Penangkapan Bucktar Tabuni oleh Polda Papua karena terindikasi melakukan tindakan makar, rupanya dipandang Ir Weynand Watori Ketua Komisi F DPR Papua yang membidangi Hukum dan HAM terlalu berlebihan. “Itu berlebihan, karena tidak seharusnya dia ditangkap hanya karena membicarakan sesuatu yang tidak adil,” tukasnya kepada Cenderawsih Pos kemarin. Ia menilai, dengan kasus ini orang menafikkan proses dengan menggunakan kekuasaan dan arogansi, sementara proses lain yang juga melanggar Undang Undang (UU) tidak disinggung. Ia lalu menyinggung tentang Peraturan Pemerintah Nomor 77 tentang lambang daerah yang dinilai melanggar UU 21/2001 tentang Otsus bagi Papua. “Jadi saya melihat mereka menafikkan proses lain, tetapi hanya menggunakan kekuasaan dan arogansi untuk mendorong itu, sementara proses lain yang juga melanggar aturan dan undang – undang tidak disinggung, ada apa ini,” katanya serius. Padahal kata dia, pemerintah tahu bahwa di dalam Bab 2 UU Otsus/2001 diakomodir tentang lambang daerah, namun sampai saat ini materi itu tidak pernah dibicarakan. “Lantas kalau sekarang mereka (Bucktar red) dikatakan melawan negara, dalam konteks apa, apakah pemerintah yang juga melanggar undang – undang Otsus tidak melawan negara,” katanya sinis. Menurutnya, Bucktar bicara kritis karena ada proses yang salah, Otsus yang masuk belum memberikan kesejahteraan pada orang Papua. Hal ini bisa dilihat dari berbagai evaluasi yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga semuanya menilai ada kemacetan dalam implementasi Otsus di Papua. “Itulah yang dikritisi Bucktar bahwa ada proses yang tidak adil di Papua, sayangnya itu dianggap makar,” katanya miris. Lalu ia balik bertanya apakah kebijakan yang melanggar UU Otsus itu juga disebut makar. “Jangan bilang orang melawan negara adalah orang yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah, tetapi perbuatan yang melanggar mandat UU itu juga melawan negara,” katanya serius. Kata Weynand dirinya ingin meletakan aturan sesuai posisi yang sebenarnya, sehingga cara – cara yang demikian itu (penangkapan) tidak harus dilakukan. Ia menyarankan agar sebaiknya dilaksanakan dialog yang adil dan tidak menghakimi rakyat dengan tuduhan – tuduhan hanya karena bicara tentang 1 Desember atau Papua Merdeka. “Itu tidak memberikan pendidikan politik yang benar, sebaiknya mari dudukan persoalan secara benar dan pandang secara komprehensip,” urainya. Sebab kata dia, inti dari suatu demokrasi adalah perbedaan pendapat. Sehingga jika tidak ada perbedaan pendapat maka itu bukan demokrasi lagi. Bahkan dalam UU Nomor 5 tahun 1985 tentang reverendum jelas-jelas mengatakan bahwa yang dimaksud reverendum itu mengandung prinsip – prinsip langsung umum bebas dan rahasia (LUBER). “Jadi kalau sekarang ada aspirasi atau gagasan seperti yang dilontarkan Bucktar itu bukannya dilawan tetapi harusnya ditelusuri kenapa ada aspirasi yang demikian itu,” tandasnya.(bat/ta)