Jayapura, Jubi – Pernyataan Menteri Pertahanan RI, Ryamizard Racudu, yang memperingatkan para pendukung West Papua di kawasan Pasifik, khususnya Kepulauan Solomon, untuk tidak mengintervensi urusan Indonesia di Papua ditanggapi santai oleh pejabat tinggi pemerintahan Negara Kepulauan Solomon.
“Berita soal pemerintah Indonesia bertaruh melawan para pendukung West Papua bagi saya sama sekali tidak mengejutkan,” kata seorang pejabat tinggi senior tersebut yang tak disebutkan namanya kepada Solomon Times, Selasa (1/11/2016).
Dia juga mengatakan tidaklah bijaksana mengatakan pihaknya sedang mengintervensi urusan internal Indonesia. “Kami hanya mengangkat persoalan yang menjadi perhatian kami terkait situasi saudara-saudari Melanesia West Papua,” ujarnya.
Sebagai sama-sama anggota PBB, lanjut dia, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia(HAM) adalah salah satu kunci utama Piagam PBB. “Itulah sebabnya kami meminta PBB untuk mengirimkan tim penilai independen untuk mencari tahu fakta-fakta di lapangan dan untuk melaporkannya kembali ke seluruh anggota.” katanya.
Pihaknya sama sekali tidak menganggap permintaan itu mustahil, dan hal itu juga bukan hal baru di PBB karena menjadi bagian proses yang ditetapkan PBB. “Untuk itulah Kepulauan Solomon dan negeri-negeri Pasifik lainnya meminta PBB menggunakan mekanisme tersebut,” ungkap pejabat itu.
Pernyataan Menteri pertahanan Indonesia minggu lalu itu kini mendapat respon balik dari masyarakat sipil Australia dan Kepulauan Solomon.
Respon masyarakat sipil Australia
Ryamizard dalam Forum Dialog 2+2 yang keempat antar pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia, seperti dilansir CNN Indonesia Kamis (27/10/2016) lalu menyoroti ‘tangan-tangan’ dari negara lain yang dinilai mencampuri urusan Papua.
“Saya sampaikan kepada Australia, menegur saja, saya sudah bilang dari awal, saya tidak pernah ikut campur urusan negara lain. Negara lain juga tidak perlu ikut campur urusan kita (Indonesia),” kata Ryamizard di Kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (27/10/2016).
Hal itu dikritik sebagai salah paham oleh peneliti dari Universitas Nasional Australia, Program Society and Governance in Melanesia, Stewart Firth kepada RNZI, Selasa (1/11/2016).
“Mereka adalah negara-negara berdaulat. Khususnya terkait Kepulauan Solomon, negara itu berhak mengangkat persoalan West Papua sebagai negara berdaulat juga, dan Australia tidak berada dalam posisi yang baik untuk menganjurkan mereka hal berbeda,” ujar Dr. Firth.
Menurut dia bantuan bilateral Australia kepada negara itu tidak lantas membuat negaranya dapat menentukan kebijakan luar negeri negara lain.
Sementara Joe Collins, penggerak Australia Papua Association (AWPA)-Sydney juga angkat bicara terkait permintaan Jakarta tersebut. “Ini permintaan memalukan. Sudah jadi kewajiban seluruh bangsa di dunia yang peduli pelanggaran HAM tak saja di West Papua melainkan juga dimanapun itu terjadi,” kata dia seperti dikutip Solomon Star, Rabu (2/11/2016).
“Justru Kepulauan Solomon dan enam negara Pasifik lainnya yang sudah peduli mengangkat masalah pelanggaran HAM Papua ke Sidang Majelis Umum PBB ke-71 lalu itu harus dihargai dan karena telah berani berbicara untuk West Papua,” kata Collins.
Dia justru menyayangkan pemerintah Australia sendiri yang tidak mengikuti jejak Pasifik untuk turut mengecam pelanggaran HAM yang terus terjadi di Papua oleh militer Indonesia.
Isu MSG
Dr. Firth juga menduga sensitivitas Jakarta terkait isu West Papua ini sangat tampak dari banyaknya perwakilan dari kementerian yang berbicara terkait persoalan itu.
“Apa yang mengkhawatirkan Indonesia adalah persoalan keanggotaan di Melanesian Spearhead Group (MSG) belakangan ini mereka asumsikan memberi nilai politik simbolik bagi aktivis-aktivis pro kemerdekaan Papua,” ujarnya dengan mengambil contoh peningkatan penangkapan aktivis pro MSG di West Papua sebagai wujud nyata kekhawatiran tersebut.
Senada dengan itu, pejabat tinggi Solomon tersebut tetap menyerahkan keputusan keanggotaan West Papua di Melanesian Spearhead Group (MSG) kepada para anggota MSG sendiri.
“Ini kan sama saja dengan keanggotaan terhadap FLNKS-Kalaedonia Baru di MSG, persis, dan faktanya (keanggotaan) ini justru sejalan dengan pendirian MSG,” ujar pejabat senior itu.
Dia mengatakan Perancis juga pada awalnya tidak suportif terhadap gagasan FLNKS untuk bergabung ke MSG, “tetapi mungkin mereka sadar pentingnya membiarkan FLNKS mengangkat persoalan mereka di forum yang tepat,” ujarnya.
Solomon memiliki ikatan kebudayaan dan sejarah yang kuat dengan rakyat West Papua, sehingga, lanjut dia, “kami tidak bisa berpangku tangan ketika dugaan pelanggaran HAM mengemuka lagi dan lagi. Karena itu kami gunakan segala macam forum yang tepat untuk mengangkat masalah ini, bukan untuk intervensi tetapi mengingatkan diri kami sendiri atas kewajiban kami terhadap nilai-nilai dan prinsip unviersal tertentu.”(*)