JAYAPURA (PAPOS) -Paradigma pembangunan wilayah perbatasan RI dengan Papua Nugini (PNG) saat ini adalah pembangunan yang memiliki kearifan dan berkelanjutan. Artinya, para pembuat kebijakan dan perancang pembangunan di kawasan perbatasan antar negara ini harus memahami dan memanfaatkan potensi-potensi lokal yang tersedia di tempat tersebut,meliputi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM).
Hal ini disampaikan Dr.J.R.Mansoben MA, pengajar Universitas Cenderawasih (Uncen) ketika membawakan makalah pada Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Penanganan Wilayah Perbatasan RI-PNG Tahun 2008 yang diselenggarakan Badan Perbatasan dan Kerjasama Daerah Provinsi Papua di Jayapura, Kamis (11/12).
Mansoben menekankan pentingnya pembasahan pembangunan di wilayah perbatasan RI-PNG pada aspek potensi SDM, yaitu unsur kearifan lokal dan kaitannya dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA).
“Pemahaman ini menjadi landasan bagi perencanaan model pengembangan masyarakat yang tepat, terutama pada daerah perbatasan RI-PNG,” katanya.
Penduduk yang bermukim di daerah perbatasan dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa hal,pertama kelompok etnik, yang terdiri dari tujuh kelompok etnik.
Berikutnya adalah wilayah pemerintahan yang tersebar dalam lima wilayah Kabupaten dan Kota yang mencakup 20 distrik. Selain itu adalah penyebaran lingkungan ekologi yang dibagi menjadi daerah dataran pantai dan daerah perbukitan.
Disusul aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan kondisi ekologi, yaitu menangkap ikan,berkebun, berburu dan meramu hasil hutan. Dalam penataan kehidupan bermasyarakat, Mansoben menjelaskan bahwa terdapat dua sistem kepemimpinan yang dianut, yaitu sistem kepemimpinan yang bersifat chieftainship (kepala suku) dan kepemimpinan bigmen (pria berwibawa).
Ciri-ciri kepemimpinan chieftainship adalah pemimpin diangkat berdasarkan ascribed status atau pewarisan dari pemimpin sebelumnya. Pemimpin yang diangkat mendapat legitimasi dari ceritera mitos nenek moyang sehingga masyarakat percaya bahwa pemimpin mereka adalah titisan atau representasi dewa.
Sedangkan kepemimpinan bigmen (pria berwibawa) adalah sistem kepemimpinan yang berdasarkan pada achievement (pencapaian) sehingga pemimpin adalah seseorang yang memiliki kualitas dan kemampuan yang termanifestasi dalam keberhasilan ekonomi, keberanian memimpin perang,mengorganisir kelompok, kearifan dan kedermawanan untuk menolong orang lain.
Walaupun banyak perbedaan antara daerah satu dengan yang lain di wilayah perbatasan, namun ada satu kesamaan dalam aktivitas ekonomi mereka, yaitu bersifat ekonomi subsistem.
Implikasinya adalah tujuan utama dari setiap aktivitas ekonomi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (keluarga) dan kepentingan sosial lain, seperti upacara adat.
Dalam masyarakat seperti ini, unit produksi utama adalah anggota keluarga, tujuan produksi terbatas dan tidak ada spesialisasi pekerjaan dalam suatu komunitas.
Selain itu, ketergantungan kepada SDA terutama hasil hutan dan hasil hutan bukan kayu sangat tinggi.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, Mansoben menjelaskan bahwa kebijakan pengembangan masyarakat di sepanjang daerah perbatasan RI-PNG berbasis SDA hendaknya merupakan intervensi yang memihak kepada penduduk setempat sekaligus ramah lingkungan.
Model pengembangan sebaiknya tidak berskala besar yang menggunakan teknologi canggih dan manajemen yang kompleks sebab masyarakat belum siap untuk terlibat di dalamnya.
Model pengembangan yang disarankan adalah yang berskala kecil dengan penggunaan teknologi tepat guna yang cepat dan mudah dikuasi oleh masyarakat setempat.
Model pengembangan ini dibedakan berdasarkan ekologi pantai dan dataran rendah serta untuk daerah pegunungan tinggi.
Oleh karena program-program pengembangan yang akan dilaksanakan berasal dari luar dan belum dikenal masyarakat, maka perlu dilakukan pendampingan secara utuh tanpa terputus.
“Agar proses pendampingan berjalan baik maka para pendamping harus dibekali dengan pemahaman tentang masyarakat dimana mereka akan melakukan tugasnya,” katanya.(ant)
Ditulis Oleh: Ant/Papos
Jumat, 12 Desember 2008