempersilahkan saudara-saudaranya berpolitik tetapi tidak dengan cara tembak menembak, membunuh atau kejahatan lainnya. Karena hal itu tidak boleh di lakukan oleh warga sipil maupun TNI-Polri. Semua wajib memelihara kehidupan di tanah damai ini.
“Saya menyerukan kepada pemerintah daerah, adat dan gereja untuk melakukan rekonsoliasi lebih konstruktif bersama-sama dengan menghilangkan rasa curiga -mencurigai agar semuanya melakukan kehidupan bersama secara proporsional,” kata Alberth dari ujung telepon selulernya, Rabu (08/01).
Selain itu juga ia akan mengirim surat kepada pihak-pihak terkait di Puncak Jaya.
“Ketiga kami akan mengirim surat kepada semua yang ada di Puncak Jaya terkait hal itu,” tegasnya. (Jubi/Indrayadi TH)