Jakarta – Setelah mengalami alur yang cukup panjang dan alot yakni memakan waktu selama 6 bulan, akhirnya Draft UU Pemerintahan Papua dinyatakan rampung atau final dan kini siap diserahkan kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyno.
Anggota DPRP, Alberth Bolang dalam jumpa persnya di hotel Sultan, Rabu (22/1) malam, mengatakan, draft UU ini merupakan draft ke-13 yang telah mengalami pemadatan dan pembobotan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua. Sehingga diharapkan draft ini dapat diterima pemerintah Republik Indonesia.
Alberth Bolang yang didampingi Ketua MRP, Timotius Murib serta sejumlah anggota DPR Papua Barat lebih lanjut mengatakan, undang-undang pemerintahan ini mutlak merupakan jawaban dari seluruh akumulasi aspirasi masyarakat asli Papua.
“DPRP menampung banyak aspirasi kemudian dibuat dalam suatu draft otsus plus. Dimana sumber daya alam dinikmati sepenuhnya rakyat Papua dengan tidak mengabaikan rakyat Indonesia,” ujar Alberth.
Dijelaskan pula bahwa pada draft ke-13 ini ada perubahan-perubahan pasal. Pasal yang kruisial dihilangkan namun ada juga yang hanya bentuknya dikelompokkan.
Sementara itu Ketua MRP, Timotius Murib menambahkan, pertemuan final dihadiri oleh anggota MRP, MRPB, DPRP, DPRPB, Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat, dan para Bupati setanah Papua.
“Kesepakatan malam ini, ada hal-hal yang diperbaiki terutama pasal-pasal krusial yang dinilai mengganggu keutuhan NKRI. Namun pembobotan yang dilakukan Majelis Rakyat Papua (MRP) sesuai dengan aspirasi masyarakat,” ungkap Timotius.
Lebih jelas Timotius menegaskan bahwa pihak MRP mengharapkan UU Pemerintahan Papua ini akan lebih baik dan lebih bermartabat dari UU No 21.
Optimis Hanya 25% Isi Otsus Plus Diterima
Sementara itu Pengamat Sosial Politik di Papua, Budi Setyanto, S.H., mengatakan, ia sangat yakin bahwa isi dari UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua hanya diterima 25 persen saja oleh Pemerintah Pusat.
“Ya, saya pastikan isi dari UU Pemerintahan Papua itu hanya diterima 25 persen saja, sisanya 75 persen ditolak Pemerintah Pusat,” ungkapnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Kamis, (23/1).
Alasannya adalah kemungkinan besarnya Pemerintah Pusat tidak akan menyetujui hal-hal yang menyangkut kepentingan negara yang lebih besar. Contoh kecil saja, permintaan Kantor PT Freeport beserta segala produksinya di Papua, itu jelas hal yang sangat mustahil, karena jelas mengurangi pendapatan negara, jika Kantor PT Freeport di Papua.
Kemudian, persoalan produksi hasil tambang PT Freeport di Papua, jelas bahwa negara-negara pemegang Saham, seperti Amerika Serikat tidak akan menyetujui hal itu, karena jelas mengenai keuntungan dan kerugiannya.
Berikutnya mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur/bupati/walikota) yang juga diusulkan dalam draft undang-undang plus dimaksud, dipastikan juga akan ditolak oleh Pemerintah Pusat. Karena persoalannya adalah Pemilu langsung yang sudah terlaksana selama ini merupakan proses pendidikan politik yang mendewasakan masyarakat.
Dimana, masyarakat kini semakin paham mengenai politik itu sendiri, karena terlibat langsung di dalamnya untuk memilih wakil-wakil rakyat dan pemimpinnya yang menurut anggapan masyarakat adalah sosok pemimpin yang baik dan merakyat serta pemimpin yang mampu membawa perubahan yang lebih baik bagi peningkatan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat di segala aspek kehidupan.
Ditegaskannya, memang diakuinya pemilihan langsung mengeluarkan cost (biaya) yang besar dan korban jiwa, namun kenyataannya ketika semua sengketa berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak ada lagi konflik. Dan tentunya adanya konflik tersebut, menandaskan bahwa masyarakat begitu peduli dalam kegiatan demokrasi yang menginginkan demokrasi yang baik untuk mensejahterakan masyarakat.
“Jadi bagi kandidat yang mau bertarung dalam Pemilukada, ya diharapkan harus siap dulu lah, baik finansial, mental dan lainnya,” tegasnya.(Lea/nls/don/l03)
Jum’at, 24 Januari 2014 11:06, BinPa