Usai berkunjung ke Papua Barat 13 Januari 2014, pertemuan singkat empat menteri luar negeri negara-negara pasifik yang juga bagian dari Melanesian Spearhead Groub (MSG), Lukas Enembe selaku Gubernur Papua menerima kunjungan tersebut. Misi yang digagas Indonesia dengan menuangkannya dalam bentuk kerjasama ekonomi (join statemen ekonomi), salah satunya adalah tidak mengganggu wilayah kedaulatan masing-masing.
Menanggapi hal itu, seluruh rakyat Papua dan Papua Barat menolaknya. Bagi mereka, seharusnya, MSG berkunjung ke Papua terkait resolusi KTT-MSG yang mana menegasikan penentuan nasib sendiri West Papua. Bahkan, ketemu dengan mereka yang punya aplikasi ke MSG. Hal serupa juga dinyatakan oleh negara Vanuatu yang merupakan corong kemerdekaan Papua Barat saat ini, sehingga menarik diri dari misi tersebut.
Walau kehadiran menlu MSG seolah-olah pro-Pemerintah pusat dan daerah, tetapi, mereka (pejuang Papua) masih punya amunisi politik yang mendapat dukungan penuh dari jajaran negara Vanuatu.
Perlu diketahui, delegasi MSG selama berkunjung, seluruh biaya ditanggung negara Indonesia. Sehingga apa yang mereka lakukan selama di Papua dan Indonesia, sesuai dengan pemberi dana. Kecuali, kedatangan mereka didukung oleh suatu badan independen. Bagaimanapun juga, empat menlu MSG yang hadir ke Papua, seluruh pembiayaan perjalanan ditanggung Indonesia sebagai negara pengundang. Sehingga, ketika ruang dialog yang di inginkan orang Papua agar delegasi bertemu dengan komponen yang bersebrangan dengan Indonesia, tak realisasi. Ya, kemauan Jakarta (pusat) tak mau memakai dana negara bagi kepentingan menyambungkan persoalan Papua. Mereka fokus pada upaya kerjasama ekonomi saja.
Sampai saat ini, kementerian politik, hukum dan keamanan, sebagai pihak yang menjalankan misi ini, belum membuka berapa nilai uang negara yang digunakan.
Sebenarnya, dikatakan empat menteri luar negeri tidak benar. Karena Kanaky Sosialis masih menunggu referendum pada September tahun ini. Sehingga, yang berstatus menlu pada misi ini hanyalah tiga menlu (PNG, FIJI dan Salomon). Namun, konteks Melanesian Spearhead Groub, seluruh anggota dalam groub ini disebut menteri luar negeri negara-negara MSG termasuk Sosialis Kanaky. Inilah pengartian sesungguhnya dari delegasi tersebut.
Dan pada akhirnya, kedepannya setelah status Papua Barat masuk sebagai keanggotan MSG, giliran berikutnya, daerah Melanesian seperti Maluku, NTT, NTB terikut didalmnya. Sebab, zona dagang dan politik semacam ini sudah marak berdiri dibelahan dunia. Sebut saja, ALBA di Amerika Latin maupun UNI Afrika.
Tuntutan Papua medeka sekarang harus berhadapan dengan regulasi ekonomi internasional yang menjadi barometer dunia. Adanya APEC, G-77, AFTA, TPPA dan MSG. Asia-Pasifik pun dipersiapkan bahkan mempersiapkan diri menyambut berlakunya pasar bebas Asian-Pasifik. Sudah nampak polemik tersebut. Geliat yang terjadi di Papua juga merupakan ekses dunia pula. Pertarungan hegemoni ideologi kapitalis versus sosialis, tak luput dari oriestasi masa kini, termasuk bumi Papua Barat. Adanya perlombaan menancapkan kepentingan ekonomi, memicu eskalasi politik regional dan internasional.
Sampai proses ini, pada akhirnya, pertarungan ekonomi dan perjuangan Papua Merdeka, terus bertolak belakang. Dimana perjuangan mewujudkan negara Papua Barat sebagai satu wilayah politik yang sejajar dengan negara-negara dunia. Apa yang terjadi dengan kehadiran delegasi menteri luar negeri melanesia, merupakan pola lama yang terus dipakai dalam mengatasi masalah Papua. Cara kasi uang sebagai bentuk suap, kerjasama ekonomi demi mengalihkan tuntutan demokrasi dan hak asasi Manusia, budaya dan politik kedaulatan.
Pemerintah Indonesia tentu mengangap bahwa babak baru Papua paska kunjungan empat menlu MSG adalah bagaimana pemerintah Indonesia mengatasi persoalan tuntutan kemerdekaan dalam zona dagang dunia. Sebab, dunia saat ini bergaining pada konteks market. Sementara gerakan Papua Merdeka menilai bahwa aplikasi kemerdekaan dilaihkan kedalam bentuk kerjasama ekonomi, bentuk pelecehan nyata bagi cita-cita pemenuhan hak, yang terus dilakukan oleh penguasa Indonesia yang notabene menjunjung tinggi mukadimah konstitus Republik Indonesia “Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa, Maka dari itu Penjajahan harus di hapuskan”.
OPINI | 14 January 2014 | 21:30, Kompasiana, Oleh Arkilaus Baho