TabloidJubi.com dalam tulisannya Arjuna PademmeNov 30, 2015 menurunkan berita berjudul, “Filep Karma Khawatir Bom Waktu Diantara OAP Suatu Saat Meledakak“. Di dalamnya beliau katakan seperti berikut
“Saya melihat ini adalah bom waktu. Kalau Papua berhasil dan Indonesia pulang, sudah ada bom waktu yang suatu saat akan meledak. Saya tak ingin itu terjadi,” ucapnya.
Dengan kata lain, “saya diberitahu oleh agen NKRI bahwa kalau Papua Merdeka nanti kalian perang habis-habisan, dan akibatnya kalian yang jadi korban jadi kalau dengan NKRI kalian tidak perang suku, jadi kalian perlu pikir ulang.”
Pak Filip Karma perlu paham tiga hal: Pertama, rasisme tidak sama dengan sentimen kesukuan, maka tidak mungkin ada rasisme di dalam satu ras. Rasisme ada di antara orang Papua dan orang Indonesia, itu benar, karena ada ras Melayu dan ras Melanesia di sana, tetapi kalau rasisme di antara orang Papua, itu rasisme ataukah sentimen kesukuan.
Pertanyaan selanjutnya ialah apakah “sentimen kesukuan” itu salah? Jawabannya harus kita pahami dalam buku-buku tulisan Sem Karoba, Demokrasi Kesukuan, yang ditulis dalam 10 Buku.
Kedua, pemikiran tentang Papua Merdeka nanti berbahaya karena akan ada perang suku di mana-mana itu MURNI keberhasilan NKRI mencuci otak beliau, karena itulah kampanye yang selalu dipakai NKRI di pentash politik global. Itulah sebabnya perang suku di Mimika, di Wamena, di Jayapura selalu dipupuk NKRI, itu juga yang dikhawatirkan Karma, jadi perlu ada pencucian kembali supaya kembali kepada template pemikiran yang asli sebelum masuk ke penjara.
Kita sebagai orang Papua harus bertanya kepada diri sendiri, Perang suku di antara siapa? Antar keluarga, antar marga, antar suku, antar ras?
“Perang suku itu dipicu oleh apa?” Oleh politik? Oleh parta politik? Oleh perbedaan suku?
Kita jangan terpengaruh oleh hasutan penjajah melihat Perang Suku sebagai penyakit masyarakat, sementara menganggap pembunuhan orang Papua yang berlangsung setiap hari di Tanah Papua, pengeboman di Timur Tengah sampai menghancurkan Presiden yang resmi sebagai tindakan legal dan halal. Jangan kita dibodohi oleh logika pemutar-balik-kan yang biasanya berlangsung di penjara-penjara di seluruh dunia. Mari kita berpikir jernih, menurut realitas sosial-budaya dan sosial politik Papua, bukan menurut anggapan orang asing yang dibisikkan kepada kita.
Ketiga, kondisi terkini bukan hanya karena kesalahan NKRI, tetapi juga karena kondisi semesta yang tidak dapat kita sangkali dan elakkan. Melihat semua masalah disebabkan oleh NKRI membuat kita menjadi tidak berdaya, karena kita setiap hari berpikir tentang kesalahan NKRI, tanpa melihat kekurangan sendiri, kesalahan orang Papua sendiri. Termasuk kesalahan berpikir bahwa Papua Merdeka menyebabkan perang suku ialah buktinya.
Kita harus punya visi yang jelas, apalagi sebagai pimpinan, sebagia tokoh Papua Merdeka, kita seharusnya tidak menunjukkan paradigma berpikir yang meragukan bangsa yang kita pimpin. Kita tidak mudah dipengaruhi oleh “framing” pemikiran yang dilakukan oleh intelijen Indonesia atau oleh siapa saja yang tidak mendukung Papua Merdeka.
Apapun yang terjadi di tanah Papua, di antara orang Papua ialah persoalan orang Papua, yang harus diterima sebagai realias yang harus dihadapi secara gentlemen dan diselesaikan secara komprehensiv oleh orang Papua, bukan dengan cara mengkambing-hitamkan NKRI sebagai penyebabnya.