Oleh : I NGURAH SURYAWAN
Sejarah modernitas di negeri ini menunjukkan bahwa rakyat hanya dijadikan pion-pion yang menghubungkan arus modal dan juga sebagai jembatan mimpi kesuksesan. Masyarakat yang berada di pinggiran kekuasaan hanya dianggap sebagai “massa” yang seolah tidak berdaya untuk melakukan kritik terhadap penguasa. Sejarah panjang modernitas di Indonesia menunjukkan bagaimana manusia dijadikan obyek untuk menggerakkan kuasa kapitalisme. Introduksi yang paling nyata dalam konteks ini saya kira adalah idologi “pembangunisme” yang masuk dan menyebar ke urat nadi orang-orang di Papua beriringan dengan kekerasan terhadap kemanusiaan.
Benny Giay (2000:68-69) dalam konteks ini mengungkapkan yang saya yakini sangat tajam dan bernas. Ia mengungkapkan bahwa apapun paradigma dan kebijakan pembangunan yang dipakai oleh pemerintah Indonesia terhadap tanah Papua ke depan tidak akan merubah nasib orang Papua, minimal dalam rentang waktu 30-40 tahun ke depan. Otonomi khusus pun tidak akan memperbaiki kondisi orang Papua, yang telah mengalami marginalisasi berat. Marginalisasi tersebut berakar pada perbedaan pemahaman yang mendasar antara orang Papua dengan pemerintah Indonesia yang berhubungan dengan sejarah orang Papua itu sendiri dan pembangunan.
Sejak awal tahun 1960-an, pemerintah/orang Indonesia memandang dirinya sebagai pejuang dan pahlawan yang datang untuk membebaskan orang Papua dari penjajahan Belanda. Menurut orang Indonesia, negara Papua Barat merdeka yang sedang disiapkan oleh Belanda pada wal tahun 1960-an adalah negara boneka. Sebaliknya orang Papua selalu melihat pemerintah Indonesia sebagai penjajah baru, imperialis baru yang datang untuk membangun negara Republik Indonesia di atas negara Papua merdeka yang telah disiapkan oleh Belanda.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah pembangunan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah instrument untuk membangun atau menjajah orang Papua. Berangkat dari pemahaman tersebut, pemerintah Indonesia memperkenalkan ideologi pembangunan dengan alasan untuk mensejahterakan dan membebaskan orang Papua dari kebodohan dan keterbelakangan. Tetapi orang Papua melihat ideologi dan kebijakan pembangunan tadi sebagai instrument ideologis dan kebijakan untuk menghilangkan orang Papua, menindas dan membungkam serta menghilangkan kebudayaan orang Papua.
Berbagai pernyataan tajam dari paitua Benny Giay di atas jika cermati memang bernada tendensius dan generalisasi (penyederhanaan). Tendensius karena saya kira harus dicermati seksama bahwa bahwa implikasi ideologi (cara berpikir) dan praktik kekerasan pembangunisme bukan hanya terjadi di Papua, tapi hampir di seluruh Indonesia. Namun secara lebih spesifik kita juga harus memperhatikan bahwa negara (baca: pemerintah Indonesia) juga cerdik dan menggunakan para kaki tangan orang-orang Papua terdidik maupun biasa untuk menanamkan ideologi pembangunisme. Pada perkembangannya, para kalangan terdidik dan elit lokal inilah—yang merupakan anak didik cara berpikir dan perilaku negara—menyemaikan “kerajaan” lokal mereka masing-masing untuk mensiasati proyek-proyek pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah.
Jejak-jejak kolonisasi dan pewarisannya jugalah yang saya kira harus mendapatkan perhatian khusus jika mencermati sejarah penjajahan di Tanah Papua. Pewarisan yang saya maksudkan adalah praktik penjajahan yang dialami oleh Indonesia terserap menjadi cara berpikir dan bertindak untuk menjajah kembali saudaranya sendiri. Pewarisan praktik penjajahan inilah yang diterapkan dengan sangat gamblang dan kasar terhadap orang-orang Papua. Mereka, masyarakat Papua, mengalami diskriminasi berlapis karena pewarisan praktik penjajahan yang dilakukan oleh bangsa melayu Indonesia. Namun saya meyakini tidak semua juga orang Indonesia yang menyetujui perilaku apparatus (perangkat) negara yang bertindak membabi buta menembak orang-orang Papua yang tidak bersalah, mengkorupsi kekayaan alam di Tanah Papua. Jadi ada lapisan-lapisan kelas sosial yang problematik dan dinamis yang mengalami perkembangan terus-menerus. Gerakan dari kelompok masyarakat sipil di Jakarta dan daerah lain dalam mengkampanyekan dan mendesak pengungkapan kekerasan terhadap kemanusiaan di Tanah Papua adalah satu dari sekian contoh tersebut.
Jejak dan Resistensi Modernitas
Jika melacak jejak dari modernitas dan rezim kolonisasi ini, kita akan memulainya dari bagaimana manusia diperlakukan. Jika pada masa colonial manusia diperlakukan sebagai unit produksi individual, maka zaman modern menempatkannya sebagai unit konsumtif. Budi Susanto (2003: 352-354) mengungkapkan bahwa masa lampau (kolonial) Indonesia memperkenalkan modernisme dan industrialisasi yang pada awalnya lebih mempromosikan produktifitas individual. Manusia diperlakukan sebagai unit produksi. Setelah Perang Dunia II, sekaligus “kemerdekaan” Indonesia, politik ekonomi dunia lebih memusatkan perhatian bahwa manusia adalah sebuah unit konsumtif yang justru mampu mengasingkan aksi-aksi solidaritas dan demokratisasi. Globalisasi politik ekonomi modern mengingatkan bahwa konsumsi berkait erat dengan suatu pilihan politik, dan bukan seperti dikira yaitu hasrat, birahi atau nafsu individual yang terisolir.
Salah satu contohnya adalah meskipun modernitas—misalnya dalam dunia periklanan—mampu menerobos masuk dan berusaha mengurung kehidupan “individu-individu” dari kalangan massa rakyat kecil, tetapi massa rakyat itu toh mempu menyeruak keluar dari kurungan itu, mereka toh mampu tampil dengan identitas mereka yang “baru”, betapapun penampilan itu dianggap ironis berdasarkan kelumrahan ukuran-ukuran orisinalitas dan kejeniusan modern.
Rekayasa identitas modern bukanlah hasil represi oleh penguasa tertentu, tetapi sesungguhnya adalah berupa suatu strategi isolasi. Modernisasi media komunikasi massal yang menghasilkan hal dan barang-barang (konsumtif) spektakuler yang sesungguhnya malah membuat isolasi menjadi semakin canggih. Pemisahan beragam pembayangan atau penampakan simbolik tertentu (images) dari konteksnya mengakibatkan pandangan, pendengaran, dan bahkan birahi konsumen publik diisolasi dari hakikat tubuh manusiawi; dan menjadikannya sesuatu yang ilusif yang membuat orang “percaya untuk tidak percaya”. Modernitas melalui rekayasa media komunikasi massal cenderung gemar menyediakan komoditi menghibur yang spektakuler, popular, sensual, dan instan dinikamati. Akan tetapi, kalangan massa rakyat kecil selalu saja mampu menemukan celah retak dari program isolasi tersebut.
Sepanjang sejarah Indonesia, orang-orang rakyat kecil di Indonesia tetap saja (potensial) sebagai konsumen massa(l) rakyat yang bukan biasa-biasa saja. Di tengah dunia modern dan global yang penuh dengan persaingan identitas, fragmentasi kebudayaan, dan pluralisme dalam mengalami saat dan tempat kehidupan, terdapat peluang untuk menuju ke keadilan dan kemanusiaan yang lebih baik. Persoalannya adalah bukan kepada perubahan soal apanya, tetapi pada bagaimana orang-orang mempercayainya. Hasrat budaya rakyat kecil yang lebih berwujud daya-daya kreatif, dan mungkin juga berwujud aksi-aksi berdasar pertimbangan moral dan spiritual yang terus bernyala-nyala dalam diri (identitas) masyarakat. Bukankah identitas dan aksi kehidupan seperti itu adalah juga suatu “kemewahan” dari sebuah kehidupan dari hari ke hari yang nyaris tanpa kuasa untuk memprogramkannya. Di dalam dinamika rakyat itulah adanya kuasa hasrat budaya rakyat kecil, yang akan terdengar gempar di telinga mereka yang sekadar punya hasrat kuasa.
Pemahaman pluralisme dan kajian dekonstruktif mengungkapkan bahwa identitas dan politik negara dan bangsa Indonesia patut untuk dikaji ulang, mengingat (selama ini) rezim (Orde) Baru masih saja suka memperhantukan orang atau pihak-pihak tertentu. Kita mungkin sudah sering akrab dan waspada dengan strategi rezim “Pembangunan” yang suka memuja stabilitas “Kamtibmas” tetapi ternyata mereka juga berhasil menemukan jejak-langkah siasat massa rakyat Indonesia menghadapi strategi modern. Rakyat yang kebanyakan dari kalangan rakyat kecil toh jeli bersiasat ketika melihat kemangkiran dari kehadiran para penguasa di panggung identitas dan politik Indonesia. Kepercayaan seperti itu penting untuk masyarakat Indonesia masa kini mengingat bahwa kekerasan, kekejian, kekejaman, ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia sering kali juga lebih berkaitan dengan kebisuan pihak korban sendiri daripada sekadar akibat kecurangan atau keserakahan pihak-pihak yang lain (Budi Susanto, S.J, 2003: 6).
Ingatan bersama tentang kekerasan yang dibentuk, diceritakan, dan dilestarikan tersebut akan melanjutkan atau menghentikan kekerasan berikutnya. Juga mereka mempertanyakan apa implikasinya untuk masa depan dengan mengingat dan menceritakan kisah-kisah horror seperti itu? Tulisan-tulisan tentang masa lalu massa rakyat masa kini Indonesia bukan sebuah deposito atau pelestarian “kenyataan” masa lalu, tetapi sebuah proses aktif untuk menghasilkan “pernyataan” masa lalu, tetapi sebuah prosesaktif untuk menghasilkan “pernyataan” member makna. Mengikuti cara pandang baru tentang masa lalu kalangan rakyat kecil yang pernah dikemukakan Alessandro Portelli bahwa untuk tidak sekadar tahu tentang apa yang pernah dikerjakan oleh seseorang dan/atau massa rakyat sekelilingnya, tetapi juga apa yang ingin mereka kerjakan pada waktu itu, apa kepercayaan mereka pada waktu itu hingga mengerjakan secara begitu, dan apa yang mereka pikir pada masa kini bahwa dulu melakukan hal seperti itu (Budi Susanto, S.J, 2003:9).
Dalam konteks Papua, rangkaian kekerasan dan ingatan penderitaan yang ada di dalamnya berkembang menjadi pengalaman yang membadan dalam kehidupan para saksi dan survivor kekerasan kemanusiaan. Mereka inilah baik pribadi maupun kelompok, yang menjadi pelaku dan dan survivor adalah adalah dokumen hidup bagi sejarah kekerasan di Tanah Papua. Dengan demikian dalam pandangan Giay (2000: 2) dokumen yang mendasari penulisan sejarah kekerasan dan penderitaan bangsa Papua menuju Papua Baru harus dicari di Papua karena para pelaku dan korban dari sejarah Papua itu adalah rakyat kecil—bangsa Papua yang ada di Tanah Papua. Orang Papua biasa inilah yang menjadi korban kekerasan sehingga membawa ingatan penderitaan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Mereka inilah yang mempunyai pengalaman sejarah yang tidak pernah ditulis dan tidak pernah mendapatkan wadah untuk berekspresi.
I NGURAH SURYAWAN
Staf Pendidik/Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari Papua Barat