IndonesianReview.com — Siapa tak kenal Bali? Selain terkenal dengan keindahan alamnya, pulau yang terletak di sebelah timur Jawa ini juga terkenal dengan kesenian dan budayanya yang unik. Tak mengherankan bila Bali jadi pusat destinasi wisata terbaik dunia.
Bali adalah juga primadona pariwisata Indonesia yang sudah terkenal di seluruh dunia. Ia bahkan menjadi daerah yang wajib dikunjungi setiap wisatawan. Namun siapa sangka di balik semua keindahan Pulau Dewata itu tersimpan banyak polemik bak bara dalam sekam? Bahkan jika kondisi tersebut tak segera ditangani secara serius, tak mustahil wacana Bali Merdeka menjadi nyata!
Bukan rahasia lagi, jika di Bali banyak sekali terlihat perbedaan sisi pola dan sistem pemerintahan yang terkesan menjurus pada pembangkangan terhadap aturan dan perundang-undangan Negara. Bahkan ada plesetan yang secara vulgar menyebutkan bahwa UU Negara seperti dikalahkan oleh UU Adat di Bali.
Anda pun bisa melihat kondisi itu di saat mulai memasuki pulau Bali. Ketika menyeberang masuk dan melangkahkan kaki di pelabuhan Gilimanuk yang jadi pintu gerbang masuk dari pulau Jawa ke daratan Bali, setiap penyeberang akan terkena razia. Semua pendatang wajib memperlihatkan kartu identitas resmi (KTP) yang masih berlaku.
Selain itu, setiap pendatang yang akan berkegiatan dan menetap di Bali, harus memiliki semacam kartu khusus yang diberi label KIPEM (Kartu Ijin Penduduk Musiman). Peraturan ini mengesankan Bali sepertinya ingin eksklusif dan tak mau berbaur dan memiliki identitas bersama dengan orang luar. Mereka seperti tak peduli negara ini telah memiliki identitas resmi yang semestinya berlaku di mana pun di seantero negeri ini.
Selain itu, masyarakat Bali juga memiliki pemerintahan ganda di setiap desa. Sering dalam satu desa memiliki perangkat yang berbeda dan pemimpin yang juga berbeda. Ada namanya desa Adat dan juga desa Dinas, namun masih dalam satu lokasi di desa yang sama. Pola pemerintahan desa ini sempat menimbulkan pro-kontra.
Bahkan ketika pemerintah mulai menetapkan UU Nomor 6/2014 tentang Desa, muncul beragam pertentangan dari sejumlah tokoh dan organisasi massa di Bali. Menurut sebagian masyarakat di sana, UU Desa tersebut tidak berpihak terhadap aspirasi dan kekhususan Bali.
Pulau Dewata memang memiliki kekuatan adat dan religi sebagai penopang utama dalam sisi berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Bahkan Pemerintah Provinsi Bali sendiri telah memiliki peraturan daerah (perda) terkait pengelolaan desa, yaitu Perda Nomor 31/2001 tentang Desa Pakraman. Namun belakangan, perda ini juga sempat menuai pro-kontra, karena dianggap hanya sebuah perubahan nama belaka dari desa Adat menjadi desa Pakraman.
Menurut Mark Hobart, status desa Adat dan desa Dinas bukanlah sebuah pilihan bagi pemerintahan di Bali. Mengapa? Di Bali, masih menurut antropolog Inggris yang pernah melakukan penelitian terkait pola pemerintahan ini sejak 1975 itu, selama ini kedua perangkat dan sistem tersebut telah berjalan dengan baik dan sinergis, serta memiliki peran dan fungsi yang juga berbeda. Desa Adat mengelola fungsi adat, serta desa Dinas akan mengatur dan menjalan pemerintahan desa secara kedinasan.
Pendapat itu juga dikutip oleh I Gde Parimartha, guru besar Ilmu Sejarah pada Universitas Udayana, dalam orasi ilmiahnya yang bertajuk “Memahami Desa Adat, Desa Pakraman, dan Desa Dinas” pada pengukuhannya sebagai guru besar bidang sejarah pada tahun 2003.
Namun, tatkala pemerintah pusat mulai menerapkan peraturan dan undang-undang yang dianggap tidak mewakili aspirasi Bali, maka muncul semacam perlawanan baik secara tertutup maupun terbuka. “Bahkan kini muncul desas-desus adanya pihak-pihak tertentu yang mencoba memanfaatkan kondisi tersebut untuk tujuan disintegrasi alias pergerakan menuju Bali Merdeka,” kata Parimartha.
Kondisi ini tentu bukan masalah sepele. Banyak kalangan menilai, jika pertentangan dan kebuntuan aspirasi antara Bali dan Jakarta tidak diselesaikan secara serius, maka bukan mustahil akan banyak pihak yang memelintir persoalan ini menjadi melebar dan menjurus pada perpecahan.
Nasionalisme masyarakat Bali sebenarnya sangat kuat. Masyarakat Bali terkenal sudah membela bangsa ini dengan melahirkan banyak pejuang dan pahlawan. Namun tatkala harga diri serta kehormatan mereka terancam, maka bukan mustahil mereka akan melakukan perlawanan. Situasi ini tentu harus disikapi dengan baik dari para pemimpin dan pengambil kebijakan di negeri ini. Jangan sampai “bara dalam sekam” ini membakar keutuhan NKRI.
Waspadai Perpecahan
Belum lama ini, pulau Bali yang terkenal tenang dan nyaman, mendadak terusik dengan beragam aksi yang menjurus rasis dan bersifat over-primordialis. Sejumlah demonstrasi dengan spanduk berbunyi menentang berdirinya bank syariah mulai disuarakan oleh komunitas tertentu. Sempat juga beredar larangan memakai jilbab oleh pegawai maupun siswi di sekolah yang meramaikan pemberitaan di sejumlah media massa.
Pergerakan yang cenderung provokatif ini sempat membuat repot aparat keamanan dan institusi pemerintahan di Bali. Masyarakat Bali yang lebih separuhnya menggantungkan ekonominya dari industri pariwisata itu mulai dihinggapi rasa was-was dengan aksi itu. Dikhawatirkan aksi itu akan melahirkan rasa tak nyaman di kalangan para wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.
Ironisnya, aksi itu terkesan didukung oleh sejumlah tokoh, politisi, dan juga pegiat akademisi dari universitas tertentu di Bali. Sempat muncul pertanyaan, kenapa persoalan rasis ini mulai menyeruak naik ke permukaan? Padahal selama ini masyarakat Bali dikenal sangat cinta damai, harmonis, serta memiliki solidaritas yang sangat tinggi.
Beberapa pihak menduga, mencuatnya polemik berbasis rasis dan over-primordialis ini memiliki motif politik selain motif ekonomi. Bukan rahasia umum lagi bahwa sejumlah lokasi wisata strategis di Bali mulai dikuasai pendatang, sehingga orang asli Bali terpinggirkan. Kondisi ini dianggap menjadi pemicu munculnya antipati dari pelaku bisnis di sana.
Selain itu, motif politik juga dianggap memiliki peran terhadap sejumlah aksi tersebut. Banyak kalangan menilai para politisi mencoba memanfaatkan primordialisme masyarakat Bali sebagai “jualan” mereka untuk mendapatkan legitimasi suara dari mayoritas masyarakat Bali.
Terlepas dari kepentingan tersebut, semua pihak diharapkan dapat melihat persoalan yang muncul di Bali saat ini secara serius dan lebih konfrehensif. Jangan sampai keindahan Bali porak-poranda oleh perpecahan yang kini seakan dibiarkan tumbuh subur.
Pemerintah pusat juga diminta untuk lebih arif menyikapi aspirasi masyarakat Bali. Membuat keputusan dan kebijakan yang lebih berpihak bagi kepentingan Bali secara khusus adalah salah satu kearifan yang dinanti. Dengan begitu masyarakat Bali bisa mengikatkan diri dengan kokoh dalam bingkai NKRI.
Selain itu, para pelaku kepentingan yang mencoba melakukan upaya perpecahan di Pulau Dewata itu, harus segera dideteksi untuk kemudian merumuskan tindakan preventif, agar jangan sampai harmonisasi yang selama ini menjadi ikon masyarakat Bali dimanfaatkan menjadi konflik yang menjurus perpecahan.
Sejatinya Presiden Jokowi telah mendapatkan mandat yang besar dari masyarakat Bali. Terbukti perolehan suara pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 jauh melebihi pasangan Prabowo-Hatta. Masyarakat Bali tentu berharap banyak kepada Presiden Jokowi mau memprioritaskan aspirasi mereka dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat Pulau Seribu Pura itu.