Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memasuki tahun terakhir duet kepemimpinan mereka, karena rakyat Indonesia akan mengadakan pemilihan presiden dan wapres pada tahun ini. Pada akhir masa pemerintahannya, SBY-JK perlu diingatkan bahwa konflik Papua masih belum diselesaikan.
Ramainya pengibaran bendera Bintang Kejora pada 2008 merupakan indikasi yang jelas dari belum dituntaskannya konflik Papua. Jadi, meskipun Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) sudah diberlakukan selama tujuh tahun, bendera Bintang Kejora masih saja dikibarkan. Pertanyaannya, Bagaimana menyelesaikan konflik Papua secara damai?
Masih segar dalam ingatan orang Papua akan berbagai pernyataan publik yang disampaikan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Yudhoyono tentang penyelesaian masalah Papua secara bermartabat dan tanpa kekerasan. Presiden Yudhoyono mengumumkan melalui Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2005, pemerintah berkehendak untuk menyelesaikan masalah Papua secara damai, adil, dan bermartabat dengan menekankan dialog dan persuasif. Pada kesempatan lain, Presiden Yudhoyono menegaskan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan konflik Papua secara demokratis dan damai seperti penyelesaian masalah Aceh.
Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda juga mengumumkan niat pemerintah yang mengutamakan solusi tanpa kekerasan dalam mengatasi konflik Papua, “The successful peace process in Aceh should inspire a similiar move for a non-violent solution in Papua” (The Jakarta Post, 22/4/2006). Menlu Wirayuda pernah menegaskan bahwa pemerintah hendak menuntaskan konflik Papua melalui dialog. Pentingnya penyelesaian masalah Papua melalui dialog, kembali ditekankan oleh Yuwono Sudarsono selaku Menteri Pertahanan (The Jakarta Post, 19/9/2008).
Semua pernyataan di atas sesuai dengan imbauan Presiden Yudhoyono, yang disampaikan pada Perayaan Natal Nasional 2005, untuk mengatasi berbagai persoalan, termasuk konflik dan permasalahan keamanan di Indonesia melalui tiga pendekatan utama, yakni pendekatan damai, kasih sayang, dan demokratis. Kalau pemerintah bersikap konsisten terhadap ketiga pendekatan ini, maka konflik Papua pun seharusnya diselesaikan dengan pendekatan damai, kasih sayang, dan demokratis.
Pendekatan Hukum
Kenyataan di Papua menunjukkan bahwa pemerintah cenderung mengedepankan pendekatan hukum. Konflik Papua dipandang sebagai masalah hukum. Buktinya, pemerintah melihat pengibaran Bintang Kejora sebagai masalah kriminal.
Akibatnya, pengibaran bendera ini ditafsirkan sebagai pelanggaran terhadap hukum di Indonesia. Orang Papua yang mengibarkan dan atau memiliki bendera ini dipandang dan diperlakukan sebagai penjahat kriminal.
Biasanya, polisi sebagai aparat penegak hukum, bertindak cepat bila Bintang Kejora dikibarkan. Polisi mengerahkan pasukannya, mengejar pelaku pengibaran bendera, mengumpulkan barang bukti, seperti tiang dan bendera yang dipakai, mengadakan penyelidikan, memanggil dan mendengarkan saksi-saksi, mencari pasal-pasal yang telah dilanggar, menetapkan tersangka, menyerahkan kasusnya ke pengadilan, dan akhirnya pelaku kejahatan ini dipenjara.
Hal itu memperlihatkan bahwa pemerintah telah meninggalkan penyelesaian damai melalui dialog yang pernah dijanjikan dan sedang mengkriminalisasi konflik Papua. Upaya kriminalisasi masalah ini ditunjukkan, misalnya, melalui penangkapan mereka yang dituduh melakukan kegiatan makar dan subversi.
Atas dasar tuduhan makar, polisi menangkap sejumlah pemuda Papua yang kritis, seperti Buchtar Tabuni dan Sebby Sembom pada Desember 2008. Konon, banyak pemuda lain akan ditangkap, karena tuduhan yang sama.
Buchtar dan Sebby dikenal, karena keberanian mereka dalam memperjuangkan keadilan dan melancarkan kritik secara terbuka terhadap pemerintah yang tidak serius mengimplementasikan UU Otsus Papua.
Mereka mengkritisi pemerintah dengan menggelar demonstrasi damai di kantor DPR Papua atau di kantor gubernur. Mereka memimpin massa dalam demonstrasi yang menuntut dialog untuk mencari penyelesaian demokratis, damai, dan bermartabat atas konflik Papua, karena pemerintah dianggap gagal melaksanakan UU Otsus Papua.
Mereka juga menggerakkan ratusan orang dan menuntut polisi untuk mengusut dan mengungkapkan pelaku dan motif penembakan yang menewaskan Optius Tabuni di Wamena 9 Agustus 2008. Hingga kini polisi tidak berhasil membongkar kasus pembunuhan tersebut.
Tanpa Merusak
Ketika International Parliamentarians for West Papua (IPWP) diluncurkan di London, 15 Oktober 2008, mereka secara terbuka dan damai mengorganisasi massa untuk menyampaikan aspirasi dukungan terhadap pembentukan IPWP. Namun, aspirasi tidak jadi disampaikan, karena jalan raya diblokir oleh gabungan aparat keamanan pada 16 Oktober 2008.
Mereka melakukan semua aktivitas tanpa merusak. Mereka mengundang orang secara terbuka dan menampilkan susunan organisasi yang jelas. Maka, penangkapan atas para pemuda ini mengherankan berbagai pihak.
Ternyata, pemerintah masih mempunyai pemahaman yang salah terhadap konflik Papua. Buktinya, pemerintah masih mengidentikkan konflik Papua dengan pengibaran Bintang Kejora. Oleh karena itu, pemerintah berusaha mengatasi masalah ini dengan melarang pengibaran Bintang Kejora, menangkap para pengibarnya, dan menciduk pendukung peluncuran IPWP.
Kriminalisasi masalah politik, seperti ini, tidak akan menyelesaikan konflik Papua. Maka dibutuhkan suatu pemahaman yang benar atas konflik Papua. Sesuai karakter dasarnya, konflik Papua digolongkan sebagai masalah politik, bukan kriminal, maka dibutuhkan solusi politik.
Pengibaran Bintang Kejora hanyalah akibat dari belum dituntaskannya masalah-masalah mendasar di Papua. Pengibaran bendera ini bagaikan kepulan asap yang menandakan adanya sumber api yang belum ditangani. Sebab itu, menurunkan dan atau melarang pengibaran bendera ini sama dengan menghalau asap api tanpa mengatasi sumber dari asap tersebut.
Sumber api tidak pernah berhasil dipadamkan hanya dengan menghalau asap. Selama api yang menghasilkan asap belum dipadamkan, selama itu pula asap tetap mengepul. Demikian pula selama masalah yang melatarbelakangi tuntutan merdeka belum diatasi, selama itu pula Bintang Kejora akan dikibarkan. Maka jelaslah bahwa penerapan pasal makar dan subversi oleh pemerintah tidak pernah berhasil mengidentifikasi dan mengatasi sumber konflik Papua.
Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyelidiki dan mengatasi akar penyebab konflik Papua yang tersimbolkan dalam pengibaran Bintang Kejora melalui suatu dialog damai, melibatkan pemerintah, orang Papua, dan pihak ketiga sebagai fasilitator.
Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur, Abepura, Jayapura, Papua