Peningkatan militer Indonesia dan kegiatan milisi ala Timor Leste mengancam akan mengacaukan Papua dan kawasan. Papua adalah contoh utama proses dekolonisasi yang gagal. Integrasi Indonesia di Papua, dengan keterlibatan Amerika Serikat, menjadi perang tidak resmi terhadap penduduk asli.
Indonesia mengambil alih Papua dari Belanda pada 1960-an melalui proses kontroversial yang disponsori PBB dan ditengahi oleh Amerika Serikat. Sejak saat itu, kaum Melanesia penduduk asli Papua telah memprotes pendudukan Indonesia. Integrasi Papua ke Indonesia diimplementasikan dengan keterlibatan Amerika Serikat. Itu merupakan perang tidak resmi terhadap penduduk asli yang menimbulkan diskriminasi rasial dan agama, perampasan besar-besaran atas tanah adat, penyerangan terhadap mata pencaharian dan budaya setempat, serta pelanggaran HAM berat lainnya termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan pemerkosaan. Investor asing dan sekitar 1 juta migran non-Papua mendominasi ekonomi wilayah dan administrasi sipil dan militer, memarginalkan dan merampas hak 1,2 juta penduduk asli Papua.
Pelanggaran HAM brutal di Papua merupakan ciri khas rezim otoriter Presiden Soeharto selama 32 tahun. Pelanggaran terus berlanjut di bawah pemerintahan berbagai presiden berikutnya, termasuk penembakan terhadap demonstran damai, penyiksaan, dan penahanan sewenang-wenang.
Peningkatan aktivitas militer dan milisi Indonesia, bertujuan menggagalkan upaya penduduk asli Papua meraih kemerdekaan tanpa kekerasan, mengancam akan mengacaukan Papua dan wilayah. TNI mengerahkan ribuan pasukan ke Papua serta mendukung pembentukan milisi pro-pemerintah di Papua, dengan pelatihan, senjata, dan arahan. Unit-unit tersebut, dikenal sebagai Satgas Merah Putih, serupa dengan kampanye kekerasan di Timor Leste pada 2004 dan yang terus meneror kamp-kamp pengungsi Timor Barat di tahun-tahun berikutnya.
Integrasi Indonesia atas Papua, melalui proses dekolonisasi yang melanggar standar internasional, merupakan fondasi dari konflik saat ini. Setelah Perang Dunia II, Indonesia, baru merdeka dari Belanda, berusaha menguasai Papua dengan mengklaim semua tanah jajahan Belanda.
Para pemimpin Papua secara eksplisit menolak integrasi dengan Indonesia. Belanda meluncurkan inisiatif untuk mempersiapkan pemerintahan sendiri Papua. Di bawah rencana Belanda, penduduk asli Papua menyelesaikan pemungutan suara di seluruh wilayah untuk perwakilan Dewan Nugini yang baru dibentuk. Pada 1961, Dewan meratifikasi, dengan persetujuan resmi Belanda, adopsi bendera nasional Papua Bintang Kejora, lagu kebangsaan, dan nama baru untuk wilayah tersebut: Papua Barat. Ketika PBB menolak mendukung klaim teritorial Indonesia, pemerintah Soekarno menggunakan cara militer, termasuk invasi Trikora untuk “membebaskan” Papua.
Pemerintahan Presiden AS saat itu John F. Kennedy berusaha meredakan konfrontasi militer habis-habisan antara Indonesia dan Belanda serta memulai negosiasi yang disponsori PBB antara kedua pihak, berpuncak pada Perjanjian New York 1962. Penduduk asli Papua tidak memiliki suara dalam perjanjian, yang mengakhiri kedaulatan Belanda dan mendirikan pemerintahan sementara PBB. Perjanjian tersebut juga menyerukan orang-orang Papua menggunakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri “sesuai praktik internasional”, termasuk persetujuan bebas dan terinformasi serta hak pilih universal.
PBB menyerahkan kendali Papua ke Indonesia pada 1963, setelah periode administrasi singkat dan tidak memadai. Setelah memicu pembalikan parah perkembangan politik dan ekonomi wilayah, Indonesia secara resmi mengonsolidasikan kedaulatan atas Papua melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) 1969. Hanya 1.025 “perwakilan” (dari 800 ribu orang Papua) yang berpartisipasi, dengan dikelola dan dikendalikan Indonesia. Meskipun pengamat PBB melaporkan pelanggaran serius terhadap proses penentuan nasib sendiri dan 15 negara dengan keras menentang validitasnya, Majelis Umum PBB menerima hasilnya.
Polisi Indonesia telah membantu militer dalam misi melawan pejuang separatis di Kabupaten Puncak Jaya, Papua Barat. (Foto: via RadioNZ)
Seperti Timor Leste, Papua telah bertahan dalam operasi militer dan pendudukan Indonesia. Indonesia membenarkan operasi militer di Papua atas dasar menjaga stabilitas internal dan memerangi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak 1960-an, gerakan pembebasan nasional multifaksi populer OPM menggunakan taktik perlawanan bersenjata dan diplomasi internasional dalam melawan pemerintah Indonesia.
Penggunaan kekuatan militer Indonesia terhadap warga sipil, umumnya tanpa pandang bulu dan berlebihan, seringkali brutal, termasuk serangan udara besar-besaran dan penggunaan napalm di pedesaan. Meskipun jumlah total orang Papua yang terbunuh tidak diketahui, perkiraan pejabat gereja dan pengamat internasional menyebutkan angka lebih dari 100 ribu jiwa (kira-kira sepuluh persen populasi).
Kebijakan AS yang bermasalah
Keterlibatan AS dengan penjajahan Indonesia di Papua dan dengan penolakan hak penentuan nasib sendiri Papua berawal dari peran sentral AS dalam Perjanjian New York 1962.
Dukungan AS untuk militer Indonesia serta kegiatan ekonomi dan program sosial berbahaya secara sosial dan lingkungan di Papua berkontribusi pada pelanggaran HAM parah terhadap penduduk asli Papua.
AS mengecilkan masalah HAM dan penentuan nasib sendiri Papua demi kepentingan komersial dan strategis di Indonesia.
Keterlibatan AS menengahi Perjanjian New York 1962 membuka jalan bagi dominasi Indonesia atas Papua dan menumbangkan hak penentuan nasib sendiri penduduk asli Papua. Keterlibatan itu berlanjut melalui pengabaian efektif terhadap pelanggaran HAM besar-besaran Indonesia di wilayah Papua dan dukungan langsung untuk perusahaan AS di Papua yang merusak lingkungan dan mata pencaharian orang Papua.
Pembuat kebijakan maupun media AS menaruh perhatian besar pada Papua selama 1960-an. Namun, setelah memainkan peran utama dalam meredakan konflik Belanda-Indonesia atas Papua, AS melepaskan keterlibatan lebih lanjut yang berarti. Penderitaan rakyat Papua tenggelam dalam ketidakjelasan. Pemerintah Indonesia bebas berbuat sesukanya serta didukung secara politik dan finansial oleh AS, menghalangi pengawasan internasional atas peristiwa di Papua dengan memblokir akses ke pemantau PBB dan jurnalis asing.
Terlepas dari banyak bukti pelanggaran HAM yang dilaporkan setiap tahun oleh Departemen Luar Negeri AS, Amerika memberi militer Indonesia peralatan dan pelatihan selama beberapa dekade. Pasukan keamanan Indonesia telah menggunakan peralatan yang dipasok AS, termasuk helikopter, pengebom B-26, pesawat kontra-pemberontakan Bronco OV-10, jet tempur F-5E Tiger, dan senapan mesin M-16, dalam serangan terhadap warga sipil Papua. Pentagon terlibat dalam latihan militer bersama dan melatih pasukan Indonesia melalui program Joint Combined Exchange Training (JCET) dan International Military Education and Training (IMET).
Perusahaan AS, tertarik pada sumber daya alam Indonesia, tenaga kerja berupah rendah, dan lingkungan peraturan yang longgar, mendominasi kebijakan AS terhadap Indonesia dan Papua. Salah satunya adalah perusahaan multinasional pertambangan Freeport McMoran. Tambang emas dan tembaganya di pegunungan glasial Papua adalah yang terbesar di dunia. Lobi anggota dewan Freeport dan mantan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger, kontribusi kampanye besar-besaran kepada politisi AS, dan manuver melalui kelompok-kelompok seperti US-Indonesia Society yang berbasis di Washington, D.C. memblokir respons kebijakan efektif AS terhadap praktik represif Indonesia.
Kedutaan Besar AS di Jakarta memberikan dukungan diplomatik besar untuk kepentingan perusahaan-perusahaan tersebut dalam menghadapi upaya masyarakat Papua, masyarakat sipil Indonesia, dan baru-baru ini pemerintah Indonesia untuk menuntut pertanggungjawaban perusahaan atas dampak sosial dan lingkungan serta dugaan kesepakatan bisnis tidak adil dengan rezim Soeharto.
Penduduk asli Papua secara luas memandang Freeport sebagai pijakan kontrol Indonesia atas tanah mereka. Mereka tanpa henti memprotes pelanggaran HAM dan degradasi lingkungan terkait operasi perusahaan. Itu termasuk: pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, pengambilalihan tanah adat, pemukiman kembali paksa masyarakat lokal, masuknya migran non-Papua, penghancuran mata pencaharian lokal dan lokasi ritual penting, dan pembatasan ketat terhadap kebebasan bergerak orang Papua.
Sejak awal 1970-an, militer Indonesia menggunakan infrastruktur yang dibangun Freeport (bandara, jalan, pelabuhan) sebagai sarana serangan mematikan terhadap pemilik tanah adat Papua di sekitar tambang. Tindakan itu dirancang untuk melindungi tambang dan menghilangkan perlawanan terhadap kedaulatan Indonesia.
Dalam langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya, Overseas Private Investment Corporation (OPIC) mencabut asuransi risiko politik senilai US$100 juta Freeport pada 1995, menyimpulkan dampak sosial dan lingkungan perusahaan tersebut melanggar peraturan AS. OPIC menyatakan tambang telah “menciptakan dan terus menimbulkan bahaya lingkungan, kesehatan, atau keselamatan besar sehubungan sungai yang terkena dampak tailing, ekosistem darat di sekitarnya, dan penduduk setempat.”
Kekerasan baru-baru ini di Papua Barat telah membuat Jokowi memikirkan strategi untuk merespons. (Foto: Antara/Zabur Karuru/Reuters)
Namun, secara umum, dukungan AS secara bilateral melalui Bank Ekspor-Impor serta multilateral melalui Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk kegiatan ekonomi dan program sosial berbahaya secara sosial dan lingkungan di Papua telah memberikan kontribusi pada pelanggaran HAM dan memperkuat tuntutan penentuan nasib sendiri Papua. Program-program tersebut termasuk transmigrasi, pengendalian kelahiran nasional, pendirian perkebunan pertanian dan pertambangan, serta operasi eksploitasi sumber daya alam lainnya.
Rekomendasi kebijakan luar negeri AS
AS harus mengakui aspirasi sah penentuan nasib sendiri Papua dan menawarkan dukungan nyata untuk upaya menyelesaikan konflik Papua secara damai.
AS harus menyerukan penghentian segera peningkatan militer Indonesia di Papua serta penarikan semua pasukan.
Melalui bantuan dan subsidi luar negeri kepada berbagai perusahaan, AS harus memastikan penghormatan penuh terhadap standar AS dan internasional mengenai HAM dan perlindungan lingkungan.
Transisi politik Indonesia dari Orde Baru menawarkan kemungkinan mencapai solusi jangka panjang atas konflik puluhan tahun di Papua. Pemerintah Indonesia pernah secara terbuka mengakui kekejaman HAM serta dinamika sosial dan ekonomi tidak adil yang memperkuat aspirasi kemerdekaan Papua. Pemerintah meminta pertanggungjawaban Freeport atas dampak lingkungan dan menjanjikan penyelidikan HAM. Pemerintah juga menyusun Otonomi Khusus, termasuk pengakuan khusus atas hak tanah adat serta bagian yang jauh lebih besar dari manfaat keuangan dari eksploitasi sumber daya.
Langkah-langkah tersebut merupakan langkah pertama yang penting, tetapi tidak memadai. Itu terlalu sedikit dan terlalu terlambat untuk mengatasi kekhawatiran Papua mengenai tata kelola, hak atas tanah, penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam, serta HAM. Langkah-langkah ad hoc semacam itu juga kemungkinan gagal, karena tidak memiliki kerangka keseluruhan dialog bilateral dan inklusif yang tidak mengasumsikan hasil.
Peluang penyelesaian konflik secara damai telah tertutup. Energi pemerintahan mantan Presiden Abdurrahman Wahid di awal era Reformasi terkuras oleh sederet tantangan mengatasi warisan rezim Soeharto: korupsi endemik, lemahnya struktur penegakan hukum sipil, militer kuat yang menyalahgunakan hak, kegagalan ekonomi, serta konflik antaretnis dan agama. Sementara itu, para pemimpin Papua memperkuat semangat kemerdekaan akibat kekerasan pasukan keamanan Indonesia.
Pengalaman lima dekade terakhir menunjukkan penggunaan kekuatan militer Indonesia tidak akan mencapai penyelesaian konflik langgeng. Menegaskan kembali dukungan AS untuk integritas teritorial Indonesia adalah respons kebijakan yang tidak memadai. Sebaliknya, AS harus mengejar kebijakan resmi yang mengakui aspirasi sah penentuan nasib sendiri Papua dan secara eksplisit menyatakan kesiapan untuk mendukung upaya penyelesaian konflik Papua secara damai, sebaiknya melalui dialog antara Papua dan pemerintah Indonesia atau, jika perlu, melalui penentuan nasib sendiri yang tepat dan valid.
Menurut analisis Abigail Abrash Walton di Institute for Policy Studies, kebijakan AS harus menggunakan empat tujuan panduan: 1) demiliterisasi dan mengakhiri pelanggaran HAM di Papua; 2) dukungan untuk konsolidasi demokrasi yang dipimpin sipil di Indonesia sebagai sarana meningkatkan prasyarat penyelesaian konflik tanpa kekerasan; 3) memastikan bantuan luar negeri AS serta program bantuan ekspor dan investasi memperkuat upaya Papua untuk pembangunan berbasis masyarakat dan berkelanjutan; serta 4) memobilisasi dukungan internasional untuk penyelesaian konflik tanpa kekerasan.
Penangguhan keterlibatan militer AS dengan Indonesia setelah peran kekerasan militer Indonesia pada 2004 di Timor Leste merupakan langkah yang disambut baik. AS harus melanjutkan penundaan sampai pemerintah Indonesia menarik pasukan serta melucuti dan membubarkan milisi di Papua, menuntut personel militer dan milisi yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM, dan menggelar pembicaraan serius dengan penduduk asli Papua.
Dukungan mengakhiri konflik di Papua berarti menghilangkan hambatan terhadap stabilitas Indonesia dengan membatalkan utang luar negeri pemerintah Indonesia dan mendukung pengawasan sipil penuh terhadap militer dan mengakhiri peran militer dalam urusan politik-ekonomi. Dukungan AS dibutuhkan untuk upaya organisasi non-pemerintah, lembaga Indonesia, dan badan internasional untuk menyelidiki kondisi HAM di Papua.
Menurut analisis Abigail Abrash Walton di Institute for Policy Studies, AS harus memastikan bantuan luar negeri serta program bantuan ekspor dan investasi menjunjung tinggi dan mempromosikan penghormatan penuh terhadap standar AS dan internasional mengenai HAM, perlindungan lingkungan, serta hak masyarakat adat atas kepemilikan dan pengelolaan tanah adat. Perusahaan AS yang beroperasi di luar negeri harus diharuskan mengadopsi kode etik yang dipantau independen untuk memastikan penghormatan terhadap HAM, pekerja, dan perlindungan lingkungan. AS harus terus memberikan bantuan keuangan dan dukungan politik kepada kelompok masyarakat sipil yang mendapat kepercayaan dari komunitas konstituen dan bekerja di tingkat akar rumput di bidang pendidikan hak hukum, bantuan hukum, pemantauan HAM, pembangunan berbasis masyarakat, dan perlindungan lingkungan.
Dalam upaya memperbaiki ketidakadilan di masa lalu, para pemimpin Papua telah meminta Indonesia, AS, dan pihak lain untuk meninjau kembali keadaan yang mengarah pada integrasi Papua ke Indonesia. Kementerian Luar Negeri Belanda mengumumkan pada Desember 1999, mereka melakukannya dengan pemeriksaan ulang historis atas penyerahan kedaulatan. Pada saat yang sama, negara-negara kepulauan Pasifik Selatan Vanuatu dan Nauru telah menyatakan dukungan untuk upaya penentuan nasib sendiri orang Papua, sehingga menghancurkan konsensus internasional bahwa Papua harus tetap berada di bawah kendali Indonesia. Seperti yang telah didesak oleh anggota Kongres AS, Amerika harus bertindak serupa dengan meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk melakukan tinjauan menyeluruh terhadap Pepera 1969.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky