Jayapura, Jubi – “Agenda perjuangan kami masih tetap menuntut referendum. Agenda perjuangan penentuan nasib sendiri melalui mekanisme internasional itu solusi terakhir bagi Rakyat West Papua,” kata ketua I Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat, Agust Kossay kepada penulis, melalui telepon genggamnya, pertengahan Februari 2014.
Gerakan rakyat Papua menuntut refredum mengemuka melalui pembentukan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pada 2008 bertepatan dengan peluncuran International Lawyers for West Papua (ILWP) di Inggris. Gerakan sipil kota ini berhasil memobilisasi ribuan masa rakyat. Kampanye tertutup hingga terbuka meluas ke seluruh wilayah Papua walaupun kini militer dan polisi sudah membatasi gerakan mobilisasi massa para aktivis muda yang radikal ini.
Pembatasan itu tidak membatasi kampanye mereka. Suara mereka masih menggema di jalan-jalan, di kampung-kampung di seluruh wilayah Papua. “Refredum…” teriak orator kemudian dibalas massa aksi “yes” hingga berulang kali setiap kali ada aksi mobilisasi massa dalam jumlah besar maupun kecil. Tembok-tembok di kota Jayapura tidak sulit kita temukan kata “Refredum”. Kata itu kiranya menjadi familiar di kalangan akar rumput.
Gerakan perjuangan yang kebanyakan digalang anak muda ini menjadi perhatian khusus aparat negara, sorotan media pemberitaan dan perbincangan publik dan kalangan aktivis Papua Merdeka. Sebagian aktivis Papua, kelompok pro integrasi dan pemerintah Indonesia memastikan kampanye referendum satu agenda yang tidak mungkin dan tidak boleh terjadi dengan beragam alasan.
Aktivis pro Papua merdeka beralasan Papua belum masuk ke dewan dekolonisasi PBB. Banyak pertanyaan, apa prosesnya dan sebagainya mempersoalkannya? Karena itu, sejumlah kelompok yang kebetulan bergabung atau berafiliasi dengan faksi politik Papua Merdeka yang lain terang-terangan menentang agenda referedum. Referedum dilihat sebagai agenda yang tidak mungkin dan sulit membawa Papua lepas dari Indonesia.
Kemudian, kelompok pro Indonesia mengatakan referedum suatu yang mustahil. Status Papua sudah final, menjadi bagian integral dari NKRI melalui PEPERA 1969. Catatan hasil PEPERA pada 19 November 1969 dengan nomor 2054 menjadi intrumen mereka mengatakan masalah Papua sudah final. Karena itu, gerakan sipil pro integrasi muncul untuk mempertahankan status final itu. Barisan Merah Putih (BPM) dan mungkin Lembaga Mis Reclaserring Indonesia (LMRI) bagian dari itu. “Kami akan rekrut 9.000 anggota di seluruh Papua,” kata Komando LMRI Imam Safey kepada penulis dalam satu wawancara di Waena, Kota Jayapura.
Gerakan pro Integrasi itu tentunya mendapat dukungan pemerintah pusat melalui kekuatan militer. Pemerintah Jakarta memasok ribuan pasukan ke Papua memback-up pasukan yang ada di Papua. Puluhan orang Papua pro kemerdekaan dan warga sipil menjadi korban, termasuk puluhan anggota KNPB yang terang-terangan kampanye referedum. Sebagian dari mereka menjadi tahanan politik di seluruh wilayah Papua, misalnya Jayapura, Nabire dan Jayawijaya.
Puluhan anggota KNPB ditangkap, ditahan, diinterogasi, dianiya, diadili, dipenjarakan dan bahkan dibunuh. Kata Agust Kossay, 29 anggota KNPB tewas di tangan TNI/POLRI Indonesia. Mereka tertembak saat melaksanakan aksi damai maupun tidak melakukan aksi, tertembak mati karena sudah ditargetkan seblumnya dengan kecurigaan dan kebencian, namun mereka tidak pernah mundur dengan slogannya “Lawan. Kita harus mengahiri. Referedum Solusi untuk Papua”.
Kata Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, upaya negara melalui militer mempertahankan Papua dengan kekerasan itu membuka jalan menjawab aspirasi aktivis Papua yang menuntut refrredum. Korban yang terus berjatuhan bisa mengundang reaksi dunia internasional yang sudah berkoar-koar di beberapa negara. Reaksi itu bisa datang melalui berbagai cara, tergantung situasi Papua dalam kekuasaan Indonesia. Indonesia jahat atau tidak, menentukan campur tangan asing.
“Mungkinkan Papua akan lepas seperti Timor Timur melalui suatu referendum? Peluang itu bukan tidak mungkin,” kata mantan kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS) TNI periode 2011-2013 ini dalam bukunya, “Jangan lepas Papua,Mencermati Pelaksaan Operasi Militer di Papua, Sebuah Kajian Hukum Humaniter dan Hukum HAM”.
Bagaimana proses referedum yang kebanyakan orang mengatakan tidak mungkin itu menjadi mungkin dan bisa memerdekan Papua? Apakah Papua bisa mengikuti Jejak Timor-Timur yang menentukan Nasib Sendiri melalui mekanisme Refrendum? Kata Jenderal, peluang itu sangat terbuka, tergantung sikap Indonesia dan respon orang Papua, terutama aktivis Papua Merdeka terhadap tindakan Indonesia yang kian nampak pelanggaran HAMnya.
Katanya, referedum bisa berjalan lancar dengan cara mengugat PEPERA 1969. Aktivis Papua bukan negara, tentunya tidak bisa mengugat, namun dengan alasan ada pelanggaran HAM, negara-negara lain bisa saja membantu orang Papua mengugat PEPERA. Negara-negara yang konsen terhadap isu HAM dan negara-negara yang menjadi basis diplomasi aktivis Papua bisa mengugatnya.
Kata Jenderal yang mendalami ilmu hukum HAM ini, ada dua kelompok negara yang berpotensi besar membantu Papua mengugat PEPERA. Pertama, negara-negara kecil yang selama ini sudah menunjukan sikap mendukung Papua. Negara-negara itu tentunya negara-negara kecil di kawasan Pasific dan Afrika yang selama ini menyuarakan pelanggaran HAM. Negara-negara itu antara lain Vanuatu, Nauru, Fiji, Samoa, Kepulauan Salomon dan sejumlah negara Afrika seperti Anggola, Saotome dan Mozambik.
Negara-negara ini bisa saja membantu gugat PEPERA namun potensinya sangat kecil. Karena, menggugat hingga menyelenggarakan refredum itu membutuhka biaya yang tidak sedikit. “Sebagai negara mereka bisa mengajukan gugatan tetapi negara-negara kecil ini tidak mungkin mendukung pembiayaannya,” tulis mantan Jendral bintang dua ini dalam buku yang mencerahkan dan buku suatu pengakuan seorang militer terhadap pelanggaran HAM di Papua ini.
Kedua, Negara-negara besar yang memiliki anggaran besar. Negara-negara besar ini bisa membantu Papua dengan dua kepentingan. Kepentingan membela kemanusiaan manusia Papua dan kepentingan sumber ekonomi di Papua. Negara-negara ini sangat berkepentingan. Mereka bisa menyokong aktivis Papua, mengajukan gugatan dan menyelengarakan refredum.
“…yang perlu diwaspadai adalah negara-negara kaya yang memiliki kepentingan tertentu terhadap Papua dan Indonesia, misalnya untuk alasan ekonomi. Apa lagi sejumlah kalangan menyebutkan bahwa LSM-LSM di AS, Inggris, Kanada, Australia, Belanda, Irlandia, Belgia…, makin banyak yang memberikan dukungan kepada OPM,”
katanya.
Karena itu, mantan Kepala Intelijen Negara ini mengingatkan pemerintah, terutama alat Negara yang berusaha mempertahankan Papua melalui tindakan bersenjata harus waspada. Negara harus merubah pendekatan, bukan membantah dengan alasan regulasi nasional. Alasan hukum nasional itu sulit dijadikan tameng bila berhadapan dengan negara luar yang berpegang teguh pada hukum Internasional dan HAM.
Pihak luar yang berpegang teguh pada hukum Internasional dan hukum HAM bisa saja menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM. Kalau itu yang terjadi, sekali lagi kata jenderal bukan tidak mungkin Papua mengikuti jejak Timor Timur. Karena itu, kata sang Jenderal, pemerintah perlu evaluasi pengiriman pasukan dan evaluasi UU TNI.
Pernyataan jenderal ini sesuguhnya menginpirasi kedua belah pihak. OPM maupun pemerintah Indonesia untuk bertindak mewujudkan tujuannya. Pemerintah yang ingin mempertahankan Papua dengan konsep Papua bagian dari NKRI harus melaksanakan usulan jenderal untuk mengevaluasi dan mengubah pendekatan terhadap gerakan Papua merdeka atau semuanya melalui dialog Jakarta Papua yang di perjuangkan Jaringan Damai Papua (JDP).
Kemudian, kalau usulan itu tidak diterima dan dilakukan, proses yang disampaikan sang jenderal, bagaimana mengugat PEPERA dan Refrendum itu dapat dimanfaatkan aktivis Papua Merdeka. Aktivis Papua bisa saja melakukan pemantauan pelanggaran HAM, melaporkan, mengudang simpati negara-negara yang dimaksud membantu proses. “Bukan hal yang tidak mungkin,” katanya. (Mawel Benny)
Source: Jubi , Diposkan oleh : Benny Mawel on March 16, 2015 at 17:31:24 WP [Editor : Victor Mambor]