Kompas/Ichwan Susanto
Kamis, 12 Februari 2009 | 22:22 WIB
JAKARTA, KAMIS — Pemilu akan berlangsung, tetapi persolan Pengolahan Sumber Daya Alam, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Keadilan, Otonomi Khusus (Otsus) dan Demokratisasi di Papua tidak bergeming sedikit pun. Akankah pemilu kali ini akan membawa perubahan bagi masyarakat Papua?
Hal itu diungkap Direktur Hubungan Eksternal The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial) Poengky Indarti dalam jumpa pers Koalisi dari Jakarta untuk Papua di Jakarta, Kamis (12/2). Lebih lanjut Poengky menjabarkan apa saja yang terkandung dalam tiga persolan tersebut.
“Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Papua sejak tahun 2005 hingga 2008 menduduki peringkat ke-33 dari 33 provinsi di Indonesia dengan indeks pembangunan manusia terendah,” ungkap Poengky saat menjelaskan masalah pengelolaan sumber daya alam di Papua. Menurut Poengky, hal ini sungguh kontras kalau melihat melimpahnya kekayaan alam di sana.
Eksploitasi alam Papua, menurut Poengky, menghasilkan emas, tembaga, perkebunan sawit dan tebu, dan kekayaan hutan yang sangat melimpah. “Tetapi sumber daya manusia penduduk Papua masih terbelakang,” sesalnya.
“Pelanggaran HAM yang terjadi dulu, sekarang dan mungkin juga nanti tidak pernah dituntaskan sampai sekarang oleh pemerintah pusat maupun pemerintah propinsi,” Poengky menyinggung soal HAM dan keadilan di Papua. Dia mencontohkan kasus pelanggaran HAM berat seperti di Wamena (2003) dan Wasior (2001) belum tuntas juga, karena DPR-RI, DPD, Jaksa Agung, Presiden, serta Komnas HAM hanya membisu.
Poengky menambahkan bahwa situasi ini semakin lengkap karena Perwakilan Komnas Ham, Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Papua yang didirikan atas dasar UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Pasal 45 tidak berjalan.
“Otsus di Papua dalam keadaan sekarat,” ungkap Poengky ketika mulai menjelaskan persolan ketiga. Berdasarkan Otsus, menurut Poengky, dibuatlah Majelis Rakyat Papua (MRP), yang kedudukannya sejajar dengan Gubernur dan DPRD. Namun, lembaga yang seharusnya menampung aspirasi seluruh masyarakat Papua asli malah dimatikan fungsinya. “Kami mensinyalir, hal itu sengaja dilakukan supaya MRP yang kedudukannya sangat strategis ini tidak menjelma menjadi gerakan pemberontakan,” Poengky menambahkan.
Kolapsnya Otsus, menurut Poengky, menjadi pemicu pemekaran-pemekaran wilayah yang sangat cepat di Papua dan gagalnya demiliterisasi. “Kedua hal ini sangat mengancam persatuan orang Papua sehingga memicu berbagai macam konflik dan kekerasan, baik politik maupun sosial ekonomi, di tingkat publik maupun domestik,” tegas Poengky.