JAYAPURA – Orang asli Papua tidak minta uang, tetapi kewenangan sebagaimana termuat di dalam UU Otsus Plus. “Ini kan sangat lucu. Kita minta di UU Otsus Plus itu kewenangan bukan uang. Ditawar dengan berapa besarpun tidak mempan,” tegas Ketua MRP Timotius Murib ketika ditanya wartawan beberapa waktu lalu terkait masih terjadi pro kontra UU Otsus Plus antara Pemerintah Papua.
Timotius Murib mengatakan, pemerintah pusat selalu menolak bila orang asli Papua minta kewenangan, karena selalu curiga. Padahal kewenangan tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan WNI yang ada di Tanah Papua.
“Kalau mereka sejahtera kebangaan orang Indonesia juga,” jelas Timotius Murib, seraya menambahkan, pemerintah pusat stop curiga. Tapi bangun Papua dengan hati yang baik supaya kita sejahtera tanpa ada pikiran-pikiran yang lain.”
Untuk itu, pihaknya mengimbau kepada pemerintah pusat untuk menunjukkan sikap jujur bahwa Rp1.500 Triliun APBN pertahun separohnya disumbang oleh Papua melalui semua perusahaan tambang di seluruh Tanah Papua. Masing-masing tambang emas PT. Freeport Indonesia, Gas Bumi di Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat, minyak bumi di Sorong serta segala HPH yang beroperasi di Tanah Papua.
Isi Draft Otsus Plus Dikembalikan Seperti Semula
Sementara itu di tempat terpisah, Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Papua Sendius Wonda, mengungkapkan, jika saat ini pihak kementrian dan lembaga yang melakukan harmonisasi kepada Draft Otsus Plus, telah mengembalikan isi rancangan tersebut seperti sedia kala.
Seperti diketahui sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe, S.IP., M.H., yang didampingi ketua MRP Timotius Murib dan Ketua DPR Papua Deerd Tabuni pada 13 Agustus 2014 lalu sempat berbicara keras kepada Menteri Dalam Negeri Gamawan fauzi karena gubernur mengetahui jika hasil harmonisasi yang dilakukan kementrian dan lembaga banyak merubah isi dari rancangan yang disebut sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua.
“Pada saat itu, Gubernur mengancam akan melepaskan baju, dan mengatakan apabila apa yang disampaikan oleh masyarakat Papua jika tidak diakomodir saya mau buka baju disini. Sehingga informasi itu cukup heboh di lingkungan kementerian Dalam Negeri, akhirnya Mendagri langsung perintahkan kepada Dirjen untuk kembalikan melakukan pertemuan dengan tim asisten daerah dan kembali,”
ucap Sendius.
Selepas itu, ungkap Sendius kepada wartawan di kantor Gubernur Papua pada Jumat 922/0p8) lalu, kembali dilakukan pertemuan antara tim asistensi daerah dengan Mendagri dan akhirnya semua pasal yang dikeluarkan dikembalikan semua.
“Dari yang saya ikuti dari terakhir sampai draft asli sekarang sudah ada di Dirjen dan beberapa waktu kedepan ini Mendagri akan melakukan presentasi kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah presentasi selesai, kita harap dalam pertemuan Gubernur dengan Presiden di Biak itu diharapkan sebagai pembicaraan lebih lanjut untuk mendorong UU Otsus Pemerintahan di Tanah Papua,”
ucap Sendius.
Diharapkan, usai dilakukannya presentasi kepada Presiden, maka Presiden akan mengeluarkan Ampres kemudian selanjutnya akan dibahas di DPR RI sebelum Presiden mengakhiri masa jabatannya.
Mengenai banyaknya penhilangan pasal yang dilakukan saat harmonisasi oleh Kementrian dan lembaga, Sendius menyayangkan hal tersebut. “Ini kan menyusun kata demi kata, pasal demi pasal draft ada filosofinya. Dimana melibatkan akademisi yang melakukan kajian, kemudian akademisi menjelaskan kenapa pasal ini muncul,” terangnya.
“Kalau orang menyusun rancangan undang-undang harus melihat kebelakang, kajian akademisi seperti apa. Tetapi di sana luar biasa, tetapi setelah tim asistensi daerah menjelaskan kondisi daerah, kemudian kenapa pasal-pasal ini dihilangkan pada hal kita kasih muncul dengan berbagai asal sehingga semua diakomodir kembali termasuk partai lokal yang sebelumnya dihilangkan, dikembalikan,” sambungnya.
Namun saat ini, ungkap Sendius, proses harmonisasi masih dilanjutkan dan memasuki tahapan krusial karena pembahasannya sedang pada tahap pengkajian pasal-pasal yang menyangkut ekonomi.
“Untuk masalah keuangan, kehutanan dan pajak masih berada pada tingkat pimpinan, itu yang mungkin yang dibicarakan oleh Gubernur dengan Presiden. Sehingga ada level-level tertentu yang tidak bisa putuskan tingkat bawah, tetapi menjadi keputusan tingkat atas,” pungkasnya. (mdc/ds/don/l03)
Sumber: Senin, 25 Agustus 2014 06:12, BINPA