Jayapura, Jubi – Dialog Jakarta-Papua, yang menjadi agenda Jaringan Damai Papua (JDP) sejak buku Papua Road Map (2009) diluncurkan, hadir dalam bentuk lain lewat siaran televisi langsung Papua Lawyers Club (PLC), Rabu malam (10/8/2016) di salah satu stasiun televisi di Jayapura.
“Topik ini terasa provokatif,” ujar Adriana Elizabeth, yang hadir mewakili peneliti LIPI dan sempat terlibat di dalam proses penyusunan buku Road Map Papua. Topik dialog pada malam itu mengambil tema ‘Mengakhiri Pertarungan Pemerintah Indonesia VS ULMWP’.
“Pertarungan itu mensyaratkan perbedaan melihat akar masalah, dan itu memang masih relevan. Karena upaya penyelesaiannya dari pihak pemerintah, belum maksimal,” ujar Adriana di sesi ketiga dialog yang dimoderatori oleh Anton Raharusun, SH tersebut.
Penyelesaian masalah di dalam negeri
Adriana percaya bahwa pemerintah, melalui Luhut Pandjaitan yang sempat ditemuinya, sedang berupaya menyelesaikan Papua lebih demokratis. “Saya rasa pemerintah cukup responsif mendengar masukan-masukan dari JDP dan LIPI, agar ada pendekatan holistik.” Tetapi dia tampak menyayangkan, bahwa apa yang didengarkan oleh pemerintah berbeda di tataran praktik lapangan.
Hal itu, lanjutnya, menyebabkan akar masalah Papua tidak tertangani. “Makanya kami sejak awal mengajak dialog, agar masalah ini tidak keluar,” ujar dia.
Masalah yang dimaksud Adriana, sebetulnya sudah jelas dalam perumusan Peta Jalan Papua sejak tujuh tahun lalu, semasa almarhum Muridan Widjojo, intelektual LIPI yang sangat membekas di hati orang Papua, masih hidup. Peta Jalan Papua itu dirumuskan setelah melalui banyak forum konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan di Papua Barat, termasuk kelompok-kelompok pro kemerdekaan.
Tetapi tampaknya, hal tersebut luput singgah di pikiran Asisten Deputi Bidang Otonomi Khusus Menkopolhukam, Brigjen Herwin Suparjo, satu-satunya narasumber yang hadir dengan kemeja putih bersih pada kesempatan itu.
Dia menilai, isu-isu HAM terkait Papua tidak perlu dipolitisir. Menurut dia, dengan mengundang beberapa Duta Besar negara Pasifik berkunjung ke Papua, pemerintah hendak menunjukkan Papua secara langsung. “Kita perlihatkan fakta saja ke Duta-duta besar Melanesia itu, biarkan MSG yang menilai,” ujarnya.
Ketika disinggung terkait kasus-kasus pelanggaran HAM yang sampai sekarang belum tampak ada titik terang penyelesaian, Herwin mengatakan bahwa pihaknya sedang meneliti kasus-kasus mana yang kriminal dan mana yang politis.
Terhadap MSG, lanjut Herwin, “pemerintah tidak sedang meyakinkan, tetapi membiarkan para wakil MSG melihat sendiri isu-isu tersebut.”
Pdt. Sofyan Yoman menyesalkan pemerintah Indonesia yang masih saja tidak mengakui berbagai persoalan pelanggaran HAM di Papua yang terus terjadi. “Ini bukan isu lagi, Pak. Tidak bisa dibilang isu,” ujarnya lantang.
“Coba kita lihat dulu wajah Indonesia di Papua ini. Orang Papua punya toko kah tidak? Hotel? Restoran? Inilah sebagian wajah pembangunan di Papua. Indonesia sudah gagal secara ekonomi,” kata Sofyan, yang belum lama ini juga melawat Australia untuk bertemu wakil-wakil gereja untuk mendiskusi laporan situasi HAM dan keadaan lingkungan di Papua.
“Proses integrasi Papua ke Indonesia itu tidak adil, militer yang mengintegrasikannya. Kita kembali saja ke Peta Jalan yang dibuat LIPI, kenapa sampai sekarang pemerintah tidak pakai landasan itu?” lanjut Sofyan.
Pendeta Sofyan menganggap pembentukan ULMWP saat ini adalah tindakan cerdas rakyat Papua yang berjuang untuk penentuan nasib sendiri. “Jangan pikir negara-negara Pasifik itu kecil. Mereka negara berdaulat. Mereka anggota PBB dan punya hak suara di sana,” ujarnya.
Di depan tokoh-tokoh gereja, lanjut Sofyan, pemerintah melalui Menkopolhukam pernah berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Paniai secepatnya, tetapi hingga sekarang tidak terjadi. Bagi Sofyan, Indonesia hanya tidak mau mengakui persoalan pelanggaran HAM di Papua sebagai realitas.
Adriana Elizabeth mengakui bahwa pemerintah sudah terlambat, tetapi ia masih meyakini dialog penyelesaian HAM adalah arena yang paling mungkin untuk mempertemukan berbagai pihak. Dia memahami, proses integrasi utuh Papua ke Indonesia tidak terjadi di semua aspek sosial, politik ekonomi dan kebudayaan.
Dan sayangnya, menurut dia, “Strategi pemerintah masih saja bersifat ad-hoc (sementara) tidak ada strategi jangka panjang, sementara tuntutan terhadap self determination sudah pasti tidak akan mungkin dipenuhi Indonesia.”
Persaudaraan Melanesia di Pasifik
Herwin Suparjo mengatakan bahwa kehadiran Indonesia mewakili sekitar 11 juta ‘warga Melanesia’ di 5 propinsi Indonesia (Papua, Papua Barat, NTT, Maluku dan Maluku Utara) atau yang dikonsepkan sebagai Melindo (Melanesia Sperhead Group) oleh pemerintah Indonesia.
Namun, berbeda menurut Victor Yeimo, ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), yang juga hadir mewakili tim kerja dalam negeri ULMWP di pertemuan KTT MSG Juli lalu di Honiara. Menurut dia, Indonesia baru menoleh ke Pasifik sejak 2010, sementara rakyat Papua Barat telah menjalin hubungan persaudaraannya selama lima puluh tahun.
Menurut Victor, proses pencarian identitas Papua selema puluhan tahun, mendapatkan pertolongan pertamanya dari saudara-saudari Melanesia. “Melanesia tidak lengkap tanpa Papua Barat,” katanya.
Sementara pembentukan Melindo, lanjut Victor, adalah proyek politik belaka. “Melindo bukan Melanesia, dan hal tersebut dikatakan jelas oleh pemimpin MSG, bahwa selain Papua dan Papua Barat, ketiga propinsi lain adalah Polynesia.”
Victor menganggap, pemerintah Indonesia tidak mengerti bahwa MSG itu dibentuk untuk membebaskan wilayah-wilayah Melanesia dari kolonialisme. “Jadi agenda dekolonisasi adalah misi dasar MSG,” ujar Yeimo. Para pemimpin MSG, lanjut Victor, sangat memperhatikan isu-isu pelanggaran HAM di Papua dan kehendaknya menentukan nasib sendiri.
“Ini bukan lagi isu main-main, tetapi sudah menjadi isu dan agenda di negara-negara Melanesia, hingga ke akar rumput,” kata Viktor sambil tetap mengapresiasi hubungan diplomatik Indonesia dengan Melanesia secara ekonomi sambil mengritik upaya pendekatan politik pemerintah Indonesia di Pasifik. .
“Pemerintah Indonesia tidak pernah mengajukan aplikasi resmi ke MSG untuk menjadi anggota, mereka datang hanya dengan agenda ekonomi,” ujarnya.
Hal itu, menurut dia, membuat pemerintah-pemerintah Melanesia tersinggung, karena pembentukan MSG bukan bertitik tolak pada kepentingan ekonomi, melainkan persaudaraan Melanesia.
Adriana membenarkan bahwa dukungan terhadap ULMWP di Pasifik sangat kuat hingga ke akar rumput, sementara Melindo tidak kuat. “Indonesia hanya berhubungan G to G (pemerintah ke pemerintah), tidak mengakar,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Adriana, diperlukan konsolidasi politik untuk memungkinkan negosiasi. “ULMWP sudah progres luar biasa, pemerintah jangan menyangkalnya, tetapi dijadikan refleksi kenapa itu bisa terjadi.”
Juli lalu, Manasye Sogavare, Perdana Menteri Kepulauan Solomon yang juga Ketua MSG, dalam sebuah wawancaranya dengan wartawan Jubi di Honiara, Solomon, mengatakan bahwa masalah Papua saat ini sudah menjadi masalah bukan hanya Melanesia, tapi juga Pasifik, terutama negara-negara di Mikronesia dan Polinesia.
Sulitnya menemukan Common Ground
Tidak mudah menemukan landasan pijak bersama untuk mengatasi persoalan Papua yang suda menyejarah ini.
Septer Manufandu, Deputy Jaringan Damai Papua, menjelaskan bahwa persoalan menjadi berlarut-larut karena perjuangan rakyat Papua yang mencari identitas politiknya, yang saat ini sudah diwakili oleh ULMWP, tidak diakomodir oleh negara.
“Indonesia belum melihat nasionalisme Papua sebagai bagian dari konstruksi nasional bangsa Indonesia,” ujarnya. Karena tidak mendapatkan tempat di negeri ini maka proses pencarian tersebut terawat baik sampai sekarang.
Septer menyarankan agar pemerintah mau duduk berdialog dengan kelompok-kelompok yang berseberangan, “jangan dialog dengan kelompok-kelompok buatan,” ujarnya. Dalam dialog itu nanti, lanjut Septer baru bisa ditentukan apakah rumah Indonesia masih cocok untuk Papua.
Berbeda dengan Septer, Victor Yeimo mengatakan ULMWP belum punya kesiapan untuk berdialog dengan pemerintah Indonesia, karena tugasnya untuk menjalankan perjuangan di level regional dan internasional. “Indonesia dan Papua Barat sudah satu level sekarang di MSG. Hari ini, Melanesia adalah honai kami,” tegas Victor.
Internasionalisasi isu Papua memang telah gagal dibendung pemerintah Indonesia. Seperti yang telah dikatakan Perdana Menteri Sogavare Juli lalu, dirinya telah berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo untuk membahas masalah Papua, namun permintaan dalam surat tersebut ditolak. Surat tersebut dikirim olehnya dalam kapasitasnya sebagai Ketua Melanesia Spearhead Groups.
“Saya mengirimkan surat untuk dua hal. Pertama untuk membahas masalah Papua dalam kapasitas saya sebagai ketua MSG, sebab Indonesia adalah anggota assosiasi dan Papua adalah pengamat dalam MSG. Kedua, meminta agar Indonesia sebagai anggota assosiasi mulai membuka diri untuk membahas masalah Papua di forum MSG. Namun kedua permintaan tersebut tidak mendapatkan respon positif dari Indonesia,” ujar Sogavare.
Acara dialog berakhir tanpa kesimpulan. Tetapi siaran Dialog PLC ini, seperti kata Pdt. Sofyan Yoman, telah membuka ruang pendidikan politik bagi rakyat Papua yang menilai.
Mayoritas anak-anak muda beratribut kaos merah dan jacket hijau army, tampak antusias hadir mendengarkan langsung dialog tersebut. Mereka bertepuk tangan spontan beberapa kali, sebagai tanda setuju menanggapi beberapa pernyataan penting yang meluncur dari beberapa pembicara yang mereka dukung.
Tidak ada represi dalam ruangan itu. Semua bebas bicara apa adanya. Sebuah ruang yang hingga saat ini, belum diberikan oleh pemerintah Indonesia sendiri.(*)