Penyerangan yang mengakibatkan korban empat orang tewas di Kampung Wembi, Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Papua, memperpanjang daftar kekerasan di provinsi itu. Serangan ini dilakukan oleh puluhan orang yang diduga tergabung dalam kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) terhadap Pos Batalyon 509 Wembi, ketika berlangsung kegiatan bhakti sosial kesehatan oleh mahasiswa Politeknik Kesehatan Jayapura.
Peristiwa Senin (10/4) ini, menewaskan dua anggota TNI dan dua orang penyerang. Namun, identitas kedua orang penyerang yang tewas itu belum diketahui secara pasti. Sekarang TNI mengerahkan pasukan untuk mengejar kelompok penyerang yang diperkirakan bersembunyi di sekitar perbatasan Indonesia dan Papua Nugini.
Berbagai komentar muncul menanggapi kasus penyerangan ini, termasuk di antaranya yang menyebutkan bahwa serangan itu hanya untuk menunjukkan bahwa OPM masih ada, tetapi tidak mempunyai pengaruh untuk membangun kekuatan separatis. Namun demikian, cara-cara kekerasan yang dilakukan tidak akan membawa Papua keluar dari masalah, bahkan sebaliknya masalah di sana akan semakin rumit.
Kegiatan OPM sendiri, sudah cukup lama tidak terdengar. Bahkan di kalangan warga maupun tokoh di Papua muncul penilaian bahwa gerakan bersenjata seperti yang dilakukan OPM di Keerom ini, tidak akan menyelesaikan masalah. Pilihan bagi Papua agar dapat keluar dari masalah adalah melalui dialog dan diplomasi. Hal ini terlihat ketika UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua disahkan, dan status ini memperoleh sambutan yang antusias di Papua. Bahkan beberapa kelompok yang menyebut diri sebagai bagian dari OPM kemudian menyerahkan diri. Antusias masyarakat Papua dalam pemilihan gubernur sebulan lalu, juga merupakan cermin adanya kehendak yang luas dari masyarakat untuk penyelesaian masalah Papua dengan cara-cara damai.
Tak pelak, penyerangan di Keerom ini menimbulkan berbagai spekulasi, termasuk kemungkinan OPM ingin menunjukkan bahwa mereka masih eksis, walaupun mereka tidak cukup mendapatkan dukungan dan simpati. Namun, masyarakat Papua sendiri cenderung tidak melihat bahwa gerakan bersenjata sebagai solusi, apalagi aksi mereka menggunakan senjata seperti di Keerom itu, juga melukai rakyat Papua sendiri.
Oleh karena itu, pemerintah pusat di Jakarta dan pemerintah daerah Papua semestinya melihat kasus penyerangan ini tidak lebih sebagai sisa separatis yang hanya memanfaatkan situasi untuk menunjukkan eksistensi mereka. Masalah utama justru terletak pada adanya kesempatan bagi kelompok ini tampil. Berbagai kekerasan yang muncul belakangan ini di Papua, yang merupakan rangkaian dari kekecewaan atas tidak dilaksanakannya otonomi khusus, memberi peluang kepada OPM untuk muncul kembali.
Kekuatan kelompok ini memang tidak mudah diperkirakan, tetapi di kalangan masyarakat Papua mereka menduga sangat kecil, bahkan senjata api yang mereka miliki mungkin sudah kuno dan karatan. Namun demikian, kemunculannya tidak bisa diabaikan. Berbagai masalah yang dibiarkan berlarut-larut, hubungan Jakarta- Jayapura yang terus penuh kecurigaan dan apriori, serta keterbelakangan dan kemiskinan yang melilit penduduk di Papua, adalah faktor yang akan menjadikan Papua lahan subur untuk tumbuhnya separatisme.
Otonomi khusus (otsus) untuk Papua masih dipandang sebagai solusi, dan masih cukup besar harapan rakyat Papua untuk bersama suku lain di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika solusi otsus ini makin nyata dalam memperbaiki kehidupan rakyat Papua dan relasi mereka dalam keindonesiaan, maka separatisme akan menjadi kata yang asing bagi mereka, dan OPM hanya ada dalam catatan masa lalu.
Last modified: 12/4/06