Penulis: Prasasta Widiadi 13:01 WIB | Kamis, 30 Juni 2016
TRONDHEIM, SATUHARAPAN.COM – Dewan Gereja Dunia dalam pertemuan komite sentral di Trondheim, Norwegia yang baru saja selesai beberapa hari lalu merekomendasikan membentuk kontingen delegasi ekumenis internasional sebagai bentuk solidaritas melakukan kunjungan ke Provinsi Papua.
Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan pada Selasa (28/6), di salah satu sesi di pertemuan komite sentral Dewan Gereja Dunia permintaan kunjungan solidaritas tersebut digelar dalam rangka melaksanakan ziarah keadilan dan perdamaian yang setiap hari digumuli dalam pokok-pokok doa Dewan Gereja Dunia.
Dalam pertemuan yang digelar di Trondheim, Norwegia antara 22-28 Juni 2016, selain memberi usulan tentang pembentukan kontingen untuk melakukan kunjungan ke Papua, komite sentral juga mengajak banyak pihak mendukung gereja anggota – khususnya Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua melalui Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Pasifik Gereja (PCC), dan Konferensi Kristen Asia (CCA) – agar mendoakan dan bertindak dalam mendukung kesaksian gereja dalam rangka terwujudnya keadilan dan perdamaian di kawasan itu.
Dalam catatan Dewan Gereja Dunia, dikatakan bahwa lembaga itu telah mengikuti proses yang terjadi di Papua sejak 1960-an atau beberapa tahun setelah Provinsi Papua menjadi bagian Indonesia. Dalam catatan lembaga ini, dari sekian banyak protes terhadap kebijakan pemerintah pada bulan Mei dan awal Juni tahun ini, lebih dari 3.000 orang berada dalam tahanan pemerintah Indonesia.
Dikatakan pula bahwa konflik di Provinsi Papua yang saat awal berdiri masih bernama Irian Jaya menelan korban ribuan orang sejak akhir 1960-an.
Di tengah laporan tentang situasi HAM yang memburuk di Papua Barat, pernyataan dukungan untuk Papua dikeluarkan pada tanggal 28 Juni selama hari penutupan untuk pertemuan di Trondheim, Norwegia, Komite Sentral Dewan Gereja Dunia (WCC),” demikian pernyataan Dewan Gereja Dunia pada laman resminya.
Pada Februari 2012, komite eksekutif Dewan Gereja Dunia membahas situasi di Provinsi Papua dalam sebuah pernyataan yang mengungkapkan keprihatinan tentang militerisasi dan eksploitasi dalam skala besar terhadap sumber daya alam di Papua.
Selain itu Dewan Gereja Dunia mengamati bahwa di provinsi tersebut tampak berbagai masalah sosial. Di antaranya transmigrasi yang belum merata, kurangnya lapangan kerja dan kesempatan ekonomi bagi penduduk asli Papua. Di sisi lain, Dewan Gereja Dunia mendapati laporan dari Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKITP), yaitu masih seringnya terjadi pelanggaran HAM secara sistematis seperti penangkapan secara sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan, penindasan, kekerasan, pengekangan aspirasi penduduk asli Papua untuk menentukan nasib di tanah mereka sendiri.
Dewan Gereja Dunia juga mencatat bahwa Presiden Joko Widodo sering berjanji menghentikan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional dan pelanggaran HAM terhadap penduduk asli Papua oleh aparat keamanan Indonesia. Ia juga menjanjikan dialog, rekonsiliasi dan pembangunan di Provinsi Papua. Tetapi langkah tersebut belum cukup. Pelanggaran kebebasan berekspresi di Provinsi Papua dan pelanggaran HAM untuk berkumpul secara damai dilaporkan laporan setiap hari.
Keprihatinan terhadap Papua, tidak hanya ditunjukkan Dewan Gereja Dunia. Pada Maret 2016 sebuah komisi dari Gereja Katolik Brisbane, Australia melansir hasil temuan fakta-fakta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Temuan mereka mendesak campur tangan Perserikatan Bangsa-bangsa. Selain itu Gereja Katolik Keuskupan Brisbane mendesak upaya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.
Dalam laporan setebal 24 halaman itu – yang dimuat di catholicleader.com.au – salah satu rekomendasi mereka adalah “mendesak negara-negara di kawasan Pasifik mengupayakan intervensi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Sidang Umum PBB untuk melakukan investigasi independen,” demikian bunyi kutipan laporan tersebut. (oikoumene.org/catholicleader.com.au).
Editor : Eben E. Siadari