Setelah di Sahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dalam siding Paripurna DPR Papua senin (20/1/2014) malam, Rencana Undang-Undang Pemerintahan Papua (RUUPP) selasa (21/1/2014) diantar ke Jakata oleh Gubernur Papua, Ketua MRP dan Ketua DPR Papua untuk diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyon.
Namun dalam RUUPP tersebut terdapat pasal yang dianggap bersifat tidak berpihak dana tidak tepat berada dalam Undang-Undang Pemerintahan Papua, hal tersebut di ungkapkan direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Chistian Warinusi kepada Suluh Papua selasa (21/1/2014) melalu via telepon selulernya.
Menurut Warinusi pasal yang dianggap tidak ada dan harus di hapus pasal 115 ayat 1 butir c dan pasal 57 ayat 1 butir c yang mana pasal ini menyatakan DPRP and MRP bersifat Imunitas (kebalhukum).
Pasal ini seharusnya tidak ada, karena siapapun di Republik Indonesia tidak ada yang kebal hukum, semua sama di mata hukum, “Selaku advokad senior saya menolak keberadaan pasal tersebut, karena merupakan malapeta besar bagi penegakan hukum” kata Warinusi.
Pasal Imunitasi berlaku untuk anggota korps diplomatik yang bertugas di Negara lain, jika di bersalah secara hukum, maka orang tersebutakan di pulang di kenegaranya dan di menjalani proses hukum di negaranya.
Terkait dengan tidak adannya pasal 299 yang menyatakan bila RUU ini tidak dapat di laksanakan oleh pemerintah secara konstitusional dan konsekwen dalam peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan orang asli Papua, maka atas prakasa MRP dapat diselenggarakan referendum.
Advokad senior Yan Warinusi menyatakan pasal ini bersifat abivalensi, karena dalam punyusunan RUUPP sudah terjadi pelanggaran yang di lakukan oleh Gubenur Papua, Gubernur Papua Barat, DPRP dan DRPB, MRP dan MRPB.
Hal ini bisa terjadi, karena penyusunan draf RUU ini tidak melibatkan masyarakat asli Papua sebagai penerima UU tersebut, pertanyaannya sejauhmana keterlibatan masyarakat di dalam penyusunan RUUPP tersebut, kata Warinusi.
“Majelis Rakyat Papua (MRP) bukan refrentasi rakyat, mereka refrentasi kultural,” tuturWarinusi.
Seharusnya setiap pasal dalam UU Otonomi khusus di evaluasi dengan melibatkan masyarakat asli Papu, hasil evaluasi tersebut yang kemudian dipakai untuk menyusun RUU Pemerintahan Papua, itu baru kuat, kalau tidak landasannya lemah.
Semantara itu dihapusnya pasal yang berbicara tentang orang asli Papua dari garis keturua ibu atau orang non papua yang sudah di terima secara adat dan di akui sebagai orang Papua karena sudah hidup turun temurun di Papua juga disasalkan, Warinusi.
Menurut Warinusi, pasal 1 butir p, r dan t UU nomor 21 tahun 2001 sudah jelas menterjemahkan tentang orang asli Papua dan orang Papua yang di terimadan diakui sebagai masyarakat Papua oleh orang asli Papua.
Mereka yang lahir dari kandungan mama asli Papua seharusnya mempunyai hak yang sama dengan orang asli Papua, dan juga mereka yang hidup lahir dan besar di Papua sejak lama juga harus di akomodir dalam RUUPP ini.
Ada orang non Papua yang orang tuanya berjasa di Papua seperti guru dan penginjil, kemudian mereka sudah hidup bertahun-tahun di Papua hingga anak cucu mereka perlu di akomodir dalam RUUPP tersebut.
“Namun jika tidak di akomodir, secara tidak langsung akan menimbulkan konflik sosial,” kata Warinusi.
Hal senada juga dikatakan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Jimmy Demianus IJie menuturkan sejarah merupakan hal yang tidak bisa dilupakan, namun dibalik semua itu ada hikma yang harus di ambil dan dimaknai secara bersungguh-sungguh untuk mencapai sebuah kesuksesan.
Menurut Jimmy Ijie, apa yang dialami oleh orang Papua sama dengan apa yang di rasakan oleh saudara kita yang ada di Afrika dan Amerika Serikat.
Namun di balik perjuangan menentang kekebasan dan menuntut kesamaan dan keadilan dalam hak hidup tidak mendiskriminasihkan dan munghukum mereka yang di anggap bersalah.
Marhen Luther King dan Nelson Mandala dalam perjuangan kekebasan tidak harus melakukan balas dendam, tetapi memaafkan dan merangkul semua pihak untuk membangun bersama menuju sebuah kemajuan bersama.
Lanjut Jimmy Ijie, belajarlah dari Nelson Mandela, dalam pesannya kepada masyarakat di Afrikan, “tidak ada yang lahir untuk membenci orang lain karena warna kulit, latar belakang, atau agamanya”.
Orang harus belajar untuk bisa menghilangkan kebencian terhadap orang lain. Jika mereka dapat belajar untuk meninggalkan kebencian, dendam dan sakit hati, mereka pasti dapat belajar untuk mencintai karena cinta datang lebih alami ke dalam hati manusia.
“Kita harus mencintai perdamai, karean damai itu membuat kebahagian yang diharapkan oleh semua orang,” ungkap Jimmy Ijie
Sementara itu Ketua komisi D DPR Papua Yan Mandenas menilai RUU RI tentang Pemerintahan Papua atau yang dikenal Otonomi Plus yang disahkan bersamaan dengan APBD tidak sangat tidak tepat. Seharusnya pengesahan UU Otsus plus harusnya dipisahkan dalam sidan paripurna khusus atau paripurna istimewa.
”disebut paripurna istimewa, karena kita berbicara perubahan draf UU yang menjadi harapan seluruh rakyat Papua” kata Yan Mandenas.
Lanjut Yan juga Ketua Partai Hanura Papua, jika itu istimewa perlu juga dikemas mekanisme sidang yang memberikan bobot yang baik, dalam mengambil landasan hukum yang baik pula.
Menurut Yan Mandenas DPR Papua belum melakukan pemeriksaan secara terperinci pasal per pasal, sehingga sangat penting kami melihat visi dari UU itu, bahkan mengkritisi atau memberikan masukan untuk perbaikan pasal per pasal agar tidak bertabrakan dengan konstitusi Negara.
Kata Yan Mandenas, yang perlu dianggap penting pasal yang mengokomodir kepentingan masyarakat dalam rangka pembangunan masyarakat Papua secara menyeluruh itu yang sangat penting.
Namum kesempatan itu sangat tertutup bagi kami (DPR) sehingga kami meminta pada Gubenur dan Wakil Gubernur pasca sidang ini harus dilakukan harmonisasi draf rancangan UU itu sebelum dibawa ke Jakarta, tuturnya
Pada waktu harmonisasi, hal – hal yang bertentangan dengan konstitusi negara itu harus diperbaiki dan hal – hal yang tidak mengakomodir kepentingan rakyat maka perlu dimasukan dalam draf tersebut.
Wednesday, 22-01-2014, SulPa