JUBI — Puluhan tahun Indonesia merdeka, namun pengadilan masih menerapkan pasal-pasal makar warisan kolonial Belanda. Di Papua pasal-pasal itu digunakan memukul para aktivis prodemokrasi, seakan Papua koloni Indonesia.
Dalam situsnya, Aliansi Demokrasi Papua (AlDP) menyebutkan, pasal-pasal makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) muncul pada abad ke 19, ketika menteri kehakiman Belanda menolak mentah usul penggunaan makar sebagai peraturan terhadap seluruh masyarakat.
Dia menyatakan, “de ondergeteekende zou deze bepalingen, welke op zichzelf te verklaren zijn door de behoefte van een koloniale samenleving, zeker niet voor het rijk in Europa willen overnemen,” (peraturan di bawah ini, dengan sendirinya dinyatakan hanya berlaku bagi kebutuhan masyarakat kolonial, jelas tidak diperuntukkan bagi negara-negara Eropa) (Prof MR. J.M.J. schepper,het gevaar voor de vrijheid van godsdienstige belijdenis te duchten van het in artikel 156 No. 1 SW. omschreven haatzaaidelict”, T. 143, hal. 581-582).
Pasal-pasal makar KUHP diadopsi pemerintah kolonial Belanda dari pasal 124a British Indian Penal Code tahun 1915. Walaupun, dinyatakan sudah tidak berlaku lagi oleh Indian Supreme Court dan East Punjab High Court, karena dinilai bertentangan dengan konstitusi India yang mendukung kebebasan memiliki dan menyatakan pendapat.
Di Belanda sendiri ketentuan dalam pasal-pasal makar KUHP ini dipandang tidak demokratis karena bertentangan dengan gagasan freedom of expression and opinion. Inilah alasan Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberlakukan pasal-pasal tersebut di koloni-koloninya. Sehingga sudah semestinya, setelah puluhan tahun Indonesia merdeka dari Belanda, pasal-pasal tersebut sudah raib dari hadapan warga negara Indonesia, termasuk di Papua. Karena Papua bukanlah koloni Indonesia.
Makar (aanslag) secara yuridis, adalah suatu tindakan penyerangan secara sepihak terhadap penguasa umum dengan maksud supaya sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebahagian wilayah dari negara lain. Makar diatur dalam pasal 104 hingga pasal 129 KUHP.
Dalam pengertian lain, makar juga bisa diklasifikasikan sebagai: kejahatan terhadap presiden dan wakil presiden (negara dan/atau wakil kepala negara sahabat), terhadap pemerintahan yang sah atau badan-badan pemerintah, menjadi mata-mata musuh, perlawanan terhadap pegawai pemerintah, pemberontakan, dan perbuatan lain yang ‘merugikan’ kepentingan negara.
Makar juga kerap kali dimaknai sebagai penyerangan yang ditujukan kepada pemerintah (kepala negara dan wakilnya). Motif utamanya: membuat subjek tidak cakap memerintah, merampas kemerdekaan, menggulingkan pemerintah, mengubah sistem pemerintahan dengan cara yang tidak sah, merusak kedaulatan negara dengan menaklukan atau memisahkan sebagian negara untuk diserahkan kepada pemerintahan lain atau dijadikan negara yang berdiri sendiri.
Sedangkan pasal-pasal “penyebaran kebencian” (Haatzai Artikelen) atau penghasutan dalam KUHP diatur dalam Pasal 154, 155, dan 156. Pasal-pasal ini menetapkan, “pernyataan di muka umum mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah” sebagai sebuah kejahatan dan melarang “pernyataan mengenai perasaan atau pandangan semacam itu melalui media publik.” Pelanggaran atas pasal-pasal tersebut diancam hukuman penjara hingga tujuh tahun.
Di era Presiden Soeharto (mendiang), pasal-pasal ini sering digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat. Lawan-lawan politik, kritikus, mahasiswa, dan pembela hak asasi manusia paling sering menjadi target pembungkaman. Penguasa menarik-ulur pasal-pasal ini (pasal-pasal “karet”) untuk membatasi dan mengekang hak-hak individu atas kebebasan berpendapat. Di era reformasi ini, pasal-pasal ini masih sering digunakan untuk mendakwa aktivis pro demokrasi. Di Papua sendiri, pasal ini getol dijeratkan pada untuk aktivis prodemokrasi, jika mereka gagal dibuktikan terlibat makar.
Tal heran, Human Rights Watch (HRW), dalam laporannya “Protes dan Hukuman Tahanan Politik di Papua” 2007, menyebutkan Indonesia sebagai contoh sebuah negara di mana pengecualian yang berlaku-batasan dan kekangan yang dimaksud oleh komite- sering bertentangan dengan prinsip dasar kebebasan berpendapat.
HRW melihat banyaknya peristiwa penangkapan dan pemenjaraan individu di Indonesia, terutama Papua, atas keterlibatan secara damai dalam upacara pengibaran bendera. Tindakan yang melanggar undang-undang internasional hak asasi manusia.
Pengadilan Indonesia juga kerap menerapkan pasal “penyebar kebencian” atau “penghasutan” kepada aktivis pro-damai yang menggunakan prinsip-prinsip kebebasan berpendapat. Pasal-pasal tersebut juga melanggar semangat konstitusi Indonesia, yang menjamin hak semacam itu di saat kemerdekaan dicapai.
Mengenai kecenderungan Pengadilan Negeri di Papua mengalihkan ketidakterbuktian kasus makar menjadi pidana penghasutan, Harry Maturbongs, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Papua, mengakui ada indikasi dipaksakan sebagai efek jera.
“Pasal makar ini digunakan di zaman kolonial Belanda untuk menekan individu atau kelompok yang memberontak (membangkang). Padahal di era kini, pasal makar ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak masyarakaat sipil untuk mengemukakan aspirasi di muka umum,” tegas Harry. Hak ini bagian dari hak politik masyarakat sipil yang dilindungi Undang-Undang Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di depan umum.
Gustaf Kawer, salah satu pengacara kasus makar Nabire menyebutkan, kecenderungan pihak Pengadilan Negeri dan Jaksa Penuntut Umum di Papua mengalihkan ketidakterbuktian kasus makar menjadi pidana Penghasutan sebagai sebuah bentuk kehati-hatian penegak hukum. Ini untuk mencegah terjadinya gugatan balik dari pihak terdakwa kepada negara, jika tidak terbukti bersalah di pengadilan. Juga antisipasi terhadap tekanan dunia internasional aktif memantau setiap kegiatan di Papua yang berkaitan dengan demokratisasi.
Dalam kasus-kasus penghianatan atau penyebaran kebencian, pengadilan-pengadilan di Papua menjatuhkan putusan yang sangat memberatkan. Pada hampir setiap kasus, hukuman vonis yang dijatuhkan lebih berat daripada tuntutan jaksa. Meskipun “pelanggaran” terdakwa merupakan tindakan yang sah. Yakni, pengungkapan pandangan politik secara damai sebagaimana dijamin Undang-Undang No. 9 Tahun 1998.
Seringkali, aktivis pro-damai di Papua dijerat dengan pasal berlapis daripada pasal tertentu KUHP sesuai pelanggaran spesifik. Kasus Buchtar, misalnya. Ia dijerat dengan lima pasal, yakni Pasal 106 KUHP JO Pasal 110 (makar) KUHP, Pasal 160 KUHP, Pasal 212 KUHP serta Pasal 216 KUHP terkait kasus makar, penghasutan dan melawan perintah jabatan.
Atau surat dakwaan terhadap Filep Karma dan Yusak Pakage yang menyebutkan dakwaan utama: “konspirasi untuk melakukan pemberontakan dengan maksud menyebabkan perpecahan Republik Indonesia dan menyebabkan keresahan sosial” (Pasal 110 (1) berkaitan dengan Pasal 106 KUUHP).
Dakwaan kedua: “… melakukan atau memberikan perintah atau ikut serta dalam tindakan pemberontakan dengan maksud menyebabkan perpecahan atau pemisahan Republik Indonesia,”[Pasal 106 dan Pasal 55 (1)].
Dan terakhir: “secara terbuka menyatakan permusuhan, perasaan kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Republik Indonesia,” [Pasal 154 berkaitan dengan Pasal 55 (1)].
Jaksa menuntut lima tahun penjara untuk masing-masing terdakwa. Namun Keduanya, akhirnya harus menerima 15 tahun dan 10 tahun penjara. Juga denda Rp 5000 (sekitar US$0.50) untuk biaya pengadilan. Karma juga dicopot dari statusnya sebagai pegawai negeri.
Dalam laporan HRW 2007 disebutkan, untuk membenarkan hukuman berat yang dijatuhkan kepada Karma, yang tiga kali lebih lama daripada lima tahun penjara yang awalnya diajukan penuntut. Hakim menyebutkan adanya banyak faktor yang memberatkan terdakwa daripada faktor yang meringankan.
Karma memang sudah pernah diputuskan bersalah atas kasus serupa di Biak pada 1988 dan dipenjarakan enam tahun. Para hakim menganggap Karma memiliki “Sikap permusuhan” terhadap Pemerintah Indonesia. Tindakan-tindakannya untuk memecah-belah dan menghancurkan integritas wilayah negara dan menyebabkan keresahan sosial (menyebarkan “kebencian” atau “penghasutan”).
Dalam laporannya, berdasarkan kunjungan ke Indonesia pada Juli 2002, Pelapor Khusus (Special Rapporteur) PBB mengenai kemandirian para hakim dan pengacara, Dato’ Param Cumaraswamy menyimpulkan, rakyat Papua “tidak percayaan terhadap sistem administrasi yudisial” di Indonesia. (JUBI/Victor/Marcel/Evert)