SP/Elly Burhaini Faizal – John Holmes
Belum lama ini, Perdana Menteri Kanada Stephen Harper menyampaikan permintaan maaf resmi, atas nama rakyat dan pemerintah, kepada penduduk aborigin (asli) di sana. Di hadapan parlemen pada 11 Juni, Harper meminta maaf atas kebijakan asimilasi yang diterapkan pemerintah di masa lalu yang ternyata sangat merugikan dan menyakitkan masyarakat asli, meminggirkan kebudayaan, warisan tradisi, dan bahasa mereka. Kebijakan tersebut diarahkan bagi anak-anak dari keluarga Indian. Mereka diharuskan masuk ke sekolah khusus yang disiapkan oleh pemerintah untuk “dididik.” Selama lebih satu abad, Indian Residential Schools mencabut 150.000 anak aborigin dari keluarga dan komunitas mereka. Pada1870, pemerintah federal membangun dan mengatur administrasi sekolah-sekolah tersebut. Sebanyak 132 sekolah dibangun di hampir tiap provinsi dan teritori, kecuali di Newfoundland, New Brunswick, dan Prince Edward Island. Sebagian besar sekolah dioperasikan melalui kerja sama dengan gereja-gereja Anglikan, Katolik, Presbyterian atau United Churches.
Anak-anak diisolasi agar lepas dari pengaruh keluarga dan tradisi mereka dan diarahkan untuk masuk ke dalam sistem budaya yang dianggap lebih beradab. Pada saat itu, keyakinan spiritual dan kebudayaan aborigin dianggap inferior dan tidak setara. Bahasa-bahasa lokal, seperti Inuit dan Metis, tidak boleh dipakai di sekolah. Lebih ironis lagi, anak-anak mengalami penganiayaan dan pelecehan seksual selama menuntut ilmu di sekolah-sekolah yang dibiayai pemerintah tersebut.
Nasib mereka tidak jelas. Sebagian anak meninggal dunia ketika mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah berasrama itu. Sebagian lagi tidak pernah lagi pulang ke rumah orangtuanya. Protes mulai bermunculan dan mendorong penutupan sebagian sekolah asimilasi tersebut pada era 1960-1970an. “Perlakuan terhadap anak-anak di Indian Residential Schools merupakan babak menyedihkan dalam sejarah kami,” kata Duta Besar Kanada untuk Indonesia John Holmes kepada SP.
Pemerintah Kanada menyadari sepenuhnya bahwa memisahkan anak-anak dari keluarga dan tradisi mereka merupakan kebijakan yang salah. Ini tidak saja menyangkut isu kultural, tetapi lebih jauh menjadi bentuk kegagalan pemerintah melindungi rakyatnya.
Permintaan maaf pemerintah Kanada, menurut Dubes Holmes, adalah bagian dari program rekonsiliasi antara pemerintah dengan para korban, sebagaimana tertuang dalam kesepakatan Indian Residential Schools Settlement Agreement yang mulai diimplementasikan pada 19 September 2007.
Inilah terobosan signifikan yang dilakukan guna menyembuhkan luka lama yang dirasakan oleh warga masyarakat asli di negara tersebut. Pemerintah menyiapkan kompensasi untuk para korban atas penderitaan dan kerugian yang mereka alami. Langkah-langkah untuk mendukung penyembuhan dan rekonsiliasi juga ditempuh dengan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang ditugasi menyimak kesaksian para korban.
Dubes Holmes mengatakan ada harapan agar baik pemerintah maupun kelompok-kelompok aborigin dapat menempatkan isu perlakuan buruk terhadap anak-anak Indian selama lebih dari satu abad itu sebagai bagian masa lalu,
“Begitu banyak kemarahan dan rasa sakit yang dirasakan. Jadi, kami berharap dengan upaya-upaya rekonsiliasi ini kita dapat melangkah maju,” ujar Dubes Holmes.
Selanjutnya pemerintah, masyarakat aborigin dan seluruh rakyat Kanada bisa bersatu mengatasi berbagai masalah lain. Langkah positif yang dilakukan pemerintah diharapkan dapat membuka sejarah baru relasi orang-orang aborigin dengan masyarakat Kanada yang lain, dengan dilandasi sikap penghormatan satu sama, pemahaman tentang keragaman budaya dan tradisi. Ini semua akan berkontribusi pada terciptanya Kanada yang lebih kokoh bagi semua rakyatnya.
Tantangan Global
Penyelesaian isu-isu yang melibatkan warga Indian hanyalah salah satu dari beragam tantangan yang dihadapi pemerintah Kanada. Di bidang ekonomi, Kanada sedang beradaptasi dengan kenyataan-kenyataan baru dari perubahan suplai ekonomi global. Kendati dapat mempertahankan produktivitas dan ekspornya pada tingkat yang tinggi, Kanada pun terkena imbas dan harus mengatasi kemerosotan ekonomi akibat lonjakan harga minyak dunia. Di satu sisi, kenaikan harga minyak menguntungkan beberapa provinsinya yang kaya cadangan minyak. Meskipun menjadi salah satu penghasil sekaligus eksportir minyak, krisis minyak tetap menjadi tantangan besar bagi Kanada. “Kami tidak berbeda dengan banyak negara yang lain. Kami harus mengatasi tingginya harga minyak, serta tantangan lain seperti lonjakan harga pangan,” ungkap Holmes.
Pemerintah harus bertindak cepat untuk mengantisipasi tantangan-tantangan tersebut dan membuat Kanada kokoh di tengah usianya yang sudah lebih 400 tahun.
Pada Hari Nasional Kanada 1 Juli, semakin dipahami tantangan-tantangan baru akan terus bergulir. Tetapi, keyakinan dan kesadaran Kanada sebagai bangsa multikultur yang harus memberdayakan keragaman yang dimilikinya, telah membuat Kanada berhasil melampaui tantangan-tantangan yang ada. Bon Anniversaire! [SP/Elly Burhaini Faizal]
Last modified: 30/6/08
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/06/30/index.html