Jubi, Jayapura – Kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia ke Papua Nugini (PNG), Kepulauan Solomon dan Fiji meski tak secara terbuka menyebutkan isu Papua Barat ada dalam agenda kunjungan di akhir Februari lalu itu, namun pernyataan Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill menegaskan bahwa isu Papua Barat ada dalam agenda kunjungan bilateral Indonesia ke negara-negara anggota Melanesia Spearhead Group (MSG) itu.
Menlu Indonesia, Retno Marsudi, setelah kembali ke Jakarta dalam pernyataannya kepada media massa di Jakarta, juga tidak menyebutkan isu Papua Barat dibicarakan dalam agenda kunjungannya di PNG, Kepulauan Solomon dan Fiji. Menlu Retno hanya menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk membantu pengembangan kapasitas MSG melalui bantuan dana senilai 20 juta dolar.
Namun Menlu Kepulauan Solomon, Milner Tozaka, kepada Jubi mengatakan ia membicarakan isu Papua Barat dalam pertemuannya dengan Menlu Indonesia di Honiara akhir Februari lalu. Sebab negara-negara MSG punya kesepakatan untuk mengangkat isu Papua Barat dalam setiap pertemuan bilateral mereka.
“Kami mendukung hak penentuan nasib sendiri untuk rakyat Papua. Tapi kami harus melihat lebih lanjut pada perjanjian referendum tahun 1969 (Pepera) yang telah ditandatangani oleh rakyat Papua Barat untuk bergabung dengan Indonesia,”
kata Tozaka, saat dihubungi Jubi, Senin (09/03/2015).
Pernyataan Tozoka ini setidaknya menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia berusaha meyakinkan negara-negara anggota MSG bahwa persoalan Papua telah selesai tahun 1969.
Mengenai aplikasi Liberation Movement for West Papua ULMWP, Tozoka mengatakan aplikasi tersebut harus dipertimbangkan berdasarkan kriteria dan persyaratan keanggotaan MSG.
PNG lebih berhati-hati dalam memberikan pernyataan usai pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia. PNG yang berbagi perbatasan dengan Indonesia, kembali menegaskan pengakuan jika Papua berada dalam wilayah Kedaulatan Indonesia. Namun O’Neill juga meminta Indonesia untuk mendukung aplikasi yang diajukan ULMWP untuk menjadi anggota MSG.
Menlu PNG, Rimbink Pato menyampaikan PNG tak bisa memaksa Indonesia tentang bagaimana menjalankan urusan Indonesia.
“Jika ada sebuah aplikasi, kami ingin memastikan bahwa itu benar-benar datang dari wakil orang-orang Melanesia yang mereka klaim. Kami tidak ingin aplikasi ini datang dari satu kelompok faksi yang didukung penuh oleh satu kelompok Melanesia yang tinggal di AS atau di Eropa atau Australia dan kemudian menyebabkan lebih banyak masalah daripada perbaikan,”
kata Pato pekan lalu.
Fiji, negara yang baru saja mendapatkan apresiasi atas penegakkan HAM di negara tersebut pada sidang dewan HAM PBB di Geneva pekan lalu, mengaku tak bisa mengkonfirmasi posisi mereka. Saat isu Papua Barat dibawa dalam sidang parlemen oleh Ratu Isoa Tikoca (anggota oposisi), Menlu Fiji, Ratu Inoke Kubuabola menjawab aplikasi Papua Barat untuk menjadi anggota penuh MSG akan melalui prosedur MSG.
“Aplikasi akan diperhatikan oleh pejabat senior MSG, kemudian diberikan kepada para menteri luar negeri negara anggota MSG baru kepada para pemimpin MSG. Pertemuan MSG akan dilangsungkan pada bulan Juni nanti di Honiara. Jadi, kita harus mengikuti proses tersebut. Saat ini saya tak bisa mengkonfirmasi posisi Fiji pada isu ini (Papua Barat – red),”
jawab Ratu Inoke Kubuabola dalam sidang parlemen Fiji bulan Februari lalu.
Vanuatu dan Front Pembebasan Kanaki (FLNKS) dua entitas ini tak masuk dalam daftar kunjungan Menlu Indonesia di Pasifik. Tentunya cukup kuat alasan bagi Indonesia tidak menempatkan Vanuatu yang adalah sebuah negara dan FLNKS sebagai kelompok perlawanan Kanaki . Vanuatu, berulangkali menegaskan posisi mereka terhadap Papua Barat. Kesediaan negara ini menyatukan faksi-faksi perjuangan pembebasan Papua Barat akhir tahun lalu adalah fakta bahwa posisi Vanuatu tak bisa ditawar lagi.
FLNKS? Kelompok perlawanan ini sedang sibuk dengan urusan internal mereka di Kanaki. Sebagai kelompok pro kemerdekaan di Kanaki, FLNKS sedang berjuang untuk mengimbangi kekuatan kelompok anti kemerdekaan di Kanaki. Setidaknya, mereka harus berjuang menjadi mayoritas dalam pemerintahan di Kanaki. Saat ini, mereka hanya memiliki lima wakil dalam pemerintahan sedangkan kelompok anti kemerdekaan memiliki enam wakil.
Dalam waktu tiga bulan terakhir, Kanaki juga mengalami kekosongan pemerintahan. Presiden Kanaki, harus lengser sebelum waktunya. Hal ini membuat proses pendataan orang-orang yang berhak mengikuti referendum pada tahun 2018 nanti tak bisa bergerak maju. Ini masalah yang dihadapi FLNKS. Apakah ini yang menjadi alasan Indonesia tak menempatkan FLNKS dalam daftar kunjungan Pasifik?
Sejarah panjang perlawanan bangsa Kanak lah yang membentuk FLNKS. Tak ada bedanya dengan perjuangan bangsa Papua Barat hingga lahirlah ULMWP akhir tahun lalu. Negara-negara Melanesia lainnya berperan signifikan dalam menginisiasi pembentukan FLNKS hingga kelompok perlawanan bangsa Kanak ini menjadi anggota MSG. PNG dan Vanuatu dengan prinsip “Melanesian Brotherhood” adalah dua negara yang tak bisa dilepaskan dari sejarah FLNKS. Mengingkari ULMWP, bagi FLNKS adalah mengingkari diri mereka sendiri. (Victor Mambor)
Source: Diposkan oleh : Victor Mambor on March 10, 2015 at 23:49:14 WP, Jubi