Abimanyu
Seorang peserta sedang memaparkan pendapatnya di salah satu sesi diskusi Forum Perdamaian Dunia di Jakarta.
Kekerasan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Fakta-fakta kekerasan lebih nyata lagi di tengah masyarakat yang tingkat ekonominya rendah. Jika seluruh aspek kehidupan dicermati, kemiskinan seringkali disebabkan oleh struktur yang memiskinkan mereka, baik sosial politik maupun ekonomi.
“Struktur-struktur tersebut secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan kemiskinan, kekerasan dan juga masalah-masalah yang lain,” ungkap Surasee Kosolnavin, salah seorang komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Thailand dalam salah satu sesi diskusi bertemakan “Political and Religious Violence: Addressing the Root Causes”, Rabu (25/6).
Perdagangan bebas, misalnya, secara tidak langsung telah menghancurkan perdagangan lokal. Akibatnya, kekerasan pun muncul. Hancurnya perdagangan lokal akibat perdagangan global bisa dikategorikan sebagai salah satu bagian rangkaian kekerasan. “Ini menjadi satu sebab munculnya ketidakadilan, yakni ketidakseimbangan pembagian keuangan dan ekonomi,” ungkap Surasee Kosolnavin.
Tidak berlebihan bila kita sebut dunia saat ini tengah dicengkeram modernitas yang ekstrem. Teknologi dan modernisasi berkontribusi menghancurkan kemanusiaan seluruh umat manusia. Surasee berpendapat, pencarian kebenaran yang sekarang tengah berlangsung secara global sebenarnya berhubungan dengan bagaimana mencari akar-akar ketidakadilan. “Tetapi, pencarian itu akhirnya bernuansa pada keinginan mendapatkan uang dan kekuasaan,” ia menandaskan.
Banyak orang dieksploitasi. Pencarian kebenaran oleh organisasi atau lembaga yang dilakukan ternyata tak jarang demi kepentingan kelompok dan uang. Akibatnya banyak orang teralienasi. Produsen-produsen lokal, termasuk petani dan pengusaha kecil, ikut jadi bagian dari proses dehumanisasi tersebut.
“Saya kira permasalahan-permasalahan ini menjadi hal yang amat penting bagi kita semua untuk dipikirkan,” tandas Surasee. Ia menilai, rekayasa pemiskinan oleh kekuatan-kekuatan yang mendominasi mereka yang lebih lemah dapat dikatakan sebagai pemiskinan terstruktur. Tetapi, pemiskinan terstruktur sebenarnya bisa diatasi, dengan cara mengembangkan pemikiran-pemikiran positif serta menumbuhkembangkan keadilan dan penegakan hukum sehingga keseimbangan keadilan diharapkan dapat dicapai.
“Kita harus secara ringkas meningkatkan kerja sama, saling bertukar gagasan, berbagi pemikiran yang positif, sehingga upaya mewujudkan keadilan dapat lebih terukur,” imbuh Surasee.
Di tempat yang sama, Direktur Center for Global & International Studies, University of California, Santa Barbara, AS, Mark Juergensmeyer berpendapat, agama menawarkan pandangan-pandangan yang masuk akal untuk pengembangan-pengembangan kemanusiaan. Sehingga agama bisa digunakan untuk hal-hal yang negatif dan positif. Dari perjalanan sejarah global, tampak bahwa sejumlah kasus berbeda terkait ekonomi, sosial dan politik, selalu berhubungan dengan justifikasi agama. Misalnya, kasus-kasus di Israel, Srilanka, aktivis Islam di Timur Tengah, hingga Al-Qaeda yang membayangkan terciptanya tatanan dunia yang menurut mereka sangat ideal. “Itu mungkin kita pikir normal saja dalam kehidupan berbangsa di abad ke-21 ini,” ungkap Juergensmeyer, pengamat politik yang juga seorang pakar Islam dan Timur Tengah.
Di sisi lain, harus diakui ada sebagian orang yang juga berusaha mendekatkan kehidupan sosial keagamaan yang demokratik untuk masa depan yang lebih baik. Maka, identitas paling tidak saat ini merupakan hal yang sangat penting untuk didefinisi ulang atau dipahami secara lebih baik.
Masyarakat dunia, kata Juergensmeyer, seharusnya dapat memahami agama sesuai dengan hati nurani. Dengan demikian, kehidupan umat manusia dapat diangkat pada tingkat spiritual yang lebih tinggi, dengan mengusahakan apa yang terbaik. Pada akhirnya, masyarakat dapat netul-betul beragama dengan baik, di mana mereka tidak akan menyalahkan akar permasalahan pada satu area yang abu-abu.
“Kita ditantang oleh pandangan-pandangan yang universal global,” tegas Juergensmeyer.
Agama bukanlah sebuah problem yang dinilai patut bertanggung jawab atas munculnya terorisme. Tetapi, harus diakui pula agama bersifat problematis.
“Meskipun agama bukanlah penyebab satu-satunya kekerasan, tetapi agama bertanggung jawab atas intensitas dan ekstrimitas dalam banyak tindak kekerasan,” ungkap Juergensmeyer.
Senada dengan Surasee, ia berpendapat kondisi-kondisi konflik yang mengarah pada ketegangan biasanya dipicu masalah ekonomi dan sosial. Konflik seringkali pula merupakan sebentuk pertahanan dari sebuah wilayah atau kebudayaan yang dirasakan akan dikuasai oleh kekuatan-kekuatan luar. Sementara itu, pada saat terjadinya frustasi dan keputusasaan, kontes politik biasanya menjadi “tereligiuskan”. Maka, perjuangan-perjuangan yang semula bersifat biasa-biasa saja akhirnya berupaya mengambil wajah baru, berupa aura konflik suci. [E-9]
Last modified: 28/6/08