K Bertens
Pada 18 Juli mendatang Nelson Mandela mencapai usia 90 tahun. Untuk menghormati dia, pada 27 Juni yang lalu diselenggarakan konser musik besar-besaran di Hyde Park, London, yang melibatkan banyak penyanyi top dari berbagai tempat dan dihadiri oleh sekitar 46.000 penonton. Walaupun keadaan fisiknya sudah rapuh, Namun Mandela masih sempat memberikan sambutan singkat kepada massa pengagum itu. Konser ini sekaligus memperingati konser serupa 20 tahun lalu di Stadion Wembley, ketika ulang tahunnya ke-70, yang bertujuan mendesak pemerintah Afrika Selatan agar membebaskan Mandela yang masih dipenjara saat itu.
Selama 27 tahun Nelson Mandela meringkuk di penjara. Bahkan ia dijatuhi hukuman kurungan seumur hidup. Satu-satunya kejahatannya, ia menentang sistem apartheid: pemisahan radikal antara ras kulit putih dan kulit hitam di Afrika Selatan dalam segala hal. Hanya orang kulit putih memiliki hak politik, seperti boleh memilih atau dipilih dalam DPR dan ambil bagian dalam pemerintahan. Sistem apartheid ini ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Afrika Selatan, sehingga negara ini didasarkan atas prinsip rasistis yang sangat tidak etis.
Dengan segenap tenaga Nelson Mandela melawan keadaan tidak adil ini. Untuk itu ia sudah lama bergabung dengan gerakan African National Congress (ANC) di mana ia juga menjadi ketua umum. Tujuannya adalah persamaan hak untuk semua kelompok etnis di Afrika Selatan. Pada 1960, ANC sudah dilarang, tapi para anggotanya melanjutkan perjuangan secara tersembunyi. Selama di penjara, Mandela menderita banyak. Antara lain ia harus dirawat untuk beberapa waktu karena penyakit tuberkulosis. Tetapi, di tengah segala penderitaan itu Mandela justru menjadi simbol perjuangan ANC di Afrika Selatan dan di dunia internasional.
Dibebaskan
Pada 11 Februari 1990 Nelson Mandela dibebaskan dari penjara oleh pemerintahan Presiden FW de Klerk. Pada saat itu suasana sudah berubah, karena de Klerk dan partainya, National Party, mengerti bahwa tidak ada masa depan untuk Afrika Selatan bila susunan rasistisnya tidak ditinggalkan.
Di pihak lain, Mandela menyadari juga bahwa ANC harus menghentikan perjuangan bersenjata dan mengusahakan rekonsiliasi dengan Presiden de Klerk dan pemimpin-pemimpin Afrika Selatan lainnya. Dalam hal ini, ia berbeda pendapat dengan beberapa anggota ANC lain yang lebih radikal.
Lalu menyusul beberapa tahun di mana diupayakan persiapan masa depan untuk Afrika Selatan yang demokratis. Selama 1990 dan 1991 pemerintahan Presiden de Klerk berangsur-angsur menarik kembali undang-undang yang menjadi dasar hukum untuk sistem apartheid. Pada 1993, dibentuk pemerintahan kesatuan nasional yang harus mempersiapkan pemilihan umum multiras pertama di Afrika Selatan dan sekaligus membentuk konstituante yang bertugas merumuskan undang-undang dasar baru. Pada tahun yang sama, Nelson Mandela bersama Presiden de Klerk dianugerahi Hadiah Nobel untuk perdamaian yang menggarisbawahi dukungan internasional bagi usaha damai mereka.
Selama perundingan dengan penguasa kulit putih, Mandela selalu berpegang pada prinsip one person, one vote dalam mempersiapkan pemilu demokratis. De Klerk dan partainya tidak setuju. Mereka menginginkan suatu bentuk demokratis di mana minoritas putih dan mayoritas hitam membagi kekuasaan, karena mereka mengkhawatirkan suatu pemerintahan seratus persen hitam akan membalas dendam terhadap minoritas putih, sehingga Afrika Selatan demokratis akan menjadi permulaan penderitaan bagi mereka. Keadaan diskriminasi akan ter-balik. Tetapi, Mandela tidak pernah bersedia meninggalkan prinsipnya dan hanya mempunyai otoritas moralnya untuk menjamin hak warga negara penuh untuk minoritas putih juga dalam Afrika Selatan masa depan.
Di sisi lain, Mandela harus mempersatukan partai-partai kulit hitam yang sering mempunyai keinginan sendiri, khususnya Inkatha Freedom Party, partai suku Zulu di bawah pimpinan Buthelezi. Namun, dalam upaya sulit ini pada umumnya Mandela berhasil juga. Akhirnya pada 1994 Afrika Selatan dapat mengadakan pemilu multiras pertama yang dimenangkan oleh ANC dan membuat Mandela menjadi presiden pertama Afrika Selatan yang sungguh-sungguh demokratis.
Rekonsiliasi
Nelson Mandela bukan saja menjadi tokoh moral besar dalam memerangi ketidakadilan ter- hadap kaum hitam. Sesudah perjuangannya akhirnya berhasil, ia menjadi lebih besar lagi karena bersedia mengampuni mereka yang melakukan ketidakadilan di masa silam. Jika kita ingat akan penderitaannya yang begitu panjang dan intensif, memang luar biasa bahwa ketika ia sampai mencapai puncak kekuasaan ia tidak membiarkan hatinya diracuni oleh rasa benci atau balas dendam. Ia menjadi besar teristimewa karena ia mampu memaafkan.
Ketika ia dilantik sebagai presiden pada 10 Mei 1994, ia mengimbau semua warga negara Afrika Selatan “menyembuhkan luka-luka masa lampau, menghormati hak fundamental setiap individu, dan membangun tatanan baru yang didasarkan atas keadilan untuk semua”.
Terutama atas jasa Nelson Mandela, kata “rekonsiliasi” menjadi populer di banyak tempat di dunia, termasuk Indonesia. Se- bagai presiden baru, bersama dengan partainya, ANC, yang memiliki mayoritas dalam parlemen, ia menciptakan Truth and Reconciliation Commission, berdasarkan undang-undang yang disebut Promotion of National Unity and Reconciliation Act (1995).
Mandela yakin bahwa rekonsiliasi baru dapat diwujudkan setelah lebih dulu kebenaran diakui. Oleh karena itu, komisi ditugaskan memanggil dan mendengarkan semua pihak yang terlibat dalam proses penciptaan dan pelaksanaan sistem apartheid dulu serta peristiwa- peristiwa kekerasan yang terjadi saat itu. Baru setelah kebenaran diketahui dan diakui, pengampunan dapat diberikan dengan segenap hati. Inilah cara paling baik untuk menyelesaikan masalah masa lalu yang suram itu.
Yang menjadi ketua Truth and Reconciliation Commission adalah Uskup Desmond Tutu. Dialah tokoh besar lain yang memainkan peranan penting dalam memperjuangkan penghapusan diskriminasi kejam untuk mayoritas hitam di Afrika Selatan. Ia juga dianugerahi Hadiah Nobel untuk per- damaian karena kontribusinya sangat besar kepada perjuangan itu (1984) dan kemudian memperoleh beberapa hadiah kemanusiaan.
Yang dikatakan Presiden Mandela tentang Desmond Tutu dalam acara perpisahannya sebagai Uskup Agung Cape Town (1996), sebenarnya berlaku juga tentang dirinya sendiri: “Ia merasa senang dengan keanekaan kita dan memiliki semangat tulus untuk mengampuni. Dua ciri yang memberikan kontribusi tak terhingga kepada bangsa kita, sama dengan gairahnya untuk keadilan dan solidaritasnya dengan kaum miskin”.
Ada alasan lain lagi mengapa Nelson Mandela termasuk tokoh politik terbesar dalam abad ke-20. Ketika ia dipilih sebagai presiden pertama di Afrika Selatan demokratis pada usia hampir 75 tahun, ia langsung menyatakan bahwa masa jabatannya satu periode saja. Ia tidak berambisi sedikit pun untuk mempertahankan kuasanya. Dan setelah masa pemerintahannya selesai, ia tidak campur lagi dalam pemerintahan penggantinya, meskipun otoritas moralnya tetap luar biasa besar.
Sayang sekali, Presiden Mugabe dari negara tetangga Zimbabwe dan beberapa penguasa lain tidak belajar dari sikap luhur ini. Seandainya mereka mau belajar, banyak tragedi tidak perlu terjadi.
Penulis adalah anggota staf Pusat Pengembangan Etika Unika Atma Jaya, Jakarta
Last modified: 12/7/08