KONFRONTASI– Isu Papua kian mengalami internasionalisasi. Kelompok separatis Papua makin mengglobal. Perjuangan jalur politik dan diplomasi luar negeri gerakan separatis Papua Barat tampaknya tinggal menunggu waktu bakal tercapai. Kemauan politik Jakarta membendungnya kalah cepat dari maneuver Melanesian Spearhead Group (MSG), yang terdiri dari Vanuatu, Papua Nugini, Salomon Island, Fiji dan FLNK (Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste). Pada 5 Juni mendatang, mereka menggelar KTT di Salomon Island.Setelah sekian lama organisasi Papua Merdeka berjuang, Konferensi Tingkat Tinggi Melanesian Spearhead Group (KTT MSG) yang digelar di Salomon Island pada 5 Juni 2015 berpotensi menjadi tonggak Papua Barat menjadi Timor Leste kedua.
Forum tersebut tidak bisa dianggap remeh. Sebab, secara kelembagaan, MSG dilindungi oleh PBB berdasarkan “Agreed Principles of Cooperation Among Independent States of Melanesia”. Perjanjian yang ditandatangani di Port Vila pada 14 Maret 1988 itu memasukan MSG sebagai badan resmi PBB di bawah Pacific Islands Forum (PIF).
Kewaspadaan pemerintah RI makin tertuntut tinggi karena wacana Papua Merdeka menjadi topik utama dalam KTT MSG. Fokus agendanya ngeri-ngeri sedap bagi NKRI, yaitu membahas status Republik Federasi Papua Barat sebagai anggota penuh MSG. Lho, memangnya sudah ada negara federasi Papua Barat?
Tanggal 5 Februari kemarin, MSG telah menerima pendaftaran ulang kelompok perlawanan Papua menjadi Republik Federal Papua Barat dalam wadah United Liberatian Movement for West Papua (ULMWP) di Port Vila, Vanuatu. Wadah inilah yang bakal dilebur menjadi Republik Feredasi Papua Barat.
Pendaftaran ULMWP dimotori oleh Benny Wenda, tokoh separatis Papua di Inggris, dan merupakan gabungan dari tiga organisasi perjuangan orang Papua. Yaitu Republik Federal Papua Barat, Parlemen Nasional Papua Barat dan Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan. Sebelumnya, pada 2013, MSG pernah menolak ULMWP menjadi bagian dari MSG justeru karena tidak adanya unifikasi kelompok-kelompok perlawanan di Papua Barat.
Bukan tak mungkin bila dalam KTT MSG mendatang melahirkan resolusi berdirinya Republik Federal Papua Barat. Kalau resolusi tercapai, tinggal dibawa ke Sidang Umum PBB melalui pembahasan tingkat kawasan Pacific Islands Forum. Kalau PBB menyetujuinya, itu berarti Papua Barat akan menjadi Timor Leste kedua dalam sejarah Indonesia. Terlebih lagi, sampai sejauh MSG masih solid mendukung Papua Barat melepaskan diri dari NKRI.
Soliditas tersebut tampak sekali ketika Proposal Papua, yang akan dibahas dalam KTT MSG sejatinya digelar pada 23-24 Maret lalu, tapi dijadual ulang pada Juni mendatang hanya karena menunggu situasi normal Vanuatu. Negara anggota MSG sekaligus sebagai Kantor Sekretariat MSG dan negara-negara Pasifik Selatan itu sedang dilanda bencana alam angin topan.
Vanuatu selama ini sangat loyal mendukung berdirinya Republik Federasi Papua Barat. Yang mutakhir, PM Vanuatu, Joe Natuman, menyatakan sama sekali tak keberatan menawarkan diri menjadi tuan rumah simposium para aktivis OPM yang digelar pada akhir tahun kemarin.
Yang patut disesalkan, langkah RI mengantisipasi ancaman disintegritas NKRI dalam kasus Papua Barat ini tergolong lambat dan lembek. Langkah pemerintahan Presiden Jokowi belakangan masih terbilang reaktif berjangka pendek dan tidak menuntaskan akar persoalan, yaitu memadamkan bara separatisme.
Pemikiran bahwa memberi bantuan bagi korban bencana angin topan kepada Vanuatu sebesar 1 juta US$ pada pertengahan Maret lalu akan membuat negara kecil akan lebih bersahabat pada Indonesia sebaiknya disisihkan. Bantuan itu tidak akan menyurutkan dukungan Vanuatu pada upaya mendirikan Republik Feredasi Papua Barat. Begitu juga dengan penyaluran dana otonomi khusus (otsus), yang malah sering diselewengkan oleh biokrasi Jakarta dan Pemda setempat.
Pendekatan berupa dialog damai Jakarta-Papua yang digagas belakangan, juga tak banyak memadamkan bara api separatisme secara kongkrit. Masuknya Indonesia sebagai Observer Country dalam MSG pun masih terbilang tanggung, karena hanya sebatas peninjau semata. Kalaupun Indonesia diterima menjadi anggota penuh MSG, itu juga tak banyak membantu. Sebab dalam voting, pasti suara Indonesia kalah karena dikeroyok oleh mayoritas anggota MSG.
Besarnya potensi Papua memisahkan diri dari NKRI, jelas membutuhkan terobosan. Di tingkat domestik, terobosan itu berupa jalan pintas untuk mensejahterakan rakyat Papua. Hal lain adalah langkah kongkrit untuk memberantas korupsi, penataan sektor-sektor ekonomi Papua secara berkeadilan dan kontinyu serta menaikan indeks pendidikan masyarakatnya.
Di lain pihak, menempuh jalan kompromi dengan tokoh-tokoh OPM merupakan pendekatan persuasi yang tak kalah pentingnya, bukan dengan jalan represif menetapkan para pentolan itu sebagai DPO sebagaimana yang pernah dialami oleh Benny Wenda. Menurut sumber IndonesianReview, jumlah personil fanatis gerakan separatisme Papua yang ngotot merdeka tidak sebanyak yang dibayangkan. Jumlahnya hanya sekitar 70-an orang, dan selebihnya hanya personil pelaksana tugas yang bekerja karena iming-iming bayaran.
Dalam persuasi terhadap pentolan tersebut, jalan kompromi sebagaimana langkah Jusuf Kalla dalam perdamaian Aceh patut dimutasikan ke Papua dan disesuaikan dengan konteks mutakhir tanah Cenderawasih tersebut. Itu tentu saja kalau ada good will dari pemerintah RI.
Di tingkat diplomasi luar negeri, pendekatan perlu dilakukan melalui jalur politik dan ekonomi. Hubungan hangat yang telah terjalin antara Presiden Jokowi dan PM. Papua Nugini, Peter O’Nieill, menjadi modal sosial yang perlu diperluas kepada para kepala pemerintahan negara anggota MSG lainnya.
Hubungan hangat yang dimaksud bukanlah sekedar acara-acara seremoni kenegaraan sebagaimana pengalaman Peter O’Neil yang menjadi tamu kenegaraan pertama usai pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI ke-7 pada Oktober tahun lalu. Kalau hanya hal semacam ini yang ditonjolkan, diplomasi bakal percuma karena tidak ada hubungan yang mengikat dan mendalam di kedua belah pihak.
Lihat saja dalam pertemuan itu, di depan Jokowi, PM Papua Nugini tersebut bersikap manis dengan menyatakan pihaknya menghormati kedaulatan Indonesia. Namun, sekitar empat bulan setelah itu, tak urung Indonesia mempertanyakan sikap aneh Peter O’Neill yang bersedia menjadi pemimpin diskusi Republik Feredal Papua Barat di tingkat regional Pasifik Selatan. Peter O’Neill juga menuduh pemerintah Indonesia sering menekan penduduk Papua, walaupun tuduhan itu telah dibantah langsung oleh Rimbink Pato, Menteri Luar Negeri-nya sendiri.
Hubungan hangat RI dengan negara-negara MSG mestinya diikat dengan kerjasama ekonomi lebih kongkrit. Dalam kerjasama bilateral tersebut, Indonesia tak perlu sok jagoan dengan mengelurkan APBN untuk membantu permasalahan ekonomi negara setempat, karena wajah perekonomian Indonesia juga masih babak-belur. Jika ada itikad baik dari Presiden Jokowi, pemerintah RI bisa saja mengarahkan kelompok konglomerasinya untuk menyambung pasar berbagai komoditas dan jasa antara RI dengan negara-negara MSG hingga nampak ada kemanfaatan ekonomi dari hubungan bilateral yang terjalin.
Yang tak kalah pentingnya, pemerintah RI menghimpun berbagai fakta sosial, politik, ekonomi dan Hankam Papua dalam sebuah Dokumen NKRI. Dokumen inilah yang meyakinkan negara-negara MSG dan negara sahabat Indonesia bahwa permasalahan Papua adalah urusan rumah tangga Indonesia, bukan persoalan internasional.
Pelaksanaan pendekatan domestik dan diplomasi luar negeri yang bersifat radikal tersebut adalah cermin kedaulatan RI dalam menegakan hukum domestiknya di atas hukum internasional. Peluang untuk menegakan hukum domestik RI terhadap permasalahan Papua ini memang masih ada sisa waktu walau terbilang terlambat. Ini setidaknya tecermin dari aturan main MSG dimana syarat Republik Federasi Papua Barat menjadi anggota penuh MSG mesti melalui persetujuan RI.
Bila dua pendekatan tersebut tidak ditegakan dan Presiden Jokowi salah langkah, nasib Papua menjadi Timor Leste kedua tinggal menunggu waktu. *** (Kf/indonesianreview.com)