Kembali mau diingatkan disini bahwa: “Tuhan tidak merubah nasib kaum (manusia) sebelum kaum (manusia) itu merubah nasibnya sendiri”. Karena sebagaimana kebiasaan sebelum ini kita selalu secara berlebih menyerahkan nasib kepada Tuhan bukan kepada Tuan, pemilik nasib itu sendiri yakni manusia Papua Barat. Karena itu disini saya ingin tekankan kembali kepada para pejuang dan utamanya pemuka tidak boleh selalu menggantungkan nasib rakyat Papua Barat pada Tuhan.
Karena Dia sama sekali tidak ada peran, hanya perasaan kita, yang kita ciptakan sendiri, seolah Dia ada peran dan ikut ambil bagian dalam perbuatan dan rencana kita mau merdeka. Padahal Dia, sekali lagi, sama sekali tidak ikut campur tangan ambil bagian dalam pembebasan dan kemerdekaan bangsa Papua Barat.
Demikian juga saudara-saudara se-Papua jangan banyak berharap pada pemeluk agama seagama kita, tapi percayalah pada kebaikan agama, kalau mau, kalau bisa, tapi sering diingatkan selama ini sebagaimana dikatakan Frederick Nietzche, sesungguhnya peran agama hanya, sekali lagi hanya, hiburan atas ketidakmampuan kita atas kekalahan dalam kompetisi kehidupan. Hiburan itu yang karena ketidakmampuan kita, kita sering katakan “nanti Tuhan akan menolong dan menghancurkan musuh”, atau sebagai ada “tangan-tangan tak kelihatan akan menolong”, itulah isi kosong dari apa yang dinamakan agama sesungguhnya. Maka dengan sendirinya pesan agama hanya menghibur hati kekalahan yang kita alami demikian kata Nietszhe dalam “Zaratustra”-nya.
Bagi yang percaya akan adanya kebenaran peran Tuhan, saya mau ingatkan disini, bahwa Tuhan adalah bukan kebenaran pada dirinya kita pandang tapi kebenaran pikiran kita. Apakah Tuhan pikir tentang kita? Siapa tahu Tuhan pikir tentang Papua mau merdeka? Padahal itu hanya pikiran orang Papua sendiri yang menciptakannya tentang adanya peran Tuhan didalam usaha dan perbuatannya. Manusia Papua akhirnya diperbudak oleh ciptaan pikirannya sendiri tentang Tuhan dalam otaknya.
Tapi bagi yang percaya peran Tuhan ada dalam kemerdekaan Papua silahkan, saya tidak melarang orang berfikir demikian sebagaimana juga saya mau berfikir sebaliknya tidak mau dilarang. Sebab pemaksaan pemikiran secara etika tidak etis, sebab ada pertanyaan atas dasar apa dan sejauh mana kita memaksakan kebenaran pikiran kita kepada orang lain, apalagi dari sudut pandang HAM sudah melanggar hak asasi keyakinan orang lain berarti melanggar dan bertentangan dengan HAM. Tapi ingat! Saya mau katakan disini bahwa jasa langsung dari Tuhan atau peranan manusia atas nama seagama itu tidak ada sama sekali, sungguh itu utopia psikologi dan terapi bagi orang kalah.
Karena itu bagi kita agama hanya sebagai spirit bagi kemantapan mental dalam berjuang kalau bukan hanya sekedar hiburan. Allah/Yesus/Tuhan siapapun barang-barang itu, sekalipun tidak perduli akan nasib orang Papua. Semua hanya perasaan pemeluk agama belaka, atas dasar ketidak berdayaan dan karena kalah. Semua manusia mengatakan Tuhan akan menolong. Tapi kenyataannya Tuhan tidak berbuat apapun. Manusia sendiri yang kerja lalu kita katakan perbuatan Tuhan, gilakah kita? Tuhan dalam perbuatan manusia sesungguhnya tidak pernah terbukti. Semua keberhasilan atas jerih-payah manusia sendiri bukan perbuatan Tuhan.
Tuhan tidak ikut bekerja bersama kecuali hasil akhir kerja manusia sebagai karunia Tuhan atau berkat Tuhan. Semua itu omong kosong para pengajar agama (Ustadz, Pendeta dan Pastor). “Ini semua rencana Tuhan”, kita manusia selalu mengatakan demikian padahal Tuhan tanpa peran apa-apa selain manusia sendiri. Manusia banyak berdo’a seakan Tuhan yang buat kita Papua merdeka dan berharap pada orang seagama kita adalah adanya suatu harapan yang karena rasa solidaritas itu muncul dari bibir yang jujur karena percaya pada satu Tuhan, Yakni Yesus Kristus, atau Allah SWT, namun kenyataannya telah banyak terbukti bahwa semua itu adalah jauh dari harapan itu, malah sebaliknya bertolak belakang dari yang kita harapkan.
Banyak pejabat baik milter maupun non militer seagama dengan kita, namun kelakuan tidak sesuai harapan sebagimana harapan kita karena satu iman dan agama, malah karena satu iman yang kita percayai berbuat baik pada kita itu, malah sebaliknya berbuat baik demi jabatan, demi uang, dan demi nasionalisme dia sendiri, bukan atas nama Yesus Kristus yang membawa pesan kedamaian untuk umat manusia. Semua pejabat mengatasnamakan Agama kita berharap dapat berpihak kepada kita, justeru kebalikannya terbukti Amir Sembirng telah banyak membantai masyarakat Pulau Biak dalam tahun 1999, Albert Dien di Wamena 1977, Sudomo yang datang ke Papua merebutnya tahun 1962, dan LB Murdani yang datang berperang dengan Belanda untuk menginfasi Papua, kemudian menganeksasinya sampai sekarang dan banyak kasus lain lagi yang melibatkan para pejabat beragama sama dengan agama kita umumnya orang Papua yakni beragama Kristiani melakukan itu.
Kita sekarang orang Papua jangan percaya pada mereka yang tujuan sesungguhnya datang ke Papua tidak lain hanya membunuh, merampok, mencuri, dan menindas hak-hak atas tanah air kita atas nama Yesus, kebaikan, kasih, damai, atau apapun, sebab mereka semua omong kosong belaka. Mereka juga para pejabat ini yang seagama dengan agama kita orang Papua telah memainkan kekuasaan atas nama kasih Tuhan demi kepentingan urusan perut mereka sendiri dengan mendekati kita sebagai seagama. Sebab iblis, sekali lagi Tuhan mereka bukan Tuhan Yesus Kristus lagi namun Tuhan mereka Nasionalisme, Jabatan/naik pangkat dan uang.
Kesimpulannya kita kecewa, karena manusia yang seagama dengan kita yang sebelumnya yang kita harapkan dapat menolong malah sebaliknya membunuh kita. Adalah suatu kesimpulan cara berfikir kita yang sudah salah sebelumnya, karena sesungguhnya agama tidaklah sama dengan manusia yang menganut agama, manusia berbeda dengan agama. Demikian sama halnya dengan Tuhan, sebab Tuhan juga sangat lain, Tuhan sesungguhnya adalah damai, kebenaran, keadilan kebebasan, karena itu Tuhan kita adalah Tuhan idealisme Papua Merdeka, titik! Karena itu kebenaran kesimpulan kebenaran logika demikian adalah bahwa yang akan membebaskan manusia Papua adalah oleh Papua sendiri, bukan siapa-siapa.
Bahaya Dochotomi
Thema perdebatan dichothomi memperhadap-hadapkan kalau mau dilanjutkan, menurut saya kita hanya membuang waktu, apalagi thema perdebatannya berdimensi dichotomisasi antara gunung-pesisir/pulau disatu pihak dan senior dan yunior dilain pihak. Energi dan pikiran seharusnya kita kerahkan untuk bagaimana gerakan menuju persatuan dan kesatuan nasional Papua, yang sudah ada tinggal hanya, apa yang harus dilakukan segera didepan mata dan itu harus sekarang kebutuhannya dikerjakan bukan lagi mau diskusi apalagi wacana tentang mundur kebelakang. Tapi kenyataanya sesuatu yang sudah lewat kembali dipertanyakan sampai akhirnya kita saling membela diri atau mempertahankan kebenaran argumentasi sebagai benar dengan menyalahkan yang lain, adalah suatu kesia-sian yang merugikan gerakan kita sendiri.
Karena itu saya terus terang, menganggap perdebatan demikian ini tidak penting, karena tidak membawa manfaat pada pemecahan masalah (problem solving), kita sesungguhnya, malah sebaliknya kita terpolarisasi sehingga terjebak pada dan buat masalah baru buruk (problem maker)! Karena itu kita patut menduga (IA) dan HW orang yang “mabuk” dan masuk dunia maya (internet) dalam keadaan “meter”. Sebab dalam komunikasi sesama anak bangsa, tidak menggunakan otak dengan logika pikiran yang benar, tapi kacau, persis orang “mabuk”. Ketika bicara dengan Tuan Octovianus Mote, yang diangkat adalah soal Gunung dan Pesisir, memperhadapkan- hadapkan, demikian juga dengan Tuan Andy Ayamiseba sebelumnya. Padahal Tuan Octo, jelas memaksudkan dalam konteks nasehat pada Yunior, IA dan HW, demikian juga dengan Tuan Andy Ayamiseba.
Karena itu wajar kalau kita merasa kurang mantap, jadi seharusnya jangan ada, misalnya pemimpin muda tinggal diluar, dalam rantauan, masih berfikir pesisir-gunung macam itu sangat meragukan tapi juga merugikan gerakan dan persatuan kita. Sehingga akhirnya kita memalukan diri sendiri dihadapan rakyat papua, pada penjajah dan juga internasional. Lebih parahnya dan ini fatal akibatnya, mengaku berjuang untuk Papua M, tapi masih berfikir distingtif, dichothomis, partial, seakan negara Papua Barat itu ada dua, atau sehingga akhirnya, kita diperhadapkan pada pertanyaan mau berjuang mana; Pesisir atau Gunung. Itu absurd, tidak masuk akal.
Padahal harusnya kita selaku pejuang sekaligus pemimpin Muda Papua jangan lagi berfikir distingtif apalagi bawa-bawa simbol dichotomi antara sesama element anak bangsa sebagai dari mana tempat lahir, dan itu dihinggapi pada kita-kita yang diharap menjadi pejuang dan merebut wilayah kembali. Malah seharusnya, pemikirannya lebih maju, kalau boleh sebagaimana gagasan Thomas Wanggai meliputi semua wilayah Melanesia dari Timor, Maluku, sampai Kepulauan Fasifik Ras Melanesia itu baru orang angkat topi buat anda para pemimpin muda. Demikian juga penghargaan bisa diberikan dan diakui sebagai hebat kalau sekualiatas dengan Arnold Ap, budayawan dan atropolog, yang secara sistematis menciptakan lagu Membesak, menembus batas wilayah PB yang diproklamirkan pada 1 Desember 1961.
Tapi kita yang muda-muda malah ditambah lagi mengaku pejuang Bangsa West Papua membuat wacana dichotomis yang tidak produktif, atau malah mundur kebelakang. Padahal rakyat Papua yang dikampungpun tahu bahwa bicara soal Papua apalagi masalah M, adalah semua orang Papua, atau malah lebih maju lagi, seluruh penduduk PB hari ini, tanpa dichotomi. Tapi kalau masih ada pikiran distingtif, nanti ada pertanyaan begini, Papua yang mana? Kalau begitu Papua yang mana mau anda perjuangkan, sebagai pemimpin muda Papua yang mana? Kalau bicara Papua itu ya, satu, bangsa West Papua. Pertanyaan khusus bisa dimunculkan disini misalnya IA atau maksud HW, dengan Pesisir atau Pantai itu, maksudnya Negara West Papua mana yang mau anda perjuangkan?
Padahal pandangan orang lain, orang luar, orang Papua sama saja. Contoh pertama, dulu sa deng teman-teman (komen) di Jakarta ada kejadian begini: “Sa deng teman-teman, komen semua Papua, dimana asal dan darimanapun kami lahir dan besar (pesisr/pulo/ gunung), juga orang tua amber kelahiran Papua, semua orang Jawa menganggap kami orang Papua sama saja. Kami dianggap satu, sama dan selesai. Lalu ada berita dalam tayangan di TV, ada gambar orang Papua koteka, atau lain-lain keterbelakangan. Siapapun kami, ko mo dari pesisir ato puloka, anak orang Bugis, Buton, Jawa, dan Melayu, orang lain (Jawa, Indonesia) dong tra anggap siapa ko, dong pukul rata habis. Dong pikir sama saja, padahal sa tau, sa pu teman ada yang tra merasa koteka, tapi itu ko pu mau, ko pu pikiran, tapi dorang? Orang lain (Australia atau Indonesia), dong tra mo tau, koteka, gunung-pesisir/ pulo itu semua termasuk ko, sa atau siapun kita hanyalah Papua satu dan sama.
Contoh kedua, Persipura dong main bola disenayan, Jack Mania menunjukkan sikap perang pada semua pendukung persipura tanpa ampun. Pendukung persipura sendiri terdiri dari anak-anak besar lahir di Papua, siapapun mereka, dari ayah-ibu dari mana lahir, tapi saya amati semangat nasionalisme ditunjukkan disana adalah anak-anak Papua, ada yang dari Ambon, Timor, Buton, Bugis, Makassar, Menado atau orang tua Melayu atau Jawa sekalipun mereka menyatu dalam panji nasionalisme dan heroisme nasional Papua.
Hasilnya dong bunuh anak jack mania satu, dan semua barang-barang tata kota Jakarta habis di rusak oleh anak-anak Papua dalam semangat nasionalisme Papua. Saya intip dan dan saya amati secara intelektual dangkal saya, hasilnya saya berkesimpulan bahwa, anak-anak itu menunjukkan sikap nasionalisme Papua, tanpa membedakan, ayah dan mama siapa, gunung-pulau, pesisir, keturunan atau apapun simbol dochotomi, tenggelam begitu saja dihadapan nasionalisme Papua.
Semua itu menunjukkan nasionalisme baru dalam pembentukan terus berlangsung dewasa ini. Ko ato Sa, singkatnya; Sa deng Ko, yang ada hanya Komen, Pesisir atau Gunung, –juga mama Jawa bapak Dani, Ekari (orang gunung), (mohon dimengerti banyak anak koteka gunung di Jawa sebagai mahasiswa banyak maitua Jawa dan anaknya, tapi bukan kura-kura ninja), –itulah cita-cita negara West Papua yang diproklamirkan 1 Desember 1961, tanpa ada antara sa deng ko, tapi ko ato sa, yang ada hanya sa, West Papua. Demikian juga deng pandangan orang luar dan cita-cita kemerdekaan Papua Barat, satu dan sama. Kita, komen semua, tetap satu dan sama, juga tetap koteka, jubi, gunung, pulo, pesisir, tetap satu, Bangsa West Papua.
Tapi kalau di Jayapura, kita mengalami sebagaimana alam pikiran, seperti saya atau mungkin Saudara HW dan memang terbukti kalau kita ada di Jayapura era tahun 70-an dan 1980-an, (sekarang juga masih ada)– ada banyak pola penduduk, dua pola budaya pesisir-gunung-pulau, atau antara amber atau Papua. Maka jika anak-anak Papua terlihat kontras yaitu konteks pikiran sempit sebagaimana saya dan HW, itu memang ada, dan itulah proyek devide et impera yang kita tidak menyadari. Masih adakah pikiran demikian sekarang dalam konteks Bangsa Papua mau merdeka? Apalagi dihinggapi tokoh-tokoh muda Papua dan tinggalnya di Jawa dan diluar negeri lagi? Demikiankah pikiran harapan pemimpin muda Papua? Tapi sayangnya masih ada, orang itu saya dan HW, mengelikan! Coba baca kutipannya berikut ini :
“Papua Barat pasti merdeka, lambat atau cepat! Karena
Saudara Radongkir, Saudara Wainggai dan kita semua
kerja sama-sama dengan strategi kita masing-masing.”
Membaca kutipan diatas kita semua mungkin, dan saya secara pribadi memang merasa heran, menapa kami terlibat sejauh itu, dengan mudah membagi kerja perjuangan dengan strategi sendiri? Saya dan semua lain yang muda juga dengan kata-kata HW ini: “trategi kita masing-masing”. Berarti kita seperti juga HW adalah tipe pemimpin muda yang indisipliner, yang tidak taat asas, prinsip dan dasar-dasar perjuangan organisasi. Hal demikian terlihat juga dalam diskusi dengan senior, seperti dengan Tuan Andy Ayamiseba beberapa waktu lalu dan selanjutnya dengan Octo Mote, menunjukkan hal ini. Menurut saya gaya kita semua yang muda juga HW selain indisipliner, tidak taat asas-asas perjuangan OPM yang berbahaya bagi organisasi perjuangan bersama. Konklusinya benar apa yang dikatakan oleh Sdr Daniel Radongkir bahwa :
“jika kita melangkah kedepan dan ada individu maupun organisasi yang masih berjuang dengan gaya ekslusif-manipulatif, mereka bukan saja disebut sebagai provokator, tetapi istilah yang tepat adalah DESTRUKTOR”.
Kesimpulannya saya menganggap bisa benar bahwa HW dan kita yang lain semua dapat dikatakan punya agenda sendiri yang terselubung, suatu tuduhan yang sebenarnya tanpa dasar tapi bisa terbenarkan, berdasarkan fakta-fakta argumentasi diatas, sehingga kita juga HW, terjebak pada tuduhan bahwa; bukan berjuang untuk Bangsa West Papua satu, tapi diluar negeri (Australia) sana, tidak lebih sebagai destructor, juga lebih mungkin mencari popularitas. Posisi kita semua bersama HW, bisa dianggap benar sebagaimana oleh Sdr Daniel Radongkir katakan sebagaimana kutipan. Maka itu ada baiknya kita kutip kembali disini sebagai saran dan nasehat kepada kita semua, agar waspada terhadap hal seperti ini lengkapnya kutipan itu sbb :
“Kepada seluruh rekan seperjuangan, jika kita melangkah kedepan dan ada individu maupun organisasi yang masih berjuang dengan gaya ekslusif-manipulatif, mereka bukan saja disebut sebagai provokator, tetapi istilah yang tepat adalah DESTRUKTOR”.
Akhirnya kita patut menyayangkan progresifitas anak-anak pejuang muda Papua dan Saudara HW yang over, sehingga terkesan tidak sopan atau tidak taat asas-asas pada organisasi perjuangan dalam agenda perjuangan bersama dalam membebaskan diri dalam kungkungan penjajahan. Kita akhirnya terus di jajah, pemikiran dikhotomi bahaya bagi kesatuan dan persatuan bangsa Papua Barat.
*** ***