By Kabar Mapegaa 03.16.00
Yogyakarta, (KM)- Komunitas Perempuan Papua (KPP), Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (09/09), kembali mengadakan diskusi terbuka, dengan tema, “Saatnya Perempuan Papua Bangkit dan Bersuara”. Kegiatan ini berlangsung di asrama Bintuni, Babarsari, belakang Kampus I YKPN.
Zuzan Crystalia Griapon, menjadi moderator dalam diskusi kali ini dengan topik “Mengenal lebih dekat perempuan Mamta” dan mempersilakan kepada penyaji materi tentang kehidupan perempuan di Mamta yang dibawakan oleh Yoha Pulalo.
Yona Palalo adalah mahasiswi pascasarjana Univesitas Gadjah Mada Yogyakarta, juga sebagai salah satu guru relawan Papua.
Dalam diskusi tersebut, mereka menggangkat masalah penindasan perempuan Papua pada umumnya dan lebih khususnya Perempuan-perempuan di wilayah adat Manta. Wilayah adat Mamta merupakan wilayah adat sekitar Jayapura. Wilayah adat Mamta juga merupakan wilayah adat terbesar dengan 87 suku. Wilayah Mamta terdiri dari: Port numbay, Sentani , Sarmi, dan Keroom.
Secara garis besar, Yona menyampaikan kehidupan perempuan- perempuan Papua di wilayah adat Mamta, kemudian mempersilakan peserta diskusi untuk menyampaikan pendapat berupa tanggapan, pertanyaan serta solusi.
Dalam diskusi tersebut, mereka (perempuan) menentang semua penindasan-penidasan terhadap perempuan yang atas namakan nilai-nilai adat istiadat dan pembangunan yang mana laki-laki berada pada kedudukan tertinggi dalam segala bidang.
Mereka berpendapat bahwa, Laki-laki dan perempuan berada di muka bumi ini ada tugasnya masing-masing, masing-masing ada jatahnya. Akan tetapi marginalisasi terhadap perempuan Mamta, secara terang-terang terjadi. “Budaya patriarki itu benar-benar dirasakan oleh perempuan-perempuan di Mamta,” tegas salah satu mahasiswi yang juga berasal dari Manta saat dikusi berlangsung.
Katanya, tanah adat dijual oleh laki-laki, perempuan tidak dapat berbuat apa-apa, tempat bercocok tanam mama-mama sudah mulai tergeser. Padahal nenek moyang berpesan untuk melindungi tanah, akan tetapi apa yang terjadi, tanah dijual. Hal ini berdasarkan kenyataan yang sedang dialami saat ini di Mamta, tanpa keterlibatan perempuan didalamnya.
Hal ini bertolak belakang, yang seharusnya laki-laki yang menjaga tanah adat, tetapi mala sebaliknya perempuan berusaha untuk melindungi tanah adat mereka. Niat baik perempuan Mamta untuk melindungi tanah mereka namun mereke (perempuan) tidak ada nilainya didepan laki-laki Mamta.
Sementara itu, mereka juga berpendapat bahwa tulang punggung warga itu ada di perempauan. Mereka juga menolak keras terhadap budaya patriarki.
Perempuan tidak ada ruang dan hak untuk bersuara demi tanahnya sendiri, perempuan ditindas oleh nilai budaya itu sendri. Ruang lingkup perempuan sangat sempit. Perempuan terus ditindas. Hal ini Karena adanya nilai-nilai budaya setempat yang masih melekat.
Menurut mereka, kesadaran kritis itu harus ada di Perempuan Papua. Tanah dan manusia Papua ada ditangan Perempuan Papua. Kami perempuan Papua sangat merasakan penindasan. Namun , tidak menutup kemungkinan, bahwa suatu saat nanti perempaun akan hadir sebagai pengambil keputusan akan tetapi hal ini membutuhkan waktu yang panjang.
Sementara itu, seperti yang dikutip oleh media ini, saat diskusi berlangsung, ada beberapa penindasan yang terjadi terhadap perempuan Papua pada umumnya dan khususnya perempuan Mamta, diantara: Perempuan ditindas oleh budaya itu sendiri, laki-laki menduduki kedudukan tertinggi disegala lini, Perempuan tidak mendapat kesempatan dalam menyuarakan tanahnya, Pengambil keputusan dalam segala hal dilakukan oleh laki-laki, Perempuan menindas perempaun atas dasar nilai-nilai adat, Tanah itu adalah mama, tetapi kenyataannya adalah tanah itu bapak, Penduduk asli mulai tergeser, lahan-lahan milik mereka dijual oleh laki-laki. Orang asli menyinggir atas nama pembanggunan.
Moderator diskusi, Zuzant mengatakan, diskusi ini ruting dilakukan perminggu sekali, untuk minggu besok, kami akan mengadakan dikusi dengan topik: Mengenal Lebih dekat Perempuan-perempuan Meepago.
Untuk itu, lajut Zuzant, kami mengharapkan keterlibatan laki-laki untuk menghadiri setiap diskusi kami adakan perminggu sekali. (Manfred/KM)