- Heyder Affan – Peranan,Wartawan BBC News Indonesia –
Pemerintah Indonesia dituduh melakukan kekerasan dan perusakan lingkungan di Papua yang merugikan Orang Asli Papua demi kepentingan investasi asing dan nasional, demikian dakwaan dalam Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) yang tengah berlangsung di London, Inggris.
Namun pemerintah Indonesia melalui Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan itu bukanlah dakwaan hukum, melainkan opini yang belum tentu menggambarkan apa yang terjadi sebenarnya di Papua.
Secara terpisah, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London mengatakan acara itu digelar mendekati hari ‘peringatan West Papua’ pada 1 Juli 2024, sehingga KBRI di London menuduh PPT dilakukan untuk “membangun persepsi publik”.
Sebaliknya, seorang pegiat HAM mengatakan acara PPT di London yang menyoroti masalah pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan di Papua membuktikan bahwa masih ada “ketidakadilan bagi orang asli Papua”.
Dan, Amnesty International Indonesia meminta pemerintah Indonesia agar melihat dakwaan PPT itu sebagai kritik agar dapat mengubah kebijakan keamanannya terkait Papua.
PPT digelar oleh Pusat Kajian Kejahatan Iklim dan Keadilan Iklim di Queen Mary University of London. Acara ini digelar sejak Kamis (27/06) dan berakhir Sabtu (29/06) malam Waktu Indonesia Barat.
Delapan orang hakim tribunal memimpin persidangan ini. Mereka mendengarkan kesaksian sejumlah korban hingga pegiat LSM terkait dua dakwaan itu.
Dakwaan dalam PPT diakui oleh penyelenggaranya tidak memiliki konsekuensi hukum apapun. Namun acara ini semata bertujuan menyuarakan persoalan di Papua di dunia internasional.
Berikut beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentang Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) dan reaksi pemerintah Indonesia atas acara itu.
Apa itu Permanent Peoples’ Tribunal (PPT)?
Seperti diakui sendiri oleh penyelenggaranya, PPT adalah satu ‘pengadilan opini’ internasional.
Di dalamnya, ada panel-panel hakim. Merekalah yang akan memutuskan seperti apa kejahatan serius yang terjadi di suatu negara, dan sejauh mana itu merugikan masyarakat dan kelompok minoritas.
Ini didasarkan berbagai keterangan saksi dan bukti-bukti.
Dalam situs resminya, keberadaan PPT tidak terlepas dari pembentukan Russell Tribunal on Vietnam (1966-1967) dan Russell Tribunal on the dictatorship in Latin America (1973-1976).
Lembaga ini dibentuk sebagai lembaga permanen dengan tujuan mengungkap kejahatan serius, “yang belum ditanggapi secara memadai oleh komunitas internasional,” kata David Whyte, Direktur Pusat Kajian Kejahatan dan Kajian Iklim di Queen Mary University of London, Inggris.
Menurut Papang Hidayat, aktivis HAM asal Indonesia, inisiatif acara ini dari masyarakat sipil di tingkat internasional yang dipimpin oleh sebuah perguruan tinggi.
“Mereka sudah mengembangkan model-model pengadilan rakyat atau pengadilan non-formal, walau metodeloginya persis dengan pengadilan formal,” kata Papang yang pernah aktif di LSM Kontras dan Amnesty International Indonesia.
Panel hakimnya bisa hakim aktif, atau mantan hakim, atau praktisi hukum, katanya.
Berita lengkap baca di BBC.com