Bhineka Tunggal Ika hanya berlaku kalau Semua Mau Mengatakan “Satu Bangsa, Satu Bahasa, Satu ….”, Nah kalau ada yang mengatakan “Saya berbeda”, bukan-kah itu tanda “keberagaman”? Di mana letak “kebhinekaan pendapat?” Apakah kebhinekaan Indonesia hanya dilihat dari ras dan suku-bangsa? Kalau begitu betapa dangkalnya kebhinekaan itu.
Bhineka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda itu satu itu, atau secara umum disebut berbeda-beda tetapi tetap satu. NKRI belum sanggup menerima realitas kebhinekaan itu lebih luas dan lebih dalam daripada sekedar apa yang terlihat di mata fisik, yaitu jenis rambut, warna kulit, budaya dan bahasa dan wilayah geografis. Kebhinekaan pendapat dan pendirian, kebhinekaan organisasi dalam kebersamaan menjadi pertanyaan dan pekerjaan rumah NKRI yang belum tuntas, tambahan dari tak begitu banyak pekerjaan dari pembangunan nasionalisme NKRI.
Nasionalisme Indonesia dan nasionalisme NKRI kelihatan sama, tetapi sebenarnya tidak sama secara prinsipil. Nasionalisme Indonesia ialah sebuah nasionalisme yang Benedict Anderson katakan sebagai sebuah “imagined society”, yang harus diperjuangkan dengan proyek-proyek rekayasa sosial dan rekayasa budaya (social and cultural engineering projects). Sedangkan nasionalisme NKRI anutan Megatati Sukarnoputri dan PDI-Perjuangan ialah “assumed society”, yaitu sebuah nasionalisme yang sudah dipatok walaupun masih dalam proses engineering.
Konsekuensi dari sebuah assumed-society sangat tendensius karena ia memaksakan imaginasi yang sudah fixed, bayangan yang sudah baku sebelum baku, yaitu wajah dari nasionalisme fundamentalis yang melahirkan fundamentalisme nasionalis, yang membabi-buta, yang mengesampingkan logika dan rasional, apalagi moral dan kemanusiaan menjadi terhapus total.
Akibatnya aksis teror oleh negara dianggap halal dan sah, sedangkan pemeberontakan rakyat yang secara hewani menentang apa yang mereka alami sebagai salah dianggap haram dan teroris. Terorisme akhirnya menjadi milik negara untuk menghukum siapa saja kelompok atau oknum yang dianggap menentang negara. Negara sama dengan Tuhan, dan ekspresi nurani dan pembelaan manusiawi rakyat dianggap teroris.
Mereka yang melawan disebut separatis. Padahal NKRi sendiri lupa bahwa ia ada karena tadinya dia sendiri separatis dari Belanda. Ada uangkapan “Maling teriak maling!” itu yang terjadi dalam hal hubungan NKRI dan West Papua. Dulunya dia sendiri separtis, sekarang dia sebut orang Papua separatis.
Itu memang sebuah resiko perjuangan. Orang Indonesia yang dulu disebut separatis oleh Belanda, orang Timor Leste yang tadinya Indonesia tuduh sebagai separatis, toh akhirnya bekerja-sama juga, toh akhirnya menjadi tetangga yang seia-sekata juga. Politik memang begitu, menurut politisi NKRI, tidak ada kawan abadi, dan tidak ada makan siang gratis.
Sultan Hamengkubuwono X menyebut mahasiswa Papua separatis, padahal dia lupa, bahwak ayahnya sendiri secara terbuka dan nyata-nyata mendukung dan memupuk bibit-bibit separatisme menentang Belanda, kini tahta itu sendiri menentang separatisme.
Intinya sebenarnya bukan Bhineka Tunggal Ika, bukan juga “kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, tetapi ialah kerakusan, ketamakan, nafsu dan gengsi.
NKRI dan Raja Jawa saat ini sedang mempertaruhkan harga diri mereka di hadapan bangsa-bansga di dunia, termasuk bangsa-bangsa yang kini berada dalam pendudukannya: Jawa, Madura, Betawi, Sunda, Minang, Bugis, Batak, Papua, Toraja, Minahasa, dan sebagainya, mulai dari Pulau Weh sampai ke Kabupaten Maroke, Provinsi Papua.
Bhineka Tunggal Ika ialah sebuah slogan kosong, tagline pembenaran atas kebobrokan dan terorisme negara terhadap warga negara di wilayah pendudukan Indonesia. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan hanya dimaksudkan untuk mengusir penjajahan Belanda atas Jawa dan Sumatera, bukan untuk memberikan peluang bangsa-bangsa di pulau Borneo, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dengan kata lain, Bhineka Tunggal Ika hanyalah sebuah permainan wayang di Panggung Sandiwara bernama NKRI. Slogan ini tiba-tiba terhapus sendiri pada asat orang Jawa sendiri kebakaran janggot. Malahan dia tuduh para pengikut jejaknya, kaum separatis sebagai musuhnya. Seharusnya penganut Bhineka Tunggal Ika menghargai pendapat yang berbeda, mengakomodir dan mengolahnya menjadi santapan sosial-politik buat membangun Jawa-Sumatera.