JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, DPRP harus mengambil sikap tegas terhadap Pemerintah Pusat tentang UU Otsus Plus.
Menurutnya, DPRP harus berani menyampaikan kepada Pemerintah Pusat bahwa sudah waktunya digelar Referendum untuk membahas semua persoalan di atas Tanah Papua ini demi mewujudkan Tanah Papua yang damai dan sejahtera.
Mengenai sikap protes Gubernur Papua dan Ketua DPRP yang akan meletakkan jabatan apabila Pemerintah Pusat tidak mengakomodir pasal-pasal kewenangan yang luas dalam konsep plus atau RUU Pemerintahan Papua tidak terlalu mendapat simpati dan dukungan dari rakyat Papua, karena Otsus Plus sudah dari awal ditolak oleh rakyat Papua.
Rakyat Papua seluruhnya baik orang asli Papua dan non Papua serta kelompok-kelompok perlawanan terhadap pemerintah, semuanya sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah Papua melalui dialog Damai Jakarta-Papua. Bahkan dalam rapat dengar pendapat MRP Juli 2013 lalu, seluruh perwakilan wilayah adat di Tanah Papua telah mengeluarkan keputusan untuk menyelesaikan masalah Papua melalui Dialog Papua yang damai dan bermartabat.
“Hasil rapat dengan pendapat ini kemudian dipolitisir atau dikhianati oleh Ketua MRP dengan menyampaikan hasil pleno bahwa MRP dan rakyat Papua mendukung UU Otsus plus atau RUU Pemerintahan Papua,”
ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Jayapura di Waena, Jumat, (22/8).
Kemudian, MRP dinilai mengkhianati orang Papua, maka kalau Pemerintah Pusat mengkhianati elit politik dan pejabat Papua melalui dicabutnya sebagian besar pasal yang mengatur kewenangan kekuasaan dalam UU Otsus plus, itu bagian dari hukum tabur tuai. Siapa menabur dusta, akan menuai dusta.
Untuk itu, dirinya menyadarkan elit politik Papua dan Gubernur Papua bahwa sampai kapanpun elit politik di Jakarta tidak akan pernah bisa percaya, mengakui dan menghargai orang Papua, para elit politik dan pejabat Papua akan selalui dicurigai sebagai kaum separatis yang akan diragukan rasa nasionalisme. Pemerintah Pusat tidak akan memberikan kewenangan kekuasaan yang besar buat Papua, kalau ada aturan hukumnya, itu hanyalah hitam diatas putih. Tidak pernah diimplementasikan dengan baik dan komprehensif.
Kasus UU Otsus Papua Tahun 2001 seharusnya sudah menjadi refleksi dan pembelajaran politik buat elit politik dan pejabat Papua untuk tidak lagi membuat kesalahan yang sama dengan percaya pada political will pemerintah pusat yang ‘Not Action Talk Only’. Sudah waktunya elit politik di Papua mengambil sikap yang tegas untuk berdiri di sisi orang Papua mendukung pilihan politik orang Papua untuk menyelesaikan masalah Papua, bukan berdiri mendukung pemerintah pusat dalam konsep Otsus Plus. Khusus buat DPRP Papua, sudah harus mengeluarkan sikap untuk mendorong dialog Damai-Jakarta-Papua atau menuntut digelarnya referendum di Papua dalam menyelesaikan konflik Papua atau kontroversi UU Otsus Papua.
“Pilihan Dialog Damai Jakarta-Papua dan referendum sudah harus menjadi senjata politik di DPRP untuk menjadikannya sebagai bargaining politic dengan pemerintah pusat. Kalau ada sikap tegas DPRP seperti ini saya pastikan pemerintah pusat, khususnya Kemendagri dan Kemenkopolhukam akan berpikir ulang dengan kebijakan yang sudah mereka ambil terhadap draff ke-14 RUU Pemerintahan Papua,”
tukasnya.
Jika Pemerintah Pusat tidak mengindahkan aspirasi DPRP tentang dua cara penyelesaian masalah Papua ini. Maka jangan salahkan orang Papua kalau kemudian orang Papua menghendaki tuntutan politik yang jauh lebih besar yakni meminta kemerdekaan. Momen ini yang tepat untuk Gubernur Papua, Lukas Enembe dan DPRP menunjukan ketegasan dan ancaman yang serius terhadap pemerintah pusat. Bila sekadar ancaman mengundurkan diri dari jabatan, tidak sama sekali mendapat dukungan rakyat Papua. Kalau mengancam dengan menggelar dialog damai Papua-Jakarta (referendum) barulah Jakarta, akan serius mendengarnya.
Hal lainnya yang disampaikan dirinya bahwa, harus diingat bahwa sebagaimana diketahui setelah Aceh redah dari kekerasan senjata, maka Papua satu-satunya wilayah Indonesia yang terus dijadikan ‘Killing Field’ untuk kepentingan politik, karena momentum agenda politik nasional tahun ini adalah Indonesia akan betul-betul membangun supremasi sipil pasca Pemilu Presiden 2014 dengan mengeluarkan militer dari kekuasaan sipil ataukah militer masih dibutuhkan dalam lingkaran kekuasaan sipil untuk menjamin stabilitas politik negara dan menjaga integrasi bangsa dari ancaman disintegrasi.
“Saya membaca bahwa kehadiran pasangan Jokowi-JK, pasangan kombinasi kekuatan sipil sebagai calon kuat pemenangan pemilu presiden dan wakil presiden 2014 ini, merupakan ancaman serius bagi dominasi militer dari kekuasaan politik selama ini. Jadi sudah saatnya DPRP tegas kepada Pemerintah Pusat,”
ujarnya.
Baginya, dirinya melihat dirinya ragu bahwa sipil belum bisa dipercaya untuk mengelola kekuasaan politik, atau kekuasaan politik ditangan sipil hanya akan membawa Indonesia pada bencana politik yang jauh lebih besar kedepannya.
Karena itu, kehadiran militer masih sangat dibutuhkan dalam politik Indonesia di era transisi demokrasi saat ini. Dengan demikian kekerasan senjata dan konflik di Papua akan semakin meningkat tajam karena memiliki tujuan untuk mengamankan kepentingan politik kelompok militer dalam pemerintahan baru ke depan pasca kempemimpinan Presiden SBY.
Berikutnya, untuk kepentingan keamanan karena ‘Mindsetnya’ Pemerintah Pusat yang melihat Papua sebagai daerah operasi militer (DOM) belum berubah sampai sekarang. Diatas kertas DOM di Papua sudah dihapuskan dan pendekatan yang dikedepankan adalah pendekatan pembangunan dan kesejahteraan. Tetapi ibarat jauh panggang daripada api. Pilihan pendekatan militer masih menjadi kebijakan utama Pemerintah Pusat terhadap Papua.
Dimana orang Papua masih dilebelkan separatisme/kejahatan sipil dan masih diragukan rasa nasionalismenya. Sehingga hanya senjata atau bedil sajalah yang adalah alat utama komunikasi pemerintah dengan orang Papua dan juga sebagai alat untuk mengendalikan keamanan di Papua.
“Alat yang lain yang ditawarkan yakni dialog Papua-Jakarta dipandang sebagai alat penyelesaian tidak demokratis dan berbahaya bagi NKRI apalagi referendum,” bebernya.
Dengan demikian, dirinya menyimpulkan bahwa kekerasan senjata dan konflik-konflik yang terjadi di Lanny Jaya dan tempat lainnya di Papua kedepannya hanyalah implikasi dari pertarungan di ruang publik antara pendekatan dialog Papua versus pendekatan militer dan Otsus Plus.
“Kalau mau ciptakan perdamaian di Papua, segera buka ruang dialog damai Papua-Jakarta. Kalau pemerintah bersikeras hati dan tidak membuka ruang untuk dialog Papua, sama saja pemerintah terus memelihara konflik dan kekerasan di Papua,”
tandasnya lagi.
“Elit politik di Papua (pejabat gubernur, Ketua DPRP, Ketua MRP) dan Pemerintah Pusat adalah pihak yang harus disalahkan dari semua konflik dan kekerasan yang menimbulkan banyak korban jiwa di Papua karena kesombongan dan kekerasan hati merekalah dalam mempertahankan pendekatan militer dan Otsus Plus dalam menyelesaikan masalah Papua. Sampai kapan kamu (pejabat gubernur, Ketua DPRP, Ketua MRP) membiarkan darah umat manusia tertumpah terus diatas Tanah Papua?,”
sambungnya.
Sementara Ketua Umum Badan Pusat Pelayanan Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (BPP PGBP), Socratez Sofyan Yoman, M.A., kembali menegaskan, rakyat Papua harus berpikir untuk membangun diri sendiri dan menjadi diri sendiri. Lebih baik jangan mengharapkan orang lain, yakni Pemerintah Indonesia, karena jelas rakyat Papua dipaksakan menjadi orang Indonesia. Sebab secara etnis, ras dan geografis antara Pulau Jawa dan Papua sudah sangat beda jauh. Saya sendiri tidak memilih saat mencoblos, karena saya tidak mau berikan legitimasi bagi seorang Presiden yang tidak menyelesaikan masalah Papua.
“Indonesia hanya berhasil mengajarkan Bahasa Indonesia bagi rakyat Papua, sementara pembangunan disisi lain tidak terlalu signifikan. Ini rakyat Papua berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia karena sudah mengajarkan Bahasa Indonesia,”
tukasnya.
Jika rakyat Papua mengharapkan Jokowi menyelesaikan masalah Papua, atau Jusuf Kalla(JK)? Namun JK orangnya hanya mau menyederhanakan masalah. Karena JK wataknya seorang pembisnis, bukan seorang negarawan. Masalah Papua yang sangat substansi, yakni masalah politik, masalah pelanggaran HAM, masalah kegagalan pembangunan, itu jelas JK akan merangkum semunya dalam satu kata yaitu masalah kesejahteraan, karena JK memandang dari sisi bisnismen.
Ditegaskannya, orang Papua berpikir untuk membangun diri sendiri, bukan berarti dalam artian bahwa orang Papua mengisolasikan diri, karena pada dasarnya kita semua membutuhkan solidaritas, butuh kawan, butuh teman dan sahabat serta butuh kehidupan sosial.
Tapi pada pada intinya kita berinteraksi dengan komunitas sosial yang lebih luas, tetapi jangan lupa membangun jati diri diatas kaki sendiri dan jangan terbawa dengan nasionalisme dan budaya orang lain atau sejarah orang lain. Karena sangat berbahaya jika sejarah, budaya, bahasa, identitas kita dan nasionalisme itu hilang, sebab itu nantinya dengan mudah dikendalikan oleh orang lain. Membangun diri kita sendiri, meski kita butuh dukungan solidaritas kepada siapa saja yang punya hati nurani yang tulus (hati kemanusian), karena sejak dulu masalah Papua semakin meningkat. Contoh saja perjuangan-perjuangan Papua adalah perjuangan OPM, namun aparat TNI/Polri menyatakan itu kelompok kriminal, jelas itu sangat merendahkan.(Nls/don)
Sabtu, 23 Agustus 2014 09:06, BinPa