JAYAPURA—Banyak yang berkoar soal kasus Puncak Jaya, mulai dari Dewan Adat Papua (DAP), DPRP, Komnas HAM, Gereja, bahkan Individi-individu, namun mengapa hanya Duma Sokrates Sofyan Yoman yang jadi bidikan?
Alangkah baiknya bila kita bersama-sama melihat substansi dari munculnya tudingan atau kritikan terhadap instisuti Polri maupun TNI yang menjalankan amanah negara di wilayah paling timur Indonesia yakni Papua. Melihat kasus yang terjadi di kabupaten Puncak Jaya Papua sungguh tragis dan ironis memang, pasalnya sejak berdiri di tahun 2004 silam, kabupaten dengan ibu kota Mulia ini sudah dihebohkan dengan berita penembakan yang menggetarkan nadi dan merindingkan buluk kuduk.
Dalam laporan Komnas HAM Papua sendiri, disebutkan bahwa pada 17 Agustus 2004 saat upacara peringatan detik-detik proklamasi di Mulia Puncak Jaya, segerombolan orang yang tidak dikenal masuk ke dalam kota Mulia dan melakukan penembakan ke arah warga sipil dan petugas keamanan TNI Polri, sehingga banyak korban berjatuhan baik dari warga sipil maupun aparat keamanan.
Akibat aksi tersebut, tidak sedikit aparat keamanan yang dikirim ke wilayah tersebut, dengan tujuan mengejar serta menumpas habis atau membawa mereka, orang-orang yang katanya berbeda pandangan ini untuk kembali bergabung dengan masyarakat umum serta menyatakan kesetiaannya pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sejak saat itu pula, tidak sedikit warga atau masyarakat asli yang telah lama mendiami lembah itu mengungsi, mencari tempat aman dan tenang untuk melanjutkan aktifitas berkebun serta bersosialisasi secara bebas.
Nah, kembali pada kasus Puncak Jaya yang kemudian perlahan tapi pasti mulai merambah ke balik meja yakni Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Gereja-Gereja Baptis Papua, Duma Sokrates Sofyan Yoman yang dengan tegas menyoroti kinerja Polisi dan TNI, kini terancam dijemput paksa oleh aparat keamanan, pernyataanna lewaT media ini dijadikan sebagai senjata untuk memanggil yang bersangkutan dengan tuduhan yang pastinya adalah penghasutan serta fitnah.
Sokrates memang berkata keras bahkan mengaku memiliki bukti-bukti otentik akan keterlibatan aparat TNI dan Polri di Kabupaten Puncak Jaya, yang tanpa memikirkan untung rugi menyampaikan kepada publik bahwa kasus Puncak Jaya adalah proyek aparat.
Tentu saja hal ini membuat panas telinga, “Pangdam dan Kapolda Tersinggung” begitulah tanggapan petinggi militer yang termuat pada halaman surat kabar di Jayapura.
Kalau memang pernyataan tersebut membuat tersinggung pihak-pihak tertentu, maka agar azas keadilan diterapkan secara merata di Indonesia kepada seluruh Warga Negara Indonesia, lebih khusus di Tanah Papua, agar juga tidak merugikan satu pihak, maka polisi sudah seharusnya dari sekarang membuka kembali file-file atau dokumen tentang pernyataan-pernyataan yang dilontarkan individu-individi tertentu baik lewat DPR Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), Komnas HAM Papua, Dewan Adat Papua (DAP) maupun organisasi kepemudaan lainnya. Pasalnya dari catatan dan pengalaman, tidak sedikit individu di Tanah ini yang selalu mengkait-kaitkan kasus di Papua dengan TNI/Polri.
“APBD kami terkuras hanya untuk masalah keamanan di Puncak Jaya, rumah Bupati saja ditembaki,” ungkap Bupati Puncak Jaya Lukas Enembe belum lama ini di Jayapura.
Nah, kembali ke Puncak Jaya, yang menarik adalah di tahun 2004 senjata rampasan yang berhasil dibawah kabur kelompok yang oleh aparat keamanan dikenal banyak versi, mulai dari Orang Tidak Dikenal (OTK), Gerombolan Bersenjata, Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelompok Kriminal Bersenjata, Kelompok Sipil Bersenjata dan masih banyak lagi istilah yang sering dipakai. Bahwa pada tahun 2004 sedikitnya empat sampai lima pucuk senjata berhasil dibawah kabur kelompok-kelompok ini, sejak saat itu kelompok ini sering memakai senjata rampasannya untuk melakukan teror bahkan pembunuhan baik pada warga sipil maupun aparat keamanan.
Yang mengagetkan semua pihak, bahwa dalam kurun waktu enam tahun terakhir hingga 2010 ini, kelompok ini telah berhasil merampas dan juga telah memiliki hampir 30 sampai 40 pucuk senjata rampasan. Dan dalam kurun waktu tersebut angka korban di Puncak Jaya meningkat signifikan, angka amunisi dan personil juga meningkat siginifikan.
“Dari tahun 2004-2007 terjadi peningkatan yang signifikan, korban di dua pihak (sipil dan Aparat keamanan) meningkat tajam, nah, selama yang jadi pertanyaan adalah suplai amunisi yang sering dipakai itu dari mana, ini kondisi yang aneh,” ujar Matius Murib wakil ketua Komnas Ham Papua.
Ya, memang aneh, hal ini memperlihatkan bahwa Polisi terlalu reaktif terhadap pernyataan Sokrates Sofyan Yoman, padahal persoalan sesungguhnya adalah penembakan yang selalu terjadi di Puncak Jaya.
“Ini bukan persoalan antara tersingung atau tidak tersinggung, tetapi ada warga masyarakat yang selalu jadi korban disana, itu substansi persoalannya,” tambah aktifisi hukum Gustaf Kawer kepada media ini belum lama ini.
Sayangkan, disaat masyarakat di Kabupaten lain tengah membangun di segala bidang, dapat bersosialisasi dengan bebas, tidur dengan nyenyak, kemana saja tidak ada halangan namun masyarakat di kabupaten Puncak Jaya masih terus berkutat dengan masalah teror meneror. Kondisi ini sangat memprihatinkan. (Hendrik Hay)