13 October 2016, Cypri Jehan Paju Dale, Harian Indoprogress
PERSOALAN Papua di PBB kini memasuki babak baru. Bukan saja karena telah ada tujuh negara sebagai subjek hukum internasional telah membawanya ke Sidang Majelis Umum sebagai persoalan bersama bangsa-bangsa, tetapi juga karena fokusnya bukan lagi sebatas masalah pembangunan dan hak asasi manusia, tetapi juga hak penentuan nasib sendiri (self-determinasi) dan pemerdekaan dari kolonialisme (dekolonisasi).
Apa sebenarnya yang sudah dan sedang terjadi di dan terkait Papua? Mengapa orang Papua mengatakan Indonesia sebagai kolonial dan berjuang untuk memerdekakan diri? Dan bagaimana dampak solidaritas bangsa-bangsa terhadap perjuangan orang Papua pada dinamika baru di Papua dan Indonesia pada umumnya?
Papua dan PBB
Walaupun Papua sudah lama menjadi perhatian PBB, namun fokus selama ini hanya sebatas pada kerangka pembangunan dan HAM, dan bukan hak self-determinasi dan dekoloniasi.
Selama lebih dari satu dekade terakhir, berbagai lembaga PBB hadir di Papua untuk bermacam-macam proyek terkait dengan agenda Millenium Development Goals (MDGs). Mereka mengurus masalah seperti kemiskinan, good-governance, HIV/AIDS, kekerasan gender, dan masalah surplus kependudukan. Agenda MDGs itu cenderung steril dan terisolasi dari dinamika ekonomi dan politik Papua, terutama masalah ketidakadilan, kekerasan politik, dan pencaplokan sumber daya. Mereka cenderung melihat orang Papua semata-mata sebagai orang miskin yang harus ditolong dengan proyek-proyek. Mereka mengidap penyakit laten yang oleh Antropolog James Ferguson (1997) disebut ‘mesin-mesin anti politik’ (anti-politics machine) karena berkutat pada proyek-proyek teknis dan teknikalisasi kebijakan, tanpa mempedulikan aspek ekonomi politik dari masalah yang ada. Mereka juga abaikan sudut pandang masyarakat setempat dalam melihat masalah dan mencari solusi atas masalah-masalah itu.
Pada era Orde Baru, PBB juga aktif mendukung agenda pembangunan Indonesia di Papua, baik pada level intervensi kebijakan maupun proyek-proyek. Misalnya, PBB dan Bank Dunia mendukung program transmigrasi rezim Soeharto, yang mengakibatkan transisi demografi yang massif di mana jumlah penduduk non-Papua sekarang melampaui jumlah penduduk asli. Yang paling kontroversial adalah bahwa UNDP sudah menyusun “Desain Pembangunan untuk Irian Barat” dan menyerahkannya kepada Pemerintahan Soeharto pada tahun 1967-1968, setahun sebelum Papua menjadi bagian dari Indonesia lewat proses Penentuan Pendapat Rakyat (atau the Act of Free Choice) yang kontroversial itu pada tahun 1969.[1] Hal ini merupakan salah satu bukti tak terbantahkan bahwa PBB (atau setidaknya sejumlah negara yang dominan dalam PBB) sudah memiliki sikap berpihak pada Indonesia sebelum penduduk Papua diberi kesempatan untuk menentukan pendapatnya lewat Pepera.
Berbagai studi sejarah (Saltford 2006, Droglever 2010)[2] telah mengungkap dengan terang benderang bagaimana manipulasi Pepera oleh Indonesia terjadi di depan mata, dibiarkan, dan kemudian disahkan oleh PBB sendiri. Konstelasi kuasa negara-negara besar dalam konteks Perang Dingin membuat PBB menyangkal prinsip ‘hak penentuan nasib sendiri sebagai hak asasi manusia’ yang ada dalam Piagam PBB. Kendati kontroversial dan menuai banyak protes dari Orang Papua, serta dipertanyakan oleh 30 negara yang memilih ‘abstain’, PBB akhirnya mengesahkan hasil Perjanjian antara Belanda dan Indonesia tentang status Papua Resolusi No. 2504 dalam Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1969. Resolusi yang sama juga menegaskan dukungan lembaga-lembaga PBB, serta pemerintahan Belanda, bagi pemerintah Indonesia untuk apa yang disebut ‘pembangunan ekonomi dan sosial di Papua Barat’.[3] Studi Saltford dan Drooglever mengarah kepada kesimpulan bahwa apa yang semula dimaksudkan sebagai ‘the Act of Free Choice’ bagi orang Papua dalam kenyataannya menjadi ‘the Act of No Choice’, dan bahwa dalam hal ini PBB telah melakukan sebuah pengkianatan (betrayal), bukan saja terhadap orang Papua tetapi juga kepada prinsip universal PBB sendiri akan self-determinasi sebagai bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.
Menariknya, berbagai elemen kritis dan kelompok perjuangan emansipasi rakyat Papua tidak menaruh minat pada agenda-agenda pembangunan lembaga PBB dan terus mempersoalkan manipulasi Pepera itu sebagai salah satu akar utama kompleksitas persoalan Papua dalam konstelasi politik internasional sekarang ini.
Pada saat yang bersamaan, berbagai kelompok advokasi hak asasi manusia, baik pada tingkat lokal, regional, maupun trans-nasional, terus melaporkan kondisi HAM di Papua dalam berbagai forum PBB. Mereka melakukan dokumentasi dan distribusi informasi, serta menunjukkan kepada publik dalam negeri dan internasional bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Papua tidak hanya sebatas pada manipulasi proses referendum pada tahun 1969, tetapi tetap terjadi hingga hari ini. Dimensinya pun luas, yaitu kegagalan dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya, serta pelanggaran hak-hak sipil dan politik.
Dalam dua kali Universal Periodic Review (UPR) atas Indonesia (2008 dan 2012) Indonesia mendapat sorotan tajam. UPR adalah mekanisme PBB untuk mengevaluasi negara-negara anggota akan kinerja mereka dalam pelaksanaan berbagai standar HAM internasional. Selain dukungan dari negara-negara di Pasifik, dalam UPR 2012, setidaknya ada 12 negara yang menyoroti kondisi HAM di Indonesia, terutama di Papua. Yaitu, Korea Selatan, Inggris, Amerika Serikat (AS), Swiss, Kanada, Prancis, Jerman, Jepang, Meksiko, Selandia Baru, Australia dan Norwegia. Kendati ditangkis delegasi Indonesia dengan pembelaan diri dan janji-janji perbaikan, Indonesia tidak dapat menghindar dari sorotan bangsa-bangsa ini di forum PBB.[4]
Solidaritas Melanesia
Tidak membaiknya kondisi HAM di Papua, serta praktik impunitas yang semakin menjadi-jadi dalam hukum dan politik Indonesia dewasa ini, membuat rakyat Papua kehilangan harapan pada kemungkinan perbaikan situasi HAM oleh pemerintah Indonesia. Mereka lantas mencari solidaritas di masyarakat dan negara serumpun Melanesia di Pasifik Selatan.
Ikatan dengan masyarakat Pasifik bukan hanya ikatan diplomatik dan ekonomi. Papua dan negara-negara Pasifik adalah satu rumpun kebudayaan Melanesia. Selain itu bangsa-bangsa Pasifiklah yang menerima ribuan pengungsi dari Papua yang harus melarikan diri karena alasan politik pada masa-masa pasca-Pepera. Ikatan solidaritas itu begitu kuat, melampaui ikatan ekonomi (sumbangan finansial) dan hubungan diplomatik yang hendak dibangun Pemerintah Jakarta untuk meredam solidaritas itu.[5]
Pada sayap diplomatik, ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) telah diterima menjadi bagian dari Melanesian Spearhead Group (MSG), kendati belum menjadi anggota penuh. MSG merupakan organisasi politik regional yang menempatkan Indonesia dan ULMWP atau bangsa Papua Barat dalam posisi sama secara politik. Selain itu, melalui koalisi Pasifik untuk West Papua (Pacific Coalition for West Papua), negara-negara Pasifik menggalang solidaritas untuk agenda HAM dan Self-determinasi di Papua Barat.
Buah dari solidaritas itulah yang kita saksikan pada sidang Umum PBB sesi ke-71 tahun ini. Tujuh negara di Pasifik Selatan, masing-masing lewat Perdana Menteri dan Presidennya, menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi HAM di Papua selama lebih dari lima puluh tahun menjadi bagian dari Indonesia.[6]
Secara terus-terang tanpa bahasa diplomasi yang terbelit-belit, mereka mengecam keengganan Indonesia memenuhi kewajiban melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi orang Papua sebagaimana diatur oleh hukum internasional. Mereka juga menegaskan kembali permintaan untuk mengirim Tim Pencari Fakta dari Forum Kepulauan Pasifik (PIF) dan meminta PBB untuk melakukan intervensi dengan memaksa Indonesia menerima kehadiran para Pelapor Khusus (Special Rapporteurs) PBB yang selama ini ditolak kehadirannya di Papua oleh Indonesia.
Kembalinya Agenda Penentuan Nasib Sendiri
Lebih progresif lagi, para pemimpin negara-negara Pasifik itu menyoroti akan sejarah dan politik dari masalah HAM di Papua, yaitu manipulasi proses penentuan nasib sendiri rakyat Papua lewat proses Pepera (The Act of Free Choice) yang kontroversial pada tahun 1969.
Dalam bahasa PM Kepulauan Salomon, “Pelanggaran HAM di Papua dan usaha untuk mendapatkan hak penentuan nasib sendiri adalah dua sisi dari satu koin yang sama”. Dan bahwa pelanggaran HAM itu merupakan akibat dari upaya Indonesia untuk menekan gerakan penentuan nasib sendiri orang Papua.[7]
Gelombang solidaritas Pasifik ini sekaligus menyasar manipulasi yang turut difasilitasi oleh PBB sendiri dalam proses dekolonisasi pada tahun 1960-an. Sekali lagi, menurut PM Kepulauan Salomon, “Prinsip kedaulatan adalah hal terpenting dalam semua institusi yang alasan keberadaannya adalah penghormatan terhadap kedaulatan suatu negara. Jika alasan pembenaran kedaulatan itu berdasar pada rangkaian keputusan yang masih perlu dipertanyakan kebenarannya, maka ada alasan untuk menantang keabsahaan argumen kedaulatan, dalam hal ini terkait dengan Perjanjian New York dan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969.”
Kita ketahui, tujuh negara Pasifik tidak hadir dalam pengesahan itu, karena mereka sendiri belum merdeka. Besar kemungkinan, 30 negara yang abstain dalam Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1969 akan ikut serta mendukung suara negara-negara Pasifik untuk peninjauan kembali status dekolonisasi Papua Barat.
Titik Lemah Indonesia
Bagi publik Indonesia, terutama kaum ultra-nasionalis, diangkatnya persoalan Papua oleh negara-negara Pasifik dalam Sidang Umum PBB dilihat semata-mata sebagai sebuah ganggunan kedaulatan. Mereka mengganggap bahwa integrasi Papua ke dalam wilayah NKRI, betapa pun terjadi lewat proses-proses yang tidak sesuai standar hukum internasional, sudah tidak dapat diganggu-gugat lagi. Dengan kata lain, mereka menganggap bahwa Papua sudah merdeka dengan menjadi bagian dari Indonesia. Dekolonisasi bangsa Papua dianggap sudah rampung dengan peralihan kekuasaan dari Belanda ke Indonesia.
Pada babak baru persoalan Papua ini, Kelompok “NKRI harga mati” ini berhadap-hadapan dengan kelompok masyarakat Papua yang justru melihat integrasi dengan Indonesia sebagai aneksasi (penggabungan paksa), dan bahwa penguasaan Indonesia atas Papua adalah kelanjutan dari kolonialisme.
Gerakan emansipasi Papua ini menaruh harapan pada gelombang dekolonisasi yang belum berlalu. Setelah Timor Leste pada 1999 dan Sudan Selatan pada 2011, pada tahun 2018 Kaledonia Baru akan menjalani referendum di bawah pengawasan PBB untuk memilih apakah mereka akan tetap berada di bawah koloni Prancis atau merdeka.[8]
Negara-negara yang bersolidaritas dengan Papua di Pasifik tampaknya menaruh harapan, sama seperti orang Papua, bahwa Papua akan turut serta dalam gelombang dekolonisasi itu. Langkah awalnya adalah dengan meninjau kembali proses-proses Pepera yang kontroversial itu dan membicarakan Papua masuk kembali ke dalam daftar PBB untuk wilayah dekolonisasi.
Jelaslah di sini bahwa agenda penentuan nasib sendiri dan dekolonisasi kembali menjadi fokus persoalan Papua di PBB. Dan bahwa solidaritas negara-negara di Pasifik, bukan lagi sekadar solidaritas untuk para korban pelanggaran hak asasi manusia yang biasa. Melainkan solidaritas dekolonial yang diperjuangkan lewat mekanisme-mekanisme yang dimungkinkan oleh kesepakatan PBB. Selain pelanggaran hak asasi yang umum, solidaritas ini menyasar juga akar historis dan politik dari situasi di Papua, yaitu pelanggaran hak penentuan nasib sendiri yang menyebabkan kolonialisme terus bercokol di Papua.
Dalam hak jawabnya terhadap pernyataan negara-negara Pasifik pada Sidang Umum PBB, Indonesia menuduh negara-negara Pasifik memakai forum PBB untuk mengintervensi kedaulatan Indonesia dan mengklaim diri telah memenuhi semua standar HAM dan melakukan pembangunan di Papua.
Indonesia menyangkal adanya pelanggaran HAM di Papua dengan menegaskan agenda-agenda pembangunan yang sudah sedang dilakukan.
Namun, sayangnya, Indonesia tidak dapat menyembunyikan kenyataan buruknya situasi hak asasi manusia di Papua. Hingga hari ini tidak ada satu pun kasus pelanggaran HAM di Papua yang diproses tuntas termasuk yang sudah diselidiki Komnas HAM seperti kasus Biak (1998), Abepura (2000), Wamena, Wasior (2001), Abepura (2006), dan Paniai (2014).[9]
Penghilangan hidup di Papua bukan saja peristiwa masa lalu, tetapi terus terjadi hingga hari ini. Sejak insiden penembakan di Paniai pada 9 Desember 2014 saja, ada setidaknya 18 remaja Papua yang diterjang peluru aparat keamanan Indonesia.[10]
Indonesia juga sulit memakai argumen pembangunan, bahwa oleh Indonesia Papua sudah dibangun dengan baik. Dan bahwa oleh pemerintahan Joko Widodo sekarang ini, pembangunan itu sudah sedang dipercepat dan diperluas. Sebab penderitaan yang dialami oleh orang Papua, bukan saja karena kurangnya pembangunan (misalnya pendidikan dan kesehatan di pedalaman), tetapi juga terjadi dalam dan melalui pembangunan itu sendiri.
Sudah seringkali disingkap bahwa cara pembangunan dijalankan di Papua itu lebih merupakan bagian dari masalah daripada solusi.[11] Pembangunan hanya menjadi semacam kedok untuk eksploitasi sumber daya alam, pencaplokan tanah dari masyarakat, dan perngrusakan lingkungan. Pembangunan itu juga disertai dengan program transmigrasi dan migrasi sukarela yang menyebabkan transisi demografis yang spektakuler yang mengakibatkan orang Papua kini menjadi minoritas di tanah mereka sendiri.[12] Alih-alih mensejahterakan orang Papua seperti yang dijanjikan, pembangunan itu juga berorientasi pada investasi dan dikuasai oleh elit ekonomi, militer, dan politik yang memburu untung dari kekayaan alam Papua yang berlimpah.
Pencaplokan sumber daya dan invasi penduduk ke wilayah orang asli mengakibatkan apa yang disebut settler colonialism, kolonialisme dengan menguasai tanah dan jumlah penduduk (koloni).
Akibat settler colonialism itu, Indonesia akan kesulitan untuk menjadikan kemajuan kota-kota di Papua sebagai bukti keberhasilan Jakarta membangun Papua. Sebab struktur ekonomi-politik di kota-kota itu justru dikuasasi oleh penduduk Indonesia non-Papua, dan orang Papua hanya terdiri dari 20-40 persen penduduk kota-kota yang bertumbuh pesat itu.
Kendati pemerintahan Jakarta menunjukkan bahwa saat ini Papua sedang habis-habisan dibangun, antara lain dengan pengembangan kawasan industri, tambang, dan perkebunan, serta infrastuktur jalan, pelabuhan laut, dan bahkan kereta api, Indonesia tidak dapat menjawab gugatan orang Papua, ‘untuk siapa dan untuk apa pembangunan itu?’. Karena bagi mereka pembangunan seperti itu justru merupakan ancaman dan bukan solusi.
Selain itu, Indonesia tidak dapat menyembunyikan kompleksitas sejarah masuknya Papua ke Indonesia. Sebelum Pepera pada tahun 1969, Indonesia sudah melakukan invasi militer dan operasi intelijen. Pepera itu sendiri dilakukan di bawah pengawasan aparat keamanan, dan melanggar prinsip referendum yang ditegaskan dalam Perjanjian New York tentang proses referendum itu. Lebih lanjut, berbagai operasi militer telah melahirkan skandal hak asasi manusia yang belum terselesaikan hingga sekarang.
Semua itu menempatkan Indonesia pada posisi sulit. Di satu sisi harus menanggapi solidaritas internasional atas nasib rakyat Papua yang menuntut pembicaraan yang terbuka atas apa yang terjadi di Papua. Di sisi lain, harus secara konkret melakukan perubahan kebijakan pembangunan di Papua, menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, serta mencegah proses pelanggaran baru baik oleh militer maupun oleh korporasi-korporasi nasional dan trans-nasional di Papua.
Celakanya baik militer dan oligarki ekonomi-politik inilah yang sedang bercokol dalam lingkaran kekuasan politik seputar Presiden Indonesia. Mereka itu tampaknya tidak rela bahwa penghormatan hak hidup orang Papua mengganggu bisnis mereka di Papua.
Dalam babak baru persoalan Papua, Indonesia tidak hanya berhadapan dengan emansipasi rakyat Papua serta solidaritas internasional terhadap gerakan mereka. Tantangan sama besarnya justru datang dari mafia ekonomi-politik Indonesia yang sudah sekian lama mengambil untung dari sistem kolonial di Papua.
Dalam babak baru ini, kelompok-kelompok yang berkepentingan seperti itu berpotensi menentang perubahan kebijakan Indonesia di Papua ke arah yang lebih manusiawi. Bahkan ada kemungkinan bahwa kelompok itu akan memengaruhi Pemerintah untuk kembali melakukan pendekatan militeristik untuk meredam emansipasi rakyat Papua serta solidaritas internasional.
Jika itu terjadi, maka semakin rumitlah posisi Indonesia dalam mengurus dirinya sendiri di Papua.
Gerakan Emansipasi
Bagaimanapun, aktor utama dalam babak baru persoalan Papua di PBB ini bukanlah negara-negara Pasifik atau Pemerintah Indonesia di Jakarta. Subjek utama adalah rakyat bangsa Papua sendiri.
Merekalah yang di ujung kolonialisme Belanda yang masih bercokol di Papua hingga tahun 1961, telah berjuang dan mempersiapkan negara-bangsa mereka sendiri. Merekalah yang menuntut hak penentuan nasib sendiri yang digagalkan dalam proses-proses yang difasilitasi PBB pada tahun 1963-1969. Merekalah yang selama lebih dari lima puluh tahun, kendati ditumpas dengan berbagai operasi kekerasan oleh Pemerintah Indonesia, tetap berjuang mengakhiri kolonialisme. Merekalah yang sekarang menolak model pembangunan kolonial, dan mencari alternatif pembangunan mereka sendiri. Merekalah yang mengalami berbagai persoalan penindasan dan ketidakadilan, diskriminasi dan perampasan sumber daya, dan melakukan usaha-usaha emansipasi.
Kendati diiming-imingi dengan uang dan jabatan lewat Otonomi Khusus (yang sebenarnya hanya merupakan bagian kecil dari kekayaan negara yang didapat dari Papua), mereka tetap ingin menjadi tuan rumah atas alam dan budaya mereka. Sebagian dari mereka memang memilih memakai peluang Otsus, baik untuk benar-benar memperbaiki situasi ketertindasan dan pemiskinan yang dialami masyarakat, maupun demi mengamankan kehidupan mereka sendiri. Tetapi Otsus ternyata tidak menyurutkan kehendak untuk tetapi menjadi Subjek politik dan ekonomi sendiri.
Dewasa ini, gerakan-gerakan emansipasi itu mengalami transformasi menjadi gerakan progresif damai berbasis pada mobilisasi massa, produksi pengetahuan, pengorganisasian diri, serta diplomasi.
Fokus perhatian mereka adalah mengakhiri kolonialisme yang mereka alami baik ketika berhadapan dengan Belanda maupun Indonesia. Pengalaman penderitaan akibat kekerasan, pembangunan, operasi militer, serta marginalisasi melahirkan kesadaran kolektif bahwa keselamatan, kesejahteraan, dan kebaikan mereka hanya akan dijamin dengan mengurus diri mereka sendiri sebagai bangsa merdeka.
Dari kalangan muda, lahir kelompok kritis yang dengan terang benderang mengerti kolonialisme lewat pembangunan Indonesia, dan yang menyingkap sejarah mereka, yang sudah dibelokkan Indonesia dan sekutunya di PBB.
Gerakan Papua Merdeka itu terus meluas dan diungkapkan baik secara terang-terangan maupun terselubung. Dan kendati organisasi-organisasinya beragam dan tidak sungguh-sungguh solid, mereka bergerak ke arah yang sama: menjadi bangsa merdeka.
Mereka tidak menampik tuduhan dari Indonesia bahwa mereka adalah separatis, dalam pengertian sebagai kelompok yang ingin memisahkan diri. Dan dalam argumen mereka, memisahkan diri dari Indonesia itu merupakan jalan memerdekakan diri dari kolonialisme yang terjadi dalam berbagai cara, mulai dari manipulasi proses dekolonisasi pada tahun 1963-1969 dan operasi-operasi militer setelahnya, sampai pada eksploitasi pembangunan kolonial, setter colonialism, rasisme dan stigmatisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia sekarang ini.
Senjakala Kolonialisme
Dalam transformasi gerakan emansipasi Papua itu, serta dalam babak baru persoalan Papua di PBB, kita sedang menyaksikan senjakala kolonialisme. Segala hal buruk yang telah terjadi atas nama nasionalisme di Papua hendak diakhiri oleh orang Papua lewat jalan damai dan dalam mekanisme-mekanisme yang dimungkinkan secara internasional.
Di hadapan gerakan emansipasi rakyat Papua itu, nasionalisme Indonesia di Papua yang dibangun dengan kekuatan militer dan pembangunanisme selama limah puluh tahun mengalami ujian berat.
Operasi-operasi militer ternyata tidak berhasil meng-Indonesia-kan Papua. Pembangunan yang terus diperluas dan dipercepat pun, kendati membawa keuntungan berlipat ganda bagi ekonomi Indonesia dan para negara sekutu kapital, tidak dapat menyakinkan orang Papua bahwa mereka dapat hidup sejahtera, adil, dan makmur dalam NKRI. Indonesia yang mendapat kesempatan lebih dari lima puluh tahun membangun kehidupan bangsa yang sejahtera, adil, dan makmur di Papua justru dialami oleh rakyat Papua sebagai kekuatan kolonial.
Sebagian orang Indonesia barangkali tersentak bahwa kesatuan yang dikira kokoh ternyata begitu rapuh, persis ketika orang Papua dengan jujur mengakui bahwa mereka tidak merasakan solidaritas senasib-sepenanggungan dengan bangsa Indonesia.
Solidaritas senasib-sepenanggungan itulah yang sedang mereka bangun untuk mendapatkan jalan keluar atas berbagai persoalan yang mereka alami. Solidaritas itu pula lah yang mereka sedang galang dan dapatkan dari negara-negara Pasifik dan anggota PBB lain, untuk menyelesaikan masalah Papua secara bermartabat.[13]
Dalam babak baru persoalan Papua ini, tampaknya solidaritas itu menjadi salah satu kunci.
Apakah Indonesia akan mampu kembali merekatkan solidaritas dengan rakyat Papua yang sudah terluka raga dan hatinya? Apakah Indonesia akan mengambil langkah konkret mengubah kebijakan di Papua secara total sehingga meyakinkan orang Papua bahwa mereka tetap dapat merdeka, adil, dan makmur, dalam negara-bangsa Indonesia?
Apakah orang Papua sendiri akan berhasil menggalang solidaritas senasib-sepenanggungan di kalangan mereka sendiri, untuk sama-sama memperjuangkan nasib bersama mereka dalam hubungan dengan Indonesia dan bangsa-bangsa?
Apakah bangsa-bangsa Pasifik akan tetap bersama orang Papua di saat-saat sulit atau akan lebih tergoda dengan kerjasama politik dan ekonomi dengan Indonesia dan sekutu-sekutunya? Apakah solidaritas itu akan meluas ke negara-negara anti-kolonial di Afrika dan Latin Amerika; ataukah mereka tidak peduli?
Dan apakah bangsa-bangsa yang bergabung dalam PBB akan mendengarkan perjuangan orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, atau akan sekali lagi mengkhianati mereka seperti pada tahun 1963-1969?
Di hadapan solidaritas itu, Indonesia sedang diuji. Yang jelas pendekatan militeristik akan memperburuk situasi HAM dan memicu solidaritas atas Papua. Percepatan dan perluasan pembangunan yang eksploitatif dan kolonial pun sudah ditentang oleh orang Papua, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bersilat-lidah dalam forum diplomatis, seperti yang dilakukan pada Sidang Umum PBB ke-71, September 2016, jelas tidak menolong siapapun dan tidak memperbaiki situasi riil di Papua.
Tidak ada pilihan rasional dan etis lain bagi Indonesia, selain memperbaiki diri secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi di Papua.
Pada babak baru Papua di PBB, kita sedang menyaksikan rangkaian peristiwa penting dalam sejarah kolonialisme. Apakah kolonialisme di Papua akan berakhir dengan perubahan radikal dalam cara Indonesia bernegara di Papua atau akan berujung dengan lahirnya sebuah negara-bangsa baru, Papua Barat.?
Penulis adalah peneliti pada Insitute of Social Anthropology, Bern University, Switzerland; Menulis-Mengedit buku Paradoks Papua (2011) dan Papua Bercerita (2015).
—————
[1] http://papuaweb.org/dlib/pbb/fundwi/fundwi-1968-design-development.pdf
[2] http://cip.cornell.edu/DPubS?service=Repository&version=1.0&verb=Disseminate&view=body&content-type=pdf_1&handle=seap.indo/1106943310#;
http://resources.huygens.knaw.nl/indonesischebetrekkingen1945-1969/DekolonisatieVanIndonesieEnHetZelfbeschikkingsrechtVanDePapoea/papers_pdf/drooglever
[3] http://daccess-ods.un.org/access.nsf/Get?Open&DS=A/RES/2504(XXIV)&Lang=E&Area=RESOLUTION.
[4] http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/UPR/Pages/idsession1.aspx
[5] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160330192051-20-120642/tiba-di-fiji-rombongan-luhut-bawa-bantuan-senilai-us-5-juta/
[6] https://www.youtube.com/watch?v=16-zBTz06G4
[7] https://www.youtube.com/watch?v=W6mL5RikDfs
[8] http://www.un.org/press/en/2015/gacol3284.doc.htm
[9] https://m.tempo.co/read/news/2016/09/30/120808604/pasifik-tantang-indonesia-bongkar-pelanggaran-ham-di-papua
[10] http://tabloidjubi.com/artikel-340-sejak-insiden-paniai-berdarah-18-remaja-papua-telah-ditembak-aparat-keamanan.html
[11] http://www.sastrapapua.com/2016/06/penjajahan-lewat-pembangunan-di-papua.html
[12] http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/02/demographic-tensions-papua-a-time-bomb.html
[13] http://tabloidjubi.com/16/2016/05/14/the-journey-of-our-nation/