JAYAPURA—Pemerintah pusat dinilai lambat menanggapi tuntutan aspirasi penolakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang berkali kali disampaikan massa MRP kepada DPRP. Terkait dengan itu, DPRP didesak segera mengelar sidang istimewa guna mengakomodir tuntutan referendum ulang bagi rakyat Papua pada tahun 2010 dan peralihan negara RI kepada Negara Republik Papua Barat tanpa syarat dalam pengawasan Dewan Keamanan PBB pada tahun 2010, serta membentuk Tim 10 guna menyampaikan aspirasi referendum Papua Barat untuk tatap muka bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Demikian Siaran Pers yang disampaikan Forum Rekonsiliasi Para Pejuang Republik Papua Barat Merdeka Politikal Tapol-Napol/OPM-TPN/RWP ditandatangani Filep Karma, Buchtar Tabuni (Penanggungjawab) serta Juru Bicara Saul J Bomay yang diterima Bintang Papua di Jayapura, Selasa (3/8).
Forum Rekonsiliasi Para Pejuang Republik Papua Barat Eks Tapol-Napol/OPM-TPN RWP juga menyampaikan sikap politik antara lain. Pertama, prinsip perjuangan bangsa Papua untuk memisahkan diri dari NKRI mempunyai jaminan hukum yakni deklarasi PBB tentang hak penduduk asli (masyarakat pribumi) adalah sebuah deklarasi yang disahkan Majellis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (MU PBB) dalam sidang ke-61 di Markas Besar PBB di News York 13 September 2007.
Deklarasi ini menggariskan hak individu dan kolektif para penduduk (pribumi) dan juga hak mereka terhadap budaya, identitas, bahasa, pekerjaan, kesehatan, pendidikan dan isu isu lainnya. Deklarasi ini juga menekankan hak mereka untuk memelihara dan memperkuat institusi, budaya dan tradisi dan hak mereka akan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi mereka.
Deklarasi ini juga melarang diskriminasi terhadap penduduk asli, dan memajukan partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam segala hal yang menyangkut masalah mereka serta hak mereka untuk tetap berada dan mengusahakan visi pembangunan ekonomi dan sosial mereka sendiri.
Kedua, piagam MU PBB pasal 15 dan 14 tanggal 14 Desember 1960-an mengenai jaminan dan pemberian dan kemerdekaan kemerdekaan kepada rakyat wilayah wilayah jajahan atau penghapusan dekolonisasi dunia.
Ketiga, pembukaan UUD 1945 alinea pertama bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu hak segala bangsa ….oleh sebab itu maka bangsa Papua mempunyai hak hak untuk menentukan nasib sendiri/merdeka dan berdaulat penuh diatas tanahnya sendiri.
Keempat, pada prinsip bangsa Papua sudah menolak Otsus pada 28 Maret 2001 serta sudah kembalikan Otsus pada tanggal 12 Agustus 2005 dan itu sudah final secara hukum dan kini hal yang sama lagi kita kembalikan Otsus untuk kedua kalinya kepada DPRP sesuai dengan sidang paripurna MRP sudah dikembalikan pada 18 Juni 2010.
Kelima, suara korban Daerah Operasi Militer (DOM) TNI/Polri di Papua mendesak kepada elite lit politik yang berstatus orang Irian (bukan bangsa Papua) yang terlibat dalam tim penyusun Draf Otsus agar segera mengakui kegagalan Otsus dan berani mencabut pelaksanaan nya di Papua sebagai bentuk pertanggungjawaban atas semua permasalahan yang berdampak pada kegagalan implementasi UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus secara menyeluruh di Tanah Papua sebagai suatu wujud pertanggungjawaban moral dan politik terhadap bangsa Papua.
Keenam, satu pertanyaan untuk DPRP dan Gubernur Papua untuk menjawab apakah Otsus pertama hasil penolakan 28 Maret 2001 dan pengembalian Otsus 12 Agustus 2005 serta pengembalian yang kedua 18 Juni 2010 apakah sudah ada jawaban dari pemerintah pusat.
Ketujuh, apabila belum ada jawaban dari pemerintah pusat maka kami rakyat bangsa Papua mendeak kepada DPRP, Gubernur Papua dan Papua Barat segera mengadakan sidang istimewa DPRP untuk mengakomodir tuntutan referendum ulang bagi rakyat Papua pada tahun 2010 ini juga DPRP dan Gubernur Papua bersifat memfasilitasi pembentukan Tim 10 yang independen untuk membawa agenda aspirasi referendum Papua Barat untuk tatap muka bersama Presiden dan kabinetnya di Jakarta.
Kedelapan, penolakan SK No 14 Tahun 2010 oleh bangsa Indonesia melalui Mendagri tak mungkin menutup mata RI. Karena bangsa Papua melihat UU No 21 Tahun 2001 yang kami lihat sebagai produk hukum eligal mengingat penolakan rakyat Papua Barat terhadap UU tersebut pada 28 Maret 2001 dan pengembalian Otsus kepada negara 12 Agustus 2005 sudah final. Otsus sebagai kebijakan paksaan RI dari tahun 2010 telah gagal total. (mdc)