Pieter Ell SHJAYAPURA—Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) didesak untuk segera membebaskan Tahanan Politik (Tapol) dan Narapidana Politik (Napol) di seluruh Tanah Papua. Pasalnya, sesuai perjanjian Hensilki tahun 2006, pemerintah pusat telah membebaskan Tapol dan Napol yang terlibat Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tapi Tapol dan Napol di Tanah Papua masih terus menjalankan hukuman di penjara, baik di Jayapura maupun pada penjara pada beberapa kota di Pulau Jawa.
“Kalau Tapol dan Napol di Aceh telah dibebaskan, tapi Tapol dan Napol masih ada di Tanah Papua. Saya minta Presiden SBY saat ini juga segera bebaskan Tapol dan Napol di Tanah Papua tanpa syarat, “ tukas Pieter Ell SH, pengacara hukum tersangka kasus makar saat dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Selasa (22/6) siang terkait pernyataan pollitik dari Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Buchtar Tabuni mendesak aparat keamanan segera menangkap dan memproses hukum massa MRP yang menuntut referendum saat menyerahkan 11 poin tuntutan dari hasil Musyawarah Besar (Mubes) MRP pada Jumat(18/6) siang di Gedung DPRP, Jayapura. Menurut Pieter Ell, penyidik polisi pada saat KNPB melakukan aksi unjukrasa langsung menjerat Buchtar Tabuni dan kawan kawan melakukan makar dan penghasutan serta menuntut kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat. Tapi kini penyidik polisi berbeda saat massa MRP melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Buchtar Tabuni dan kawan kawan yakni menuntut referendum. “Penyidik polisi dulu dan kini berbeda, padahal aturannya sama,” tuturnya. Dia menegaskan, kedepan siapapun yang mendengungkan orasi bernuasa politik tak perlu ditangkap, karena unsur membentuk negara dan memisahkan diri dari NKRI mesti memenuhi 3 unsur unsur penting, yakni ada pengakuan dari negara lain, ada rakyat serta wilayah. “Kalau tidak memenuhi unsur unsur penting tersebut maka apapun yang dilakukan seseorang tak bisa dikategorikan makar,” tukasnya.
Dia menambahkan, Buchtar Tabuni dan kawan kawan adalah korban ketidakprofesionalan aparat keamanan seiring dengan kebijakan Presiden SBY yang dinilai diskriminatif dalam penegakan hukum dan HAM di Tanah Papua. Karena itu, lanjutnya, aparat keamanan dalam hal ini Polda Papua mesti profesional dan proporsional. Pasalnya, apapun tindakan yang dilakukan aparat keamanan dalam mengamankan kasus- kasus yang bernuansa politik di Tanah Papua tak terlepas dari kebijakan Presiden SBY yang belum memberikan grasi bagi Tapol dan Napol diseluruh Tanah Papua. (mdc)