Refleksi 22 Tahun Perjalanan Otonomi Khusus di Tanah Papua
Selasa (21/11) hari ini, genap Otonomi Khusus (Otsus) Papua diterapkan di Papua 22 tahun silam. Dalam rentang perjalanan waktu dua dekade lebih ini, Otonomi Khusus belum berjalan sesuai harapan. Masih banyak pro dan kontra terkait pemberlakukan Otsus dan juga pertanyaan terkait capaian Otsus dan dampak kesejahteraan yang dirasakan masyarakat Papua.
Laporan: Robert Mboik-Jayapura
tonomi Khusus Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 200. Lahirnya otonomi khusus ini tidak lepas dari upaya pemerintah memberikan jalan tengah, di tengah aspirasi Merdeka bagi masyarakat Papua kala itu.
Dengan adanya Otsus ini diharapkan bisa meredam aspirasi itu, agar masyarakat Papua tetap bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karenanya, dalam Otsus ini ada tida pilar utama, yakni keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan Orang Asli Papua.
Dengan kebijakan seperti itu, semestinya sekian triliun rupiah dana masuk ke Papua selama dua puluh tahun, sejatinya harus bisa merubah taraf hidup orang asli Papua, sejajar dengan masyarakat di daerah lain di Indonesia. Lantas apa yang salah, hingga Otsus ini belum berjalan maksimal?
Hengky Yoku salah salah satu tokoh yang juga ikut berperan dalam pembentukan Otsus Papua, memberikan releksi terkait perjalanan Otsus ini. Menurutnya, pembentukan sistem pemerintahan otonomi khusus Papua, ide dasarnya adalah Bas Suebu, itu pemrakarsanya. Itu lahir ketika Bas Suebu dipanggil oleh Presiden Gus Dur bersama dua tokoh lainya, Isak Hindom, Acub Zaenal, yang merupakan mantan Gubernur Irian Barat kala itu.
“Gus Dur tahu orang-orang ini punya pikiran-pikiran brilian. Isak Hindom, Acub Zaenal berikan saran kepada bapak presiden, agar percayakan urusan tentang sistem pemerintahan dan seperti apa untuk papua itu kepada Bas Suebu. Dari pikiran Bas Suebu lahirlah otonomi khusus,”kata Hengky Yoku, Senin (20/11).
“Disitu, yang paling penting pemerintah pusat itu hanya memiliki 5 kewenangan yaitu, moneter atau keuangan, pertahanan keamanan, politik luar negeri pendidikan dan agama. Selebihnya Itu kewenangan diberikan kepada daerah. Inti daripada otsus itu adalah menjadikan orang asli Papua menjadi tuan di atas negerinya. Itu tercatat di dalam pembukaan undang-undang 21 tahun 2001,” ujarnya.
“Tapi perjalanan selama 20 tahun, fakta realitas objektif di Papua, dua provinsi sebelumnya, Papua dan Papua Barat adalah provinsi termiskin di Indonesia. Dengan indeks pembangunan manusia, terendah dari seluruh Indonesia. Artinya apa, secara jujur kita harus akui bahwa otonomi khusus relatif gagal,” ujarnya lagi.
Di sisi lain pemerintah pusat telah memperpanjang otonomi khusus Papua dan itu merupakan suatu hal yang patut diapresiasi, karena memberikan dana yang cukup besar untuk Papua, yaitu senilai 2% dari jumlah dana alokasi umum nasional. Nilai ini jelas cukup besar jika dilihat dengan populasi penduduk Papua yang berkisar sekitar 4 jutaan jiwa. Semestinya selama 20 tahun yang lalu kesejahteraan orang Papua sudah bisa setara dengan pulau Jawa.
Catatanya, selama 20 tahun menurutnya pemerintahan hanya fokus mengurus hal-hal yang sifatnya politik. Arogansi membangun birokrasi, bahwa harus orang asli Papua. Menurut Hengky Yoku, esensi sebenarnya bukan itu. Siapapun silakan dalam 20 tahun memimpin, tetapi harus menyiapkan orang asli Papua itu yang paling penting.
Menyiapkan bukan berarti hanya menjadi birokrat yang baik, dia harus menguasai ekonomi dan paling penting mengimplementasikan tiga pilar Otsus itu, keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan Orang Asli Papua. “Kalau itu semua terpenuhi orang Papua tidak akan teriak merdeka.”tandasnya.
Secara lengkap pemerintah memang mengklaim dana ribuan triliun masuk ke Papua, tetapi kata dia dana itu membangun apa. Apakah membangun gedung DPR yang megah, kantor gubernur yang begitu Megah, juga kantor MRP dan juga jembatan.
“Tapi kalau kita mau jujur katakan semua pembangunan infrastruktur, itu hanya menghidupkan BUMN yang kolaps, kita harus jujur akui. Siapa pejabat di Papua ini, secara angka dia bisa menunjukkan, kepada publik bahwa kehadiran gedung MRP yang mewah ini menghasilkan sekian kontraktor yang hebat di Papua, sekian konglomerat sekian ekonom hebat. Tidak ada, itu kan sekian dana dari pusat ke bawah, kemudian perusahaan dari pusat datang bangun di sini. Di sini kemudian pulang dan bawa pulang dananya, kan itu” pungkasnya.
Masalah Otsus ini memang menarik, begitu juga dengan capaian yang dirasakan, masing-masing bisa memiliki pendapat yang berbeda. Baik dari penggas Otsus, pelaku Otsus dalam hal ini birokrasi pemerintah, maupun dari masyarakat asli Papua yang menjadi sasaran utama Otsus ini. Aspirasi merdeka pun belum sepenuhnya bisa diredam lewat kebijakan Otsus ini. (*).
Source: CEPOS Online