Jayapura, MAJALAH SELANGKAH — Hari ini, 2 April 2014, 100 orang demonstan meminta pembebasan segera terhadap tahanan politik di Papua dalam sebuah demonstrasi damai di luar Kedutaan Besar Indonesia di London, Inggris yang diselenggarakan TAPOL, Survival Internasional dan Amnesty Internasional Inggris.
Dalam keterangan tertulis yang diterima majalahselangkah.com malam ini mengatakan, demonstran meminta partai politik dan kandidat Presiden Indonesia untuk mendukung pemenuhan hak berdemokrasi di Papua dalam menghadapi pemilihan umum nasional untuk calon legislatif, minggu depan. Demonstrasi serupa juga diselenggarakan di Skotlandia, Belanda, Australia, Selandia Baru, Australia, dan Papua.
Di Jayapura, sekitar pukul 10:00 pagi hari ini, polisi melepaskan tembakan kepada peserta aksi damai yang meminta pembebasan terhadap tahanan politik Papua. Polisi menyebut mereka “monyet” dan dua orang telah ditangkap. Laporan awal mengindikasikan bahwa dua orang yang ditahan di Polresta Jayapura mengalami penyiksaan dan tidak diperbolehkan menemui pengacara hukum mereka.
Di London pukul 13:00 masing-masing demonstran memrepresentasikan 76 orang tahanan politk yang saat ini berada di balik jeruji di Papua yang secara simbolik diborgol dan ditutup mulutnya untuk menunjukkan pembungkaman kebebasan berekspresi di Papua.
Pendemo dan mantan tahanan politik Burma, Ko Aung menyatakan,
“Saya menghabiskan enam tahun di penjara untuk menyerukan perlawanan atas ketidakadilan di Burma. Sekarang saya berdiri di sini untuk memberikan solidaritas kepada kawan-kawan di Papua yang mengalami hal yang sama.”
Meskipun kepedulian internasional tentang situasi politik dan HAM di Indonesia telah meluas, namun partai politik di Indonesia tetap tidak memiliki agenda yang ditawarkan untuk situasi damai di Papua. Beberapa demonstran menantang para kandidat Presiden untuk memberikan perhatian dan menjelaskan kebijakan mereka terhadap Papua.
Para demonstran mengangkat plakat yang berisi: “Jokowi, wartawan asing boleh masuk Papua?” dan “Bakrie, maukah bebaskan tapol Papua?”
Pada surat kepada Duta Besar Indonesia di London, HE Teuku Mohammad Hamzah Thayeb, yang dikirimkan hari ini, penyelenggara demonstrasi, TAPOL menyatakan bahwa terdapat 537 peristiwa penangkapan politik di Papua pada 2013, dua kali lipat dari jumlah penangkapan di tahun 2012.
Kasus yang dilaporkan berupa penyiksaan dan perlakukan buruk dalam tahanan berjumlah tiga kali lipat dibandingkan tahun 2012, sementara kasus yang melibatkan penolakan akses kepada pengacara atau pengadilan yang tidak adil berjumlah dua kali lipat dibandingkan tahun 2012.
Surat itu menunjukkan bahwa terungkapnya peningkatan besar dalam tindakan penangkapan yang bernuansa politik ‘sangat mengganggu dalam masa menjelang pemilihan umum nasional Indonesia minggu depan. Minimnya ruang demokrasi di Papua berarti bahwa Pemilu hampir tidak relevan untuk banyak orang Papua.’
Tahanan politik Papua Dominikus Surabut hari ini mengirimkan pesan dari penjara Abepura ke seluruh para demonstran, yang menyatakan: Kebebasan dan demokrasi tidak bisa dibunuh dan dipenjarahkan, sebab rohnya absolut, tak bisa seseorang atau Negara manapun bisa gagalkan. Kepada para pekerja HAM dan Demokrasi dunia, kita tidak bisa berdiam membisu, tetapi kita terus kepalkan tangan dan jiwa kita secara bersama-sama menyelamatkan dan menempatkan berdemokrasi pada tempatnya.
Surabut ditahan pada 19 Oktober 2011 dan saat ini menjalani tiga tahun hukuman di penjara karena keikutsertaannya dalam pertemuan politik secara damai di Jayapura.
Berdasarkan perkembangan pemantauan bersama yang dipublikasi oleh Papuan Behind Bars, tahanan politik di Papua sering disiksa dan dipaksa untuk mengakui kesalahan. Banyak dari mereka dipukuli dan menjadi subjek dari tindakan kejam dan merendahkan martabat seperti digunduli, dipaksa untuk saling berkelahi atau tidak diberikan makan atau pengobatan yang layak.
Pembatasan pada organisasi internasional dan media asing yang bekerja di Papua Barat berarti bahwa banyak pelanggaran terjadi dalam rahasia, dan pelaporan yang independen adalah hampir mustahil. Ini adalah masalah serius di wilayah yang dikenal menjadi tuan rumah dari salah satu konsentrasi tertinggi pasukan keamanan di dunia.
“Jika Indonesia tidak memiliki hal yang disembunyikan di Papua, mengapa mereka tidak memperbolehkan jurnalis dan organisasi internasional datang ke Papua?,”
ujar Paul Barber, koordinator TAPOL dalam keterangan itu.
“Tujuh puluh enam tahanan politik di Papua tidak dapat disembunyikan dari dunia,”
ujar Paul.
Organisasi internasional dan mekanisme PBB semakin menanyakan pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi di Papua yang tidak dapat diterima. Pada November 2012, Working Grup PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang mengeluarkan pendapat bahwa penahanan terhadap Filep Karma, selama 15 tahun penjara karena mengibarkan bendera Bintang Kejora adalah pelanggaran terhadap hukum internasional.
Pada Mei 2012, pada sesi Laporan HAM Berkala Universal (Universal Periodic Review) Indonesia pada Dewan HAM PBB di Jenewa, Pemerintah Indonesia menerima rekomendasi untuk mengundang pelapor khusus PBB tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi, Frank La Rue.
Meskipun kunjungan tersebut direncanakan akan dilaksanakan pada awal tahun 2013, namun kunjungan tersebut dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia. Pada Mei 2013, Ketua Komisi HAM PBB, Navi Pillay menyampaikan situasi kritis terhadap serangan kebebasan berekspresi yang terus berlanjut di Papua.
TAPOL menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk menghentikan tuduhan kepada aktivis politik Papua dengan tuduhan kriminal, meminta pembebasan tanpa syarat terhadap tahanan politik, memenuhi standar internasional mengenai perlakuan terhadap tahanan dan memperbolahkan akses terbuka bagi internasional jurnalis, organisasi HAM dan humaniter.
TAPOL juga meminta para kandidat Presiden untuk membuat agenda setting tentang pelaksanaan HAM, termasuk pembebasan tahanan politik tanpa syarat sebagai pemenuhan hak dasar dan berdemokrasi bagi orang-orang Papua.
Diketahui, berdasarkan update terbaru yang dipublikasi oleh Papuans Behind Bars, terdapat setidaknya 76 orang tahanan politik di Papua yang dipenjara hingga akhir Februari 2014.
Orang Papua di Balik Jeruji adalah satu proyek kolektif yang dimulai oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Papua yang bekerjasama dalam rangka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua. Ini adalah gagasan kelompok bawah dan mewakili kerjasama yang lebih luas antara para pengacara, kelompok-kelompok HAM, kelompok-kelompok adat, para aktivis, wartawan dan para individu di Papua Barat, LSM-LSM di Jakarta, dan kelompok-kelompok solidaritas internasional.
Penangkapan politik didefinisikan oleh Papuan Behind Bars berupa penangkapan-penangkapan yang tampaknya bermotif politik dan dapat mencakup penangkapan yang terjadi dalam konteks politik seperti demonstrasi atau berbagai wadah yang digunakan oleh orang-orang maupun organisasi yang secara aktif berpolitik; penangkapan terhadap orang-orang yang aktif dalam politik atau kerabat mereka, penangkapan terhadap orang-orang karena dugaan keterlibatan politik mereka; penangkapan terhadap kegiatan politik seperti menaikkan bendera atau terlibat dalam kegiatan perlawanan sipil; penangkapan massal, dan penangkapan yang bermotif politik dengan tuduhan kriminal yang direkayasa. (Yermias Degei/MS)
Yermias Degei | Kamis, 03 April 2014 02:06,MS
Lihat foto di sini: KLIK