Mikhael Dua
Pada pertengahan abad kesembilanbelas Karl Marx memiliki pemikiran yang jujur. Dalam analisis ekonominya tentang sepak terjang para pemilik modal yang menjadi sumber kesengsaraan kaum buruh di Inggris, ia sampai pada kesimpulan bahwa ekonomi adalah tuan atas sejarah. Artinya, seluruh bangunan politik, kebudayaan, dan agama ditentukan oleh logika sang pemilik modal.
Pemikiran Marx ini dikutuk-kutuk dan diinjak-injak sebagai pemikiran yang naïf dan terlalu materialistis tentang manusia. Namun, apa yang dikatakan Marx ini pasti benar jika kita memperhatikan jalannya persidangan beberapa anggota DPR dalam kasus alih fungsi hutan bakau di Sumatera Selatan dan alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Politik tunduk pada logika bisnis.
Para pengusaha di latar belakang menjadi tak tersentuh sedang politisi kerdil menjadi pion-pion tak berkepribadian. Tanpa disadari ia dan lembaganya menjadi alat bisnis dengan membuat hutan sebagai tanah tumpah darah menjadi komoditas.
Logika yang sama masih dipakai dalam konferensi-konferensi internasional tentang hutan. Ketika konferensi Bali tahun lalu berbicara tentang global warming, perhatian kita pun belum seluruhnya berkorespondensi dengan fakta dan harapan para pemerhati masalah hutan.
Argumentasi tentang reservasi hutan masih terlalu dekat dengan logika utilitarian para pelaku bisnis internasional, yaitu: manfaat sebesar-besarnya bagi banyak orang dan dunia. Lalu, apa artinya keberhutanan itu sendiri yang memiliki ciri-ciri ganas, bebas, dan luas tak terjangkau?
Ambiguitas Moralitas
Adalah Nietzsche yang mengatakan bahwa hubungan kita dengan alam, dewasa ini, secara mendasar bersifat ambigu. Di satu sisi kita mengenal dan mengakui nilai moral dari alam, sementara di sisi lain kita menyadari betul bahwa gambaran dan konsep kita tentang alam bergantung pada interpretasi, cita rasa, dan moralitas yang dapat berubah-ubah.
Para pendukung romantisme merindukan persatuan dengan alam. Pemikir kritis yang tercerahkan ilmu pengetahuan tinggi ingin menguasai alam dan para petani di desa-desa menghendaki hidup yang harmonis dengan alam. Tetapi, tidak satu pun visi tentang alam ini sungguh-sungguh memberikan kepada kita pendasaran moral yang kuat.
Ambiguitas ini memiliki akar pada krisis moral yang kita alami. Krisis itu tidak hanya karena kita tidak lagi memiliki kriteria-kriteria yang mengarahkan orientasi moral kita, tetapi terlebih karena kriteria-kriteria moral yang kita pegang selama ini memiliki akar yang berbeda dengan alam sekeliling kita. Alam yang kita pahami adalah alamnya para ilmuwan yang hanya tahu tentang hukum-hukum sebab akibatnya. Sementara itu seluruh kriteria moralitas kita didasarkan pada pemahaman kita tentang kebebasan dan akal budi.
Hanya karena ingin mencapai perkembangan kemanusiaan yang pesat kita berani membangun moralitas tanpa dasar alam kodrati. Alam dan hukum-hukumnya tak pernah menjadi bahan pertimbangan dalam etika, karena moralitas berangkat dari asumsi-asumsi tentang kebebasan manusia. Ilmu pun hanya membatasi diri pada pembicaraan tentang hukum-hukum alam. Tak mungkin ada hubungan yang erat antara ilmu dan moralitas. Moralitas dinilai menjadi urusan perasaan, yang tak pantas digeluti para politisi cerdik dan ilmuwan cerdas yang memahami kausalitas alam semesta.
Tetapi, perkembangan kemanusiaan yang dicita-citakan tersebut tak pernah tercapai. Kita selalu terjebak dalam interpretasi moral dan ilmiah yang kita bangun, yang makin lama makin jauh dari kodrat alamiah kemanusiaan. Oleh karena itu, Nietzsche mengusulkan agar kita membangun diri dan gambaran diri kita dalam keterhubungannya dengan pemahaman kita tentang alam.
Dengan akal budinya, manusia tidak akan membawa dirinya ke luar dari kehidupan sebagai manusia. Sebaliknya, ia akan tetap manusia, bahkan ketika ia menanamkan kaki di alam. Manusia harus di-“alam”-kan. Ia harus hidup menurut kodratnya sebagai bagian dari alam. Jika pemikiran modern, melalui ilmu pengetahuan yang arogan pada alam, berusaha menarik manusia keluar dari alam, maka Nietzsche mengusulkan agar manusia dinaturalisasikan. Alam itu ganas, kaya, kreatif, penuh vitalitas, bebas, dan niscaya. Hidup dalam alam berarti kita menimba kekayaan alam tersebut.
Pengalaman Keberhutanan
Etika lingkungan dewasa ini turut memberikan sumbangan besar bagi kebijakan umum berkaitan dengan hutan. Penetapan hukum atas hutan produktif dan hutan lindung di Indonesia menjadi salah satu cara untuk melindungi hutan dari garapan masyarakat dan pengusaha terhadap hu- tan-hutan di Indonesia. Motif di balik usaha melindungi dan merekonstruksi hutan tersebut bersifat ekologis dan biologis (perlindungan keragaman diversitas hayati).
Namun, kegiatan restorasi hutan tersebut barangkali tidak memadai jika kita tidak berbicara tentang pengalaman keberhutanan. Di balik kritik tentang moralitas yang mengasingkan manusia terhadap alam, Nietzsche sebenarnya mengajak kita memasuki pengalaman keberhutanan. Hutan itu ganas tak terpahami. Ia memiliki sifat kacau. Kacau karena tidak dapat didekati secara memadai dengan interpretasi kita. Pengalaman keberhutanan tak pernah pasti, karena ia memiliki makna jauh melampaui perangkat metodologi ilmu kita sendiri.
Pengalaman ini memiliki implikasi yang luas bagi etika lingkungan. Para pencinta lingkungan hidup sudah lama mengajarkan kepada kita untuk mencintai alam. Pengalaman mereka di atas gunung, di tengah laut, dan di padang pasir menunjuk-kan bahwa alam memiliki sifat netral.
Alam dapat menimbulkan perasaan kagum sekaligus menyenangkan. Namun, mereka juga tahu bahwa pengalaman tentang netralitas alam hanyalah sejenak. Pengalaman keberhutanan menimbulkan ketidakberdayaan. Sebuah perasaan kriminalitas melawan martabat manusia. Alam benar-benar indifferent. Ia benar-benar berada di luar kategori kita tentang baik dan buruk.
Pengalaman keberhutanan adalah pengalaman kita sendiri tentang alam kehutanan kita. Kita membutuhkan pengalaman tersebut terulang kembali setiap saat. Seorang ekolog Belanda, Wouter Helmer, mengusulkan agar hutan kita menjadi sebuah insane oasis, sebuah “alam baru”, sebuah tempat kebebasan.
Karena itu jika masyarakat kita dewasa ini mengutuk tindakan kalangan politisi di DPR yang berusaha memperdagangkan hutan, bagi saya kutukan itu masuk akal, bukan karena saya iri dengan uang yang mereka dapat, tetapi karena mereka telah menghancurkan pengalaman kolektif kita tentang hutan sebagai a border concept: sebagai alam yang berada di luar batas kategori pengetahuan dan moralitas kita sendiri.
Penulis adalah Kepala Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, Jakarta
Last modified: 2/8/08