Demikianlah tanggapan yang diberikan Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi menanggapi perkembangan terakhir di tanah air, terkait terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Kolonial NKRI berikutnya menggantikan Presiden SBY dan gelagat kaum penghianat bangsa Papua yang beberapa bulan belakangan ini mengemis jabatan ke Presiden Kolonial terpilih.
Percakapan ini ialah inisiatif dari Markas Pusat TRWP, mengirimkan sms, disusul telepon. Isi berita dalam telepon itu tidak banyak, hanya berisi komentar tentang perkembangan terakhir ini, dalam hubungan NKRI – West Papua dan presiden terpilih kolonial Indonesia. Pernyataan pertama dalam telepon itu,
“Anak-anak dan semua orang Papua apakah mata masih belum kabur atau sudah kabur? Kini semakin nyata para penghianat NKRI yang selama ini diburu oleh NKRI. Mereka itu saat ini duduk bikin rapat siang-malam, sana-sini dengan Presiden kolonial terpilih, minta jabatan, serahkan buku karangan, titip pesan, dan sebagainya.”
Kami tanggapi telepon dengan menyatakan bahwa memang betul kami sedang ikuti apa yang sedang terjadi. Kami menyebutkan nama-nama oknum orang Papua yang menamakan bangsa Papua dimaksud, tetapi Gen. Tabi tidak serius dengan nama-nama oknum, tetapi lebh menekankan betapa bangsa Papua begitu bermental budak, bermental terjajah, dan sangat picik. Dia teruskan,
“Saya bilang orang Papua punya otak sekarang ini picik, bermental budak dan jiwanya terjajah karena saya punya bukti. Bukti otak picik, ialah begitu orang Indonesia terpilih jadi presiden, orang Papua yang sudah lama menjabat sebagai menteri dalam beberapa periode, masih saja bawa diri minta jabatan. Begitu dihentikan katanya Indonesia gagal meng-Indonesia-kan Papua. Lalu orang yang sama pula pergi minta jabatan. Padahal orang yang sama sudah berulang-uang diberi kepercayaan NKRI menjadi menteri. Sekarang pertanyaannya saya tanya kepada mereka: NKRI dan orang Papua pengemis ini ialah: Anda sudah diberi jabatan oleh NKRI dan atas kepercayaan itu berapa orang Papua yang telah berhasil Anda Indonesia-kan? Mengapa kegagalan kau lemparkan kepada NKRI, sementara jabatan kau minta setiap periode, dan pada saat yang sama kau abaikan penderitaan orang Papua?”
Kemudian menyangkut mental budak, Gen. Tabi tujukan kepada Gubernur Provinsi Papua dan rekan-rekan sejawatnya di jajaran provinsi Papua dan Papua Barat.
Sekarang saya bilang tadi orang Papua bermental budak ialah orang-orang yang takut bicara ‘kebenaran”, ‘suka membelokkan isu’ dan ‘bicara satu hal untuk maksud yang lain’. Sebenarnya manusia Papua bermental budak ini lebih kasihan daripada manusia Papua bermental picik tadi. Yang bermental picik itu orang Papua jahat, mereka tidak memikirkan NKRI dan juga tidak memikirkan bangsa Papua. Yang mereka pikirkan ialah perut mereka, diri mereka, kaum oportunis tulen. Lebih kasihan karena mereka punya hati dan sementara berusaha untuk bangsa mereka, tetapi mereka punya rasa takut, karena di satu sisi mereka juga tidak mau menanggung resiko-reskio dalam skala individual ataupun kelompok. Mereka mau mencari jalan win-win, tetapi karena mereka berhadapan dengan penjajah, maka yang didapat bukanlah kemenangan bersama antara penjajah dan kaum terjajah.
Selain ada rasa “takut” dengan berbagai resiko, manusia mental budak juga secara polos dan dengan ‘ignorance’-nya mengharapkan penguasa kolonial berbuat lebih daripada yang mau diperbuat oleh kaum kolonial. Kita lihat contoh jelas-jelas dalam Draft UU Otsus Plus yang diajukan Gubernur di Tanah Papua sangat muluk-muluk, sangat banyak memuat unsur politik, ekonomi, sosial dan budaya. Nyatanya apa? Dipangkas habis. Yang ada malahan Otsus Minus.
Nah, Otsus Minus ini sudha jelas-jelas mau disahkan, gubernur di Tanah Papua masih lagi berangkat berombongan ke Jakarta menuntut ini dan itu, menuntut pengesahan UU Otsus Minus ini agar segera disahkan.
Di sini jelas, mereka yang bermenta budak selalu mengharapkan, dan bahkan berdoa kepada Tuhan, supaya Tuhan berbaik hati, membaikkan hati kaum penjajah sehingga kaum penjajah berbuat baik kepada bangsa dan tanah jajahannya. Terlalu “ignorant”, karena mereka tidak tahu kenapa pernah ada penjajahan, dan kenapa kaum penjajah ada di Tanah Papua saat ini. Apakah tujuannya memajukan orang Papua, membangun tanah Papua? Orang bermental budak akan menjawab “YA!”. Tentu saja, saya akan jawab “SAMA SEKALI TIDAK!”
Kemudian menyangkut mental terjajah, Gen. Tabi lanjutkan
Menyangkut mental terjajah, hampir sama dengan mental budak tadi, tetapi tidak separah kaum bermental budak. Mental kaum terjajah ini disebut Dr. Benny Giay sebagai manusia Papua yang memenuhi syarat untuk dijajah. Ya, bangsa Papua menjadi memenuhi syarat untuk dijajah karena mentalitas orang Papua “tidak merdeka” tetapi terjajah. Ia terjajah bukan karena NKRI menjajah, tetapi karena dirinya sendiri, jiwanya sendiri, mentalitasnya sendiri memang terjajah. NKRI hanya hadir mewujud-nyatakan apa yang ada di dalam diri orang Papua itu sendiri.
Tanda-tanda orang bermental terjajah itu, pertama ialah “Takut” dan “gugup” dan akibatnya “Tidak tahu apa yang harus dilakukannya!” Kata-kata seperti, “Kami berjuang dalam hati! Kami doakan saja!” banyak didengar di tengah-tengah orang Papua. Mereka mendukugn Papua Merdeka, mereka mendukung perjuangan ini, tetapi mereka tidak pernah buktikan dukungan itu lewat doa, lewat kata-kata, lewat dana, lewat tenaga mereka atau waktu mereka. Apalagi nyawa mereka tidak mau mereka berikan untuk perjuangan ini. Mereka pentingkan diri mereka, dan takut dan gugup dan tidak tahu.
Sekarang setiap kita orang Papua perlu bertanya,
- Apakah saya orang Papua berpikiran picik?
- Apakah saya orang Papua bermental budak? atau
- Apakah saya orang Papua yang memenuhi syarat untuk dijajah?
pilihan ada di tangan Anda, bukan di tangan siapa-siapa atau apa-apa-pun.