Oleh Maria D. Andriana
Jayapura, 27/1 (ANTARA)- Meskipun sudah banyak perempuan menjadi sarjana di Papua, tetapi aturan adat di provinsi paling timur di Indonesia itu masih dianggap kurang memberikan ruang gerak bagi kaum hawa.
Ketentuan mas kawin misalnya, yang secara adat sebenarnya diharapkan untuk melindungi perempuan, kadang-kadang disalahtafsirkan sebagai belenggu jika dianggap sebagai “alat pembeli” istri.
Ondohafi (ketua adat) di Waena, Jayapura, Ramses Ohee mengaku sering mencoba mendobrak peminggiran perempuan secara adat, meskipun pada beberapa bagian ia mengakui ada hal-hal yang memang tidak terhindarkan.
“Saya sudah bisa membawa perempuan masuk para-para adat untuk ikut duduk berunding, tetapi ada hal-hal tertentu yang tidak bisa ditembus, misalnya soal hak waris,” katanya dalam wawancara di rumahnya di Waena, Rabu, 24 Januari 2007.
Sebagai tetua adat, Ramses mengaku bisa menerima perempuan masuk berunding asal perempuan itu mempunyai kemampuan. Dalam keluarganya, perempuan sangat dihargai, seperti contoh adik bungsunya bersekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi dan kini duduk sebagai Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan Papua, Sipora N. Modouw.
Mas kawin, menurutnya, sebenarnya merupakan aturan adat yang bagus dan justru untuk menghargai perempuan, meskipun dalam praktek seringkali dikeluhkan karena terjadi penyimpangan.
Dalam adat suku-suku di Papua, seorang laki-laki yang akan menikah harus membayar mas kawin yang nilai dan jenisnya berbeda pada tiap suku, untuk menghargai nilai perempuan itu.
Bentuk mas kawin bisa ternak, kapak batu, perhiasan manik-manik dan benda pusaka pada suku-suku yang diikuti berdasarkan suku pengantin perempuan, tetapi pada masa kini bisa diganti dengan menyetarakannya dengan uang.
Menurut Ramses, setelah menikah, seorang perempuan akan dibawa masuk ke klan suaminya dan dia memang tidak mempunyai hak waris dari keluarganya sendiri.
“Perempuan yang menikah hanya mendapat hak makan dalam arti jika ia meminta bahan makanan misalnya buah kelapa, ubi, ternak pada saat-saat tertentu, ia akan mendapatkannya tetapi tidak mendapat pembagian warisan yang lain apalagi tanah,” tegas Ramses yang bibirnya merah bekas mengulum pinang-sirih.
Aturan tersebut ada sisi positifnya yaitu keluarga suamilah yang harus bertanggungjawab terhadap semua keperluan istri, meskipun tidak diingkari adakalanya istri mendapat perlakukan buruk dari suami yang sudah merasa “membelinya” dengan mas kawin.
Dalam masyarakat Papua, keluarga yang memiliki anak perempuan bisa dianggap memiliki “tabungan” karena kelak kemudian hari keluarga itu akan mendapat mas kawin.
Di dalam sukunya, Ramses tidak melihat ada perempuan yang tidak menikah, karena semua perempuan dewasa selalu menikah dan menghasilkan keturunan.
“Kalau perempuan tidak menikah maka keluarganya akan rugi,” ujarnya sambil tertawa. Memperjuangkan kesejahteraan masyarakat menurut Ramses tidak hanya satu sisi laki-laki saja atau perempuan saja, melainkan harus kedua-duanya secara bersama-sama.
Ramses mengakui bahwa jika ada istri yang tidak dapat menikah, persoalannya akan dipecahkan bersama oleh suami-istri dan dibantu tua-tua adat, misalnya apakah suami diijinkan untuk menikah lagi guna mendapat keturunan atau ada solusi lain.
“Masalahnya tidak gampang, sebab jika menikah lagi, akan muncul persoalan mengenai pembayaran mas kawin, karena selama ini uang mahar dibayar bersama oleh klan suami,” katanya.
Sebagai ondohafi atau ondofolo, Ramses membawahi 380 kepala keluarga yang dipimpin oleh lima kepala desa, dan ia bersyukur karena warganya tidak ada yang melakukan poligami.
Menurutnya, agama cukup berperan dalam mengajak masyarakat untuk menjalani hidup dengan tetap memegang tegus adat yang masih relevan dengan kehidupan modern serta meninggalkan adat yang tidak sesuai lagi.
Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan Papua, Sipora N.Mondouw, MM mengatakan pihaknya mengatur strategi untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan yaitu strategi pendidikan, penguatan ekonomi dan kesehatan.
Menurutnya, orang Papua sebenarnya mempunyai kemampuan ekonomi yang tinggi untuk menyejahterakan keluarga, dengan cara meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia.
“Saya selalu tekankan apabila ada yang menjual tanah, harus dapat dipergunakan sebagai alat investasi melalui pendidikan anak-anak, agar setiap jengkal tanah yang terjual dapat kembali dalam bentuk SDM yang berkualitas,” katanya.
Sipora mengaku sangat prihatin dengan kenyataan bahwa banyak tanah rakyat yang terjual, tetapi orang Papua tetap miskin dan tidak berpendidikan sehingga kurang dapat berpartisipasi dalam gerak dan laju pendidikan.
Baginya, pendidikan untuk anak-anak termasuk perempuan sangat penting karena dari tangan perempuan akan lahir kehidupan dan perempuan yang berpendidikan tentu lebih dapat merawat dan membimbing anak-anak untuk tumbuh menjadi manusia yang sehat dan berpendidikan.
Meskipun tanpa menyebut angka statistik, Sipora merujuk minimnya jumlah perempuan yang menjadi pegawai negeri atau mereka yang berprestasi dalam gerak pembangunan di Propinsi Papua.
Badan Pemberdayaan Perempuan Propinsi Papua selama ini melakukan advokasi, pelatihan dan pembinaan yang sasarannya adalah meningkatkan harkat, martabat dan kesejahteraan perempuan, misalnya mengusulkan regulasi yang berperspektif gender, latihan ketrampilan dan sedikit-sedikit juga memasukkan aspek kesehatan reproduksi.
“Memang banyak perempuan yang belum mengetahui hak-hak dan cara untuk meningkatkan dirinya,” katanya.
Dalam menyusun strategi pembinaan itu pihaknya merangkul semua pihak baik pemerintah, masyarakat adat, kaum perempuan itu sendiri maupun pihak-pihak lain yang dianggap dapat membantu.
Salah satu mitranya, Hj Rahmatang, perempuan kelahiran Bone, Sulawesi Selatan yang banyak berkiprah di kalangan muslimah Papua.
Rahmatang mengaku, ia bukan hanya merangkul kaum muslimah Papua yang kebanyakan pendatang dan sebagian kecil mualaf , tetapi juga tidak segan-segan duduk bersama dengan pemuka agama lain untuk ?mencerahkan? kaum perempuan.
“Saya masuk masjid, gereja, pura untuk berbicara mengenai perempuan dan hak-haknya,” kata Rahmatang yang kini sedang menyiapkan pembinaan usaha rumahtangga bagi anggota Fatayat, muslimah Nahdlatul Ulama di Papua.
“Bagi saya sama saja, apakah dia Kristen, Katolik, Hindu, Islam, harus diajak bangkit bersama untuk meningkatkan kualitas diri melalui pendidikan agar perempuan sadar pentingnya ilmu, kesehatan dan upaya menyejahterakan diri,” kata Rahmatang yang juga menjadi dosen itu.
Memang adat di Papua masih meminggirkan kaum perempuan khususnya yang kurang berpendidikan dan tinggal di daerah terpencil, namun meskipun mengakui gerakannya amat kecil, Rahmatang ingin memanfaatkan jaringan NU dan Fatayat NU untuk bergerak dan bersama dengan organisasi perempuan lain memberdayakan perempuan Papua dan seluruh bangsa.
“Itulah bentuk nasionalisme dan sumbangsih saya kepada bangsa dan negara,” kata perempuan lajang yang sering berceraham mengenai kehidupan keluarga itu.Ia menuturkan, agama apapun pasti baik dan tidak diskriminatif, sehingga adat tidak boleh mneminggirkan perempuan.
Database Acuan Dan Perpustakaan LKBN ANTARA