[JAKARTA] Wacana menghidupkan kembali wajib militer (wamil) sesungguhnya bukan hal baru. Berbagai upaya meningkatkan nasionalisme dan patriotisme tidak harus dengan kegiatan berbau militerisme.
Hal itu dikemukakan psikolog pendidikan Universitas Indonesia, Anna Suparli Hassan, kepada SP, di Jakara, Selasa (29/7), berkaitan dengan rencana Departemen Pendidikan Nasional mengembangkan pendidikan wamil bagi siswa SMA dan mahasiswa (Pembaruan, 28/7).
Anna mengatakan, ketika Departemen Pertahanan dipimpin Matori Abdul Djalil, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Wajib Militer telah disiapkan. Selama empat tahun, wacana wamil tenggelam dan baru “dihangatkan” kembali oleh Menteri Pertahanan sekarang, Yuwono Sudarsono.
Menurut Anna, gagasan itu memang menarik diperdebatkan, namun cara paling tepat untuk membentuk semangat nasionalisme dan patriotisme adalah melalui program kurikulum pendidikan yang lebih berorientasi kepada meningkatkan rasa cinta Tanah Air melalui belajar, bermain, berinteraksi, dan berkesenian.
“Lewat kegiatan pendidikan kesenian, kebudayaan, dan olahraga dengan menggunakan pendekatan pendidikan yang tepat, maka siswa akan semakin mengenal negerinya, termasuk sikap toleransi dan pluralisme,” ujar Anna.
Dihubungi terpisah, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, mengungkapkan, dalam konvensi hak-hak sipil internasional disebutkan bahwa dalam konteks bela negara, warga berhak menolak untuk angkat senjata.
Wacana “Bola Panas”
Usman justru mempertanyakan, apakah kewajiban bela negara harus dengan ikut dalam komponen cadangan yang di dalamnya dilatih kemiliteran. Jika caranya tidak tepat, hal itu dikhawatirkan dapat menciptakan sikap kekerasan di sekolah-sekolah, seperti halnya di Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN).
Sementara itu, mantan Sekjen Depdiknas, Hidayat Syarief, menilai, gagasan memberlakukan wamil di lingkungan sekolah dan pendidikan tinggi merupakan wacana “bola panas” yang dapat menjadi perdebatan panjang.
Menurut dia, sejumlah pola kegiatan pendidikan, baik itu di lingkungan sekolah atau di perguruan tinggi, dapat diciptakan secara cerdas jika pemerintah memang ingin lebih mendorong terciptanya suasana nasionalisme dan membangun patriotisme di kalangan pelajar dan mahasiswa.
“Mungkin yang dapat dilakukan adalah melalui kurikulum serta model pembelajaran yang mengarah kepada kecintaan peserta didik terhadap bangsa dan negaranya. Tidak harus dengan wamil atau sesuatu yang bernuansa militer. Masyarakat masih trauma dengan kegiatan militeristik di lingkungan sekolah atau kampus,” tuturnya.
Ahli fisika Prof Dr Yohanes Surya mengatakan, adanya anggapan bahwa warga Indonesia yang mencari nafkah di luar negeri tidak memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, karena kesalahan pemerintah.
Yohanes meminta Pemerintah Indonesia meniru kebijakan pemerintah Tiongkok yang berhasil menarik kembali para ilmuwan mereka di luar negeri, khususnya di AS, dengan menyediakan berbagai fasilitas, antara lain laboratorium yang sesuai kebutuhan, di negara asalnya.
“Dari beberapa kali berbincang dengan orang Indonesia yang bekerja di luar negeri, mereka semua ingin pulang, tetapi belum ada fasilitas yang memadai yang bisa membuat mereka bisa bekerja secara maksimal, seperti yang bisa mereka lakukan di luar negeri,” ujarnya.
Hal serupa diungkapkan pengamat pendidikan, Anugerah Pekerti, yang meminta agar masyarakat tidak berwawasan nasionalisme yang sempit dalam menghadapi kenyataan banyaknya orang pintar Indonesia yang bekerja di luar negeri.
“Paling tidak mereka sudah mengharumkan nama bangsa bahwa orang Indonesia itu pintar-pintar. Jadi jangan sebut mereka tidak nasionalis,” katanya. [E-5/E-7]
Last modified: 29/7/0